Saturday 21 March 2015

Negeri Tanpa Suara #1


Aku pernah berkelana menunggang biola,
menuju sebuah tempat yang tak pernah ada,
berbincang dengan orang-orang yang tak berbicara,
menyanyikan lagu-lagu tanpa nada.

Di sini betul-betul kacau. Aku harus berpikir cepat. Sejak kulihat selang air itu, segera kuarahkannya pada gedung yang sedang terbakar habis-habisan di depan muka. Orang-orang berlarian tak karuan. Ada juga yang cuma menonton atau malah merekamnya di Handphone. Beberapa ikut memadamkan api. Tidak sampai seperempatnya. Yang menjadi masalah sekarang adalah, selang ini tak juga keluar airnya. Aku baru paham ketika seseorang memukul kepalaku dari belakang.
“Sudah kubilang, pijit dulu tombolnya!” bentak orang itu.
“Tapi aku tidak mendengarmu.”
“Kau memang tidak bisa mendengar, bodoh!”
Sial! Aku yang berniat baik ini malah dimarahi. Padahal bisa saja tadi aku meneruskan untuk … ah, lebih baik kuceritakan dari awal.

Aku seorang pengelana. Berkeliling dunia tanpa alasan. Tanpa tujuan. Bahkan mungkin tanpa kesadaran. Aku sendiri tidak yakin sejak kapan sampai di tempat ini. Kota ini berbeda dengan kota-kota yang sebelumnya pernah kusinggahi. Di sini begitu sepi. Banyak hal-hal tak lazim yang kutemui di sini. Aliran air sungai yang tak terdengar riaknya, burung yang tak terdengar kepakan sayap maupun kicauannya, bahkan aku tak bisa mendengar kentutku yang biasanya bunyinya mengangkasa.
Satu yang tak berubah, indera penciumanku masih tajam—yang kumaksud di sini sangat tajam. Dokter bilang aku memiliki hidung yang sangat sensitif. Aku bisa mencium bau-bau dengan sangat jelas bahkan dalam jarak yang cukup jauh. Entah kenapa aku tak pernah terbiasa dengan penyakitku yang satu ini. Rasanya benar-benar menyiksa. Bahkan bau minyak wangi sekalipun sangat tidak enak bila terlalu kuat. Masih lebih mending bau kentutku yang bunyinya mengangkasa itu. Benarlah pesan nenekku di penghujung napasnya, “Samad, ingat baik-baik, Nak! Kekuatan bunyi suatu kentut berbanding terbalik dengan bau yang dihasilkannya.
Walaupun bagaimana, tempat ini sungguh menakjubkan. Maksudku … lihatlah. Padang hijau yang ditumbuhi berbagai macam bunga-bungaan, langit berwarna biru terang dengan matahari yang bersinar hangat, sekumpulan awan berbentuk biri-biri yang bergerak pelan, tulisan raksasa yang melayang-layang di udara ..., tunggu dulu! Tulisan? Melayang di udara? Raksasa?
Kuperhatikan sekali lagi benda hitam yang terbang di perbatasan antara langit dan bumi itu. Mataku tidak salah lihat. Itu benar-benar sebuah tulisan. Aku bisa membacanya dengan sangat jelas. Benda itu membentuk sebuah kata ‘KEBAKARAN!!!!’. Ditulis dengan hurup kapital dan diakhiri dengan tanda seru yang sangat banyak. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi dengan tempat ini?
Tiba-tiba hidungku mencium sesuatu yang tak beres. Bau ini, bau asap. Bau benda yang terbakar. Tidak salah lagi, pastilah sedang terjadi kebakaran di sekitar sini. Aku membagi pandang ke sekeliling. Terlihatlah asap tebal yang membumbung tinggi dari arah timur. Asap itu berasal dari sebuah perkampungan yang jaraknya cukup jauh. Ya ampun! Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi? Bergegas kuambil langkah seribu menuju tempat itu dan mendapati sebuah gedung tinggi yang sedang dilahap si jago merah.
Begitulah. Di sinilah aku sekarang. Terjebak di antara orang-orang aneh, di tengah-tengah situasi yang aneh. Orang-orang ramai berteriak-teriak, tapi aku sama sekali tak mendengar apa-apa. Hanya sebuah tulisan yang keluar dari mulut seseorang, lalu tulisan itu menghilang seperti balon yang pecah saat orang itu kembali menutup mulutnya. Aku tidak nyaman berada di sini. Belum lagi saat seseorang memukul kepalaku dari belakang ketika aku hendak memadamkan api.
“Sudah kubilang, pijit dulu tombolnya!” serangkai tulisan keluar dari mulutnya seperti balon, lengkap dengan koma dan tanda seru. Kemudian tulisan itu pecah saat mulutnya mengatup.
“Tapi aku tidak mendengarmu,” bukan suara yang keluar dari mulutku, melainkan serangkaian hurup-hurup yang membentuk kalimat tersebut.
“Kau memang tidak bisa mendengar, bodoh!”
Sekarang aku baru mengerti. Sepertinya di kota ini siapapun tidak bisa mendengar. Orang-orang berkomunikasi dengan cara yang sangat aneh seperti itu. Tapi ada sesuatu yang sangat genting sekarang. Api di depanku sudah semakin menggila kobarannya. Beberapa jendela terlihat meledak dan menjatuhkan barang-barang yang berada di dalamya. Kekacauan ini harus segera diakhiri.
Ada tiga jenis orang di sini jika dibagi berdasarkan partisipasinya untuk memadamkan api. Ada yang sibuk menyemprotkan air dari selang dan ember, ada yang sibuk merekamnya untuk dimasuskkan ke Youtube, ada juga yang cuma nobar sambil ngopi dan ngerokok seolah pertunjukan piala dunia.
“Tenang saja. Tidak lama lagi hujan deras akan segera tiba,” itu jawaban salah satu dari mereka saat kutanya. Jawaban yang sangat yakin, “seharusnya kemarin hujan. Tapi karena kemarin ada hajatan, hujannya ditahan oleh pawang. Pastilah hujan tersebut akan turun dengan sangat deras kali ini.”
Dasar orang-orang bodoh. Abad 21, dan mereka masih percaya hal-hal seperti itu.
Ya ampun. Orang-orang bodoh itu benar! Beberapa menit kemudian, awan hitam berdatangan dari penjuru langit. Mereka saling menggumpal dan menumpuk. Seolah sudah kebelet untuk segera melampiaskan dendamnya. Beberapa orang santri yang baru saja hendak melakukan sholat peminta hujan kembali pulang dan membatalkannya. Setelah itu hujan lebat melumat tempat ini dalam sekejap. Ribuan ton air tumpah dari langit. Mengguyur apapun yang ada di bawahnya tanpa ragu-ragu. Beberapa orang bahkan sampai terbawa arus yang ditimbulkan. Aku hanya berpegangan dengan kuat pada selang yang pangkalnya menempel pada mobil pemadam kebakaran. Hanya dalam beberapa saat, si jago merah pun berhasil ditaklukan dengan mudah.
Fyuhh, sungguh pengalaman yang aneh, bersama dengan orang-orang aneh, di kota yang aneh. Aku jadi merasa aneh. Aneh sekali.

Bersambung …

4 comments: