Tuesday 16 December 2014

Pengantar Barang

gambar: qrl-it.com

          Sore itu, langit dipenuhi oleh warna abu-abu. Awan yang semakin menebal tak sanggup lagi menahan air lebih lama. Suara petir bersahut-sahutan menggema di penjuru langit. Sinyal itu sudah cukup bagi para burung untuk bebondong-bondong kembali ke sarangnya. Tak lama, hujan lebat disertai angin kencang pun datang menerpa, yang dalam waktu singkat sudah membanjiri jalanan di Kabupaten Kuningan.
          Beno memacu mobil box-nya. Ia melesat memotong genangan air hingga menciprat dari kedua sisi mobilnya layaknya jubah superman saat terbang. Hanya ada satu hal yang ia pikrikan, mengantar paket kiriman terakhirnya dengan selamat, setelah itu pulang dan menyeduh secangkir kopi panas ditemani pisang goreng dan sebungkus rokok.
          “Tinggal satu lagi! Setelah itu, Mission Completed!” pikirnya.
          Namun seperti kebanyakan kasus, sangat sulit untuk memulai sesuatu, tapi lebih sulit lagi untuk menyelesaikannya. Beno tidak pernah menyangka hari sabtunya akan berakhir seperti ini.

          Duar!! Ciiiiiiittttt…!!!!! Braakk!!!!! Terdengar suara benda pecah dari belakang, dan mobilnya mengepot dengan brutal hingga menabrak tiang listrik di pinggir jalan.
          “Haram Jadah!!” umpatnya kesal.
          Beno segera turun dari mobilnya sambil mengenakan jas hujan, lalu menutup pintu mobil setengah membanting. Ban belakangnya pecah. Sepertinya karena menabrak batu yang tajam berkali-kali. Tempat tujuannya kali ini memang di daerah pelosok yang jalannya sangat rusak. Tidak ada jalan alternatif. Satu-satunya jalan menuju tempat itu adalah dengan mengitari danau yang kondisi jalannya jelek bukan main.
          Beno menoleh, tidak ada tempat berteduh. Tak ada pilihan lain, dia pun mengganti bannya yang pecah dengan ban serep di tempat itu juga ditemani guyuran hujan deras dan penuh angin. Lima belas menit kemudian, proses penggantian ban selesai. Beno menarik napas lega. Setelah buang air kecil di tepi hutan, dia kembali masuk ke mobilnya. Beno termenung. Entah kenapa dia jadi khawatir dengan paket kiriman di box belakang. Setelah guncangan tadi, mungkin saja barang itu rusak.
          Lelaki itu bergegas turun dan memeriksanya. Ketika pintu box dibuka, tecium bau tidak sedap dari dalam. Beno langsung menutup hidungnya. Ia tidak habis pikir, ada apa sebenarnya di dalam box-nya? Hanya bangkai yang mengeluarkan bau seperti ini. Dengan setengah menahan napas, Beno masuk dan memeriksa paket kiriman terakhirnya. Benda itu tertutup oleh kardus berukuran sedang berwarna merah. Benar saja, kertas pembungkusnya sedikit rusak akibat benturan tadi sehingga ada celah kecil untuk melihat ke dalamnya. Beno mendekatkan wajahnya, bau busuk tadi kini semakin terasa menyengat indera penciumannya. Tidak salah lagi, bau itu berasal dari sini.
          Sebenarnya ia tidak boleh mencari tahu isi barang yang akan dikirimnya, ia hanya seorang kurir yang tugasnya mengantarkan barang titipan ke tempat tujuan. Tapi rasa penasarannya kali ini kian besar. Dia pun memberanikan diri untuk membuka kardusnya melalui celah yang sedikit terbuka itu. Hati Beno mulai was-was, sementara isi paket semakin jelas terlihat.
          Kreeeeekk … kardus tersebut robek. Barang di dalamnya terlihat dengan sangat jelas hingga membuat Beno terperangah. Paket terakhir yang harus ia kirim hari ini adalah … sebuah kepala manusia.
***
          Brak! Brak! Brak!!
          “Rot! Jarot! Buka pintunya Rot!” Beno menggebrak pintu rumah Jarot dengan tergesa-gesa. Wajahnya begitu cemas dan ketakutan. Seakan-akan mau menangis.
          Pintu pun terbuka. Dari balik pintu, terlihatlah Jarot yang hanya mengenakan handuk. “Apa sih? Aku baru selesai mandi nih!” ujarnya setengah membentak.
          Tanpa basa-basi, Beno langsung menerobos masuk sambil menutup pintu dan duduk di kursi kayu. “Rot, gawat. Bantu aku Rot! Aku bingung harus minta tolong sama siapa.”
          “Kau kenapa sih?”
          “Aku … Tadi … Paketku … Maksudku, paket yang harus ku kirim …” Beno terbata-bata.
          “Heh, tenang tenang! Kau tunggu sebentar di sini, tenangkan pikiran, aku pakai baju dulu. Oke?”
          “Nggak perlu Rot! Ini benar-benar genting. Pikiranku nggak mungkin bisa tenang.”
          “Apanya yang genting sih, Ben? Kau ini kalau ngomong yang jelas!”
          “Itu … di mobil … Aaaah, begini saja. Mendingan kau ikut aku sekarang ke mobil.”
          Beno dan Jarot keluar menuju mobil box yang diparkir sembarangan di depan rumah. Waktu sudah mendekati magrib dan langit semakin gelap. Di sini, hujan belum begitu lebat, hanya gerimis yang suara rintikannya nyaris tak terdengar.
          Hawa busuk menyeruak ke luar saat Beno membuka box mobil.
          “Emmh! Bau apa ini Ben? Ada apa sih?” tanya Jarot sambil menutup hidungnya.
          “Lihat saja sendiri!”
          Dengan sedikit rasa cemas bercampur penasaran, Jarot pun masuk dan membuka satu-satunya kardus yang ada di sana. Begitu melihat isinya, mata Jarot melotot seakan mau keluar.
          “Aaaaaahh!!!!” Teriaknya sambil meloncat ke luar.
          “Ssstt!! Pelan-pelan!” sahut Beno.
          “Itu… Ke-kepala… manusia…!” Jarot gelagapan.
          “Sekarang kau mengerti kan?” ucap Beno sambil menatap wajah Jarot yang sedang ketakutan.
          Mereka kembali masuk ke dalam rumah.
          “Kenapa benda itu bisa ada di sana?” tanya Jarot yang terlihat masih shock.
          “Mana aku tau? Itu paket terakhir yang harus aku kirim.”
          “Sejak kapan kau bekerja di perusahaan jasa pengiriman organ tubuh manusia?”
          “Tugasku cuma mengantar barang. Aku nggak pernah tau dan peduli apa isinya.”
          “Terus, kenapa sekarang kau peduli?”
          “Itu … Aaahh!!” Beno mengacak-acak rambutnya. “Aku juga nggak ngerti kenapa ujungnya begini!”
          “Aaahh … Kau ini, dasar Bento! Masalahnya sekarang, gara-gara kau aku jadi ikut terlibat!”
          Beno tertegun. Otaknya berpikir keras mencari solusi. Jarot masuk ke dalam kamarnya untuk berpakaian, lalu kembali ke ruang tengah. “Sudahlah, kau kirim saja seperti biasa,” ujarnya.
          “Kau serius Rot?” tanya Beno kurang yakin.
          “Terus mau bagaimana lagi? Lagian kenapa kau mesti tidak jadi mengirimnya dan malah mampir ke rumahku sih?”
          “Aku betul-betul ketakutan waktu itu. Aku nggak bisa berpikir. Kau pasti ngerti perasaanku.”
          “Begini Ben. Teoriku, disaat ada orang yang cukup gila untuk mengirimkan kepala temannya, pastilah dia juga cukup gila untuk memotong kepala seorang kurir yang tidak mengirimkannya.”
          Kedua pemuda itu terdiam sebentar, lalu kembali berdiskusi.
          “Kira-kira, itu kepala siapa ya? Maksudku, kenapa dia sampai tega mengirimkan kepala itu?” Beno penasaran.
          “Mungkin itu teror. Kau tahu, semacam ancaman. Mungkin saja si gila ini memotong kepala seseorang, lalu ia kirimkan kepada keluarga korban untuk melakukan teror atau balas dendam.”
          “Seram sekali. Aku cuma orang sial ditengah-tengah kekacauan. Tolong aku Rot!”
          “Setidaknya kita harus melakukan sesuatu sebelum orang ini ….”
          Tlit! Tlit! Ponsel Beno bergetar memotong pembicaraan. Panggilan dari nomor tidak dikenal.
          “Halo…” Beno berbicara di telepon.
          “Halo, betul ini dengan Beno, kurir dari perusahaan JNJ Kuningan?”
          “Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?”
          “Bos anda bilang anda yang bertanggung jawab mengirim paket saya. Kenapa sampai sekarang belum terkirim juga ya Pak?”
          “Hah? Yang benar? Maaf Pak, bisa tolong sebutkan nama anda dan nomor resinya?”
          “Wah, saya lupa. Pokoknya, paket saya yang dibungkus kardus berukuran sedang warna merah.”
          Cttaarrr!!! Cahaya kilat mengelebat bersamaan dengan suara petir yang menggelegar. Beno mendadak bisu. Ponselnya terlepas dari genggamannya.
          “Siapa Ben? Kau kenapa?”
          “Orang ini. Si pemilik paket gila itu, barusan dia menelponku.”
          Jarot tercengang. Terlihat ketakutan di wajahnya. “Kau harus mencari perlindungan, Ben!” ucapnya pelan.
          Beno tertegun sejenak, lalu mengajak Jarot dengan suara yang lantang, “Rot, antar aku ke kantor polisi!!”
          Beno dan Jarot melesat menembus hujan yang semakin deras menuju kantor polisi dengan mobil boxnya.
          “Kau mau bilang apa sama polisi Ben?”
          “Aku akan melaporkan orang gila ini. Aku sudah tau nomor HPnya.”
          Tlit … Tlit … HP Beno bergetar lagi. Kali ini bukan panggilan, tapi SMS.”
          “Tolong baca SMS yang baru masuk Rot!” pinta Beno sambil memberikan HPnya. Sementara Beno terus menyupir, Jarot membacakan SMS itu.
          “Ngomong-ngomong, saya tau alamat rumah anda. Jangan berbuat yang macam-macam kalau tidak ingin terjadi apa-apa. Anda tidak mengerti apa yang sedang anda perbuat. Antarkan saja paket itu seperti seharusnya. Terima Kasih.”
          Beno menginjak pedal rem dengan mengejutkan. Lalu merebut HPnya dari tangan Jarot dan membaca SMS barusan.
          “Ini dari dia. Ini SMS dari orang gila itu!” Teriak Beno. “Bagaimana dia bisa tau?” pikirnya.
          “Dia tau kalau kita sudah tau isi kotak itu,” tebak Jarot. “Sekarang gimana?”
          Beno menghajar stir mobilnya hingga klaksonnya berbunyi. “Kurang ajar!!”
***
          Malam turun menyelimuti, sementara langit masih belum kehabisan hujannya. Beno kembali ke kontrakannya dengan kepala yang berat. Masalah besarnya belum terselesaikan. Paket berisi kepala itu masih tersimpan di mobil boxnya. Dia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kepalanya yang berdenyut ia pijit perlahan.
          “Apa yang harus kulakukan?” batinnya.
          Tok … Tok ... Tok ... Terdengar suara ketukan dari pintu depan.
          “Siapa?” Beno bangkit lalu membukakan pintu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sebelum kembali masuk, dia melihat kertas kecil berwarna merah. Seseorang menyelipkannya di bawah pintu. Beno mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera di sana.
          “Kenapa kau belum mengantarkannya? Aku sangat membutuhkan kepalaku.”
          Mendadak tubuh Beno kaku. Kakinya gemetaran dan sulit digerakkan. Pori-pori di kulitnya membesar dan bulu-bulu halus di pundaknya berdiri. Dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Beno berbalik perlahan, terlihatlah dengan sangat jelas sesosok manusia tanpa kepala sedang berdiri menghadapnya.
Beno terbangun dengan peluh membanjiri wajahnya. “Fyuhh ... Cuma mimpi …” Dia menoleh ke sekelilingnya, ada yang berbeda dengan kamarnya. “Oh iya! Aku kan sedang nginap di rumah Jarot!” pikirnya. Di sebelah kanannya, Jarot sedang duduk membelakanginya menghadap ke jendela yang terbuka.
          “Rot, belum tidur?”
          Tidak ada jawaban. Jarot tetap bergeming di tempatnya. Angin malam berhembus masuk lewat jendela yang terbuka. Tiba-tiba kepala Jarot berputar ke belakang, kemudian jatuh dan menggelinding ke arah Beno.
          Beno terperanjat bangun di tempat tidurnya, sekujur tubuhnya dibanjiri keringat. “Mimpi di dalam mimpi? Sialan!!” Beno mengumpat. Dia cepat-cepat menyalakan lampu dan menyadari bahwa ia memang sedang berada di kontrakannya. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi. Beno mengambil HPnya dan melihat sebuah pesan masuk.
          “Saya sudah tidak tahan lagi dengan anda. Kalau sampai 5 jam dari sekarang barang itu belum terkirim, maka nasib anda akan seperti orang yang berada di dalam kardus merah itu.”
          Beno terbelalak. Itu dari si gila, dan SMS itu masuk pukul 12 malam. Dengan kata lain, waktu Beno untuk mengirimkan paket itu tinggal 1 jam lagi. Tanpa pikir panjang, Beno melompat dari tempat tidurnya dan langsung tancap gas ke tempat paket itu harus dikirim. Walaupun hari masih sedini ini, jalanan sudah dipenuhi oleh mobil-mobil yang hendak ke pasar ataupun ke luar kota. Namun Beno tetap memaksa mobilnya melaju dalam kecepatan maksimum. Dia sempat deteriaki “Anjing!” oleh kondektur bus ketika Beno sedang berusaha menyalip dari kiri dan hampir menyerempetnya.
          Waktu Beno tinggal 20 menit, dan dia masih harus berjuang keras karena kondisi jalan semakin rusak. Walaupun begitu, Beno tetap memacu mobilnya dengan sangat cepat. Karena kelakuannya itu, akhirnya hal yang tak diingankan pun terjadi.
          Duar!!! Ciiitt!!!! Salah satu bannya lagi-lagi pecah. Beno panik bukan main. Tak ada waktu untuk berpikir lama-lama. Beno turun dari mobilnya, diambilnya paket itu, lalu ia bawa ke alamat tujuannya sambil berlari. Beruntung Beno sudah menaruh paket itu di dalam kardus yang baru sehingga baunya tidak berceceran di mana-mana. Beno berlari dan terus berlari hingga otot kakinya terbakar. Hari sudah semakin terang. Daun-daun sudah kelihatan warna hijaunya.
          Beberapa menit kemudian, akhirnya Beno sampai. Bajunya basah oleh keringatnya sendiri. Dia tidak peduli apakah dia sampai tepat waktu atau tidak. Pintu di depannya itu langsung ia ketuk dengan tidak sabar.
          “Permisi!! Permisi!!” teriaknya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang ibu keluar dari rumah itu.
          “Maaf Bu, ada kiriman paket untuk Ibu Siti,” ucap Beno ngos-ngosan. Ibu Siti menatap Beno heran. Setelah memberikan paket itu, Beno mengucapkan terimah kasih dan langsung pergi.
          “Kang!” Panggil ibu itu. Beno terkejut. Jantungnya seakan mau copot. “Saya tidak perlu tanda tangan?” lanjutnya lagi.
          “Ah, tidak perlu Bu!” Beno tertawa dipaksankan lalu langsung ambil langkah seribu. Otaknya masih belum mempercayai kalau ia telah mengirimkan paket tidak waras itu. Dia merasa menjadi orang yang sangat berdosa. “Setelah ini, aku akan berhenti bekerja sebagai pengantar barang,” ucapnya dalam hati.
          Di dalam rumahnya, Ibu Siti baru saja mendapat paket misterius berupa kardus sedang yang cukup berat. Tidak ada nama pengirim di sana. Dia semakin penasaran. Dibukanya perlahan-lahan kardus itu. Bau aneh pun menyeruak ke seisi rumah. Isi dari kotak itu mulai terlihat dengan sangat jelas. Sebuah kepala manusia! Melihat benda itu di depannya, Ibu Siti tercekat dan matanya membuka lebar. Mulutnya terbuka bersiap untuk berteriak sekeras-kerasnya sampai seluruh penghuni rumah bisa mendengar.
          “Anak-anak! Kita makan enak hari ini!!”

==TAMAT==

3 comments:

  1. as always, another unexpected ending

    ReplyDelete
  2. tampilannya bagus, keren, font yang dipakai juga sudah tepat untuk memberikan kenyamanan pembaca membaca cerita yang lumayan panjang ini, good work and keep blogging

    ReplyDelete