Aku
pernah berkelana menunggang biola,
menuju
sebuah tempat yang tak pernah ada,
berbincang
dengan orang-orang yang tak berbicara,
menyanyikan
lagu-lagu tanpa nada.
Di sini
betul-betul kacau. Aku harus berpikir cepat. Sejak kulihat selang air itu,
segera kuarahkannya pada gedung yang sedang terbakar habis-habisan di depan
muka. Orang-orang berlarian tak karuan. Ada juga yang cuma menonton atau malah merekamnya
di Handphone. Beberapa ikut
memadamkan api. Tidak sampai seperempatnya. Yang menjadi masalah sekarang
adalah, selang ini tak juga keluar airnya. Aku baru paham ketika seseorang
memukul kepalaku dari belakang.
“Sudah kubilang, pijit dulu tombolnya!”
bentak orang itu.
“Tapi aku tidak mendengarmu.”
“Kau memang tidak bisa mendengar,
bodoh!”
Sial! Aku yang berniat baik ini malah dimarahi.
Padahal bisa saja tadi aku meneruskan untuk … ah, lebih baik kuceritakan dari
awal.
Aku seorang pengelana. Berkeliling
dunia tanpa alasan. Tanpa tujuan. Bahkan mungkin tanpa kesadaran. Aku sendiri
tidak yakin sejak kapan sampai di tempat ini. Kota ini berbeda dengan kota-kota
yang sebelumnya pernah kusinggahi. Di sini begitu sepi. Banyak hal-hal tak
lazim yang kutemui di sini. Aliran air sungai yang tak terdengar riaknya, burung
yang tak terdengar kepakan sayap maupun kicauannya, bahkan aku tak bisa mendengar
kentutku yang biasanya bunyinya mengangkasa.
Satu yang tak berubah, indera
penciumanku masih tajam—yang kumaksud di sini sangat tajam. Dokter bilang aku
memiliki hidung yang sangat sensitif. Aku bisa mencium bau-bau dengan sangat jelas
bahkan dalam jarak yang cukup jauh. Entah kenapa aku tak pernah terbiasa dengan
penyakitku yang satu ini. Rasanya benar-benar menyiksa. Bahkan bau minyak wangi
sekalipun sangat tidak enak bila terlalu kuat. Masih lebih mending bau kentutku
yang bunyinya mengangkasa itu. Benarlah pesan nenekku di penghujung napasnya, “Samad, ingat baik-baik, Nak! Kekuatan bunyi
suatu kentut berbanding terbalik dengan bau yang dihasilkannya.”
Walaupun bagaimana, tempat ini sungguh
menakjubkan. Maksudku … lihatlah. Padang hijau yang ditumbuhi berbagai macam
bunga-bungaan, langit berwarna biru terang dengan matahari yang bersinar hangat,
sekumpulan awan berbentuk biri-biri yang bergerak pelan, tulisan raksasa yang
melayang-layang di udara ..., tunggu dulu! Tulisan? Melayang di udara? Raksasa?
Kuperhatikan sekali lagi benda hitam
yang terbang di perbatasan antara langit dan bumi itu. Mataku tidak salah lihat.
Itu benar-benar sebuah tulisan. Aku bisa membacanya dengan sangat jelas. Benda
itu membentuk sebuah kata ‘KEBAKARAN!!!!’. Ditulis dengan hurup kapital dan
diakhiri dengan tanda seru yang sangat banyak. Ada apa sebenarnya? Apa yang
terjadi dengan tempat ini?
Tiba-tiba hidungku mencium sesuatu
yang tak beres. Bau ini, bau asap. Bau benda yang terbakar. Tidak salah lagi,
pastilah sedang terjadi kebakaran di sekitar sini. Aku membagi pandang ke
sekeliling. Terlihatlah asap tebal yang membumbung tinggi dari arah timur. Asap
itu berasal dari sebuah perkampungan yang jaraknya cukup jauh. Ya
ampun! Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi? Bergegas kuambil langkah
seribu menuju tempat itu dan mendapati sebuah gedung tinggi yang sedang dilahap
si jago merah.
Begitulah.
Di sinilah aku sekarang. Terjebak di antara orang-orang aneh, di tengah-tengah
situasi yang aneh. Orang-orang ramai berteriak-teriak, tapi aku sama sekali tak
mendengar apa-apa. Hanya sebuah tulisan yang keluar dari mulut seseorang, lalu
tulisan itu menghilang seperti balon yang pecah saat orang itu kembali menutup
mulutnya. Aku tidak nyaman berada di sini. Belum lagi saat seseorang memukul
kepalaku dari belakang ketika aku hendak memadamkan api.
“Sudah kubilang, pijit dulu tombolnya!”
serangkai tulisan keluar dari mulutnya seperti balon, lengkap dengan koma dan
tanda seru. Kemudian tulisan itu pecah saat mulutnya mengatup.
“Tapi aku tidak mendengarmu,” bukan
suara yang keluar dari mulutku, melainkan serangkaian hurup-hurup yang
membentuk kalimat tersebut.
“Kau memang tidak bisa mendengar,
bodoh!”
Sekarang aku baru mengerti. Sepertinya
di kota ini siapapun tidak bisa mendengar. Orang-orang berkomunikasi dengan
cara yang sangat aneh seperti itu. Tapi ada sesuatu yang sangat genting
sekarang. Api di depanku sudah semakin menggila kobarannya. Beberapa jendela
terlihat meledak dan menjatuhkan barang-barang yang berada di dalamya.
Kekacauan ini harus segera diakhiri.
Ada tiga jenis orang di sini jika
dibagi berdasarkan partisipasinya untuk memadamkan api. Ada yang sibuk
menyemprotkan air dari selang dan ember, ada yang sibuk merekamnya untuk
dimasuskkan ke Youtube, ada juga yang cuma nobar
sambil ngopi dan ngerokok seolah pertunjukan piala dunia.
“Tenang saja. Tidak lama lagi hujan
deras akan segera tiba,” itu jawaban salah satu dari mereka saat kutanya.
Jawaban yang sangat yakin, “seharusnya kemarin hujan. Tapi karena kemarin ada
hajatan, hujannya ditahan oleh pawang. Pastilah hujan tersebut akan turun
dengan sangat deras kali ini.”
Dasar orang-orang bodoh. Abad 21, dan
mereka masih percaya hal-hal seperti itu.
Ya ampun. Orang-orang bodoh itu benar!
Beberapa menit kemudian, awan hitam berdatangan dari penjuru langit. Mereka
saling menggumpal dan menumpuk. Seolah sudah kebelet untuk segera melampiaskan
dendamnya. Beberapa orang santri yang baru saja hendak melakukan sholat peminta
hujan kembali pulang dan membatalkannya. Setelah itu hujan lebat melumat tempat
ini dalam sekejap. Ribuan ton air tumpah dari langit. Mengguyur apapun yang ada
di bawahnya tanpa ragu-ragu. Beberapa orang bahkan sampai terbawa arus yang
ditimbulkan. Aku hanya berpegangan dengan kuat pada selang yang pangkalnya
menempel pada mobil pemadam kebakaran. Hanya dalam beberapa saat, si jago merah
pun berhasil ditaklukan dengan mudah.
Fyuhh,
sungguh pengalaman yang aneh, bersama dengan orang-orang aneh, di kota yang
aneh. Aku jadi merasa aneh. Aneh sekali.
Bersambung …
mantaap ! :D
ReplyDeleteYo :D
ReplyDeleteaaaaaaaaaaak sambungin gua udah terlanjur baca lagi siaul bikin penasaran -_-
ReplyDeletemales gua cuy. Lu yang bikin lah..
ReplyDelete