gambar: qrl-it.com |
Sore itu, langit dipenuhi oleh warna
abu-abu. Awan yang semakin menebal tak sanggup lagi menahan air lebih lama. Suara
petir bersahut-sahutan menggema di penjuru langit. Sinyal itu sudah cukup bagi
para burung untuk bebondong-bondong kembali ke sarangnya. Tak lama, hujan lebat
disertai angin kencang pun datang menerpa, yang dalam waktu singkat sudah
membanjiri jalanan di Kabupaten Kuningan.
Beno memacu mobil box-nya. Ia melesat
memotong genangan air hingga menciprat dari kedua sisi mobilnya layaknya jubah
superman saat terbang. Hanya ada satu hal yang ia pikrikan, mengantar paket
kiriman terakhirnya dengan selamat, setelah itu pulang dan menyeduh secangkir
kopi panas ditemani pisang goreng dan sebungkus rokok.
“Tinggal
satu lagi! Setelah itu,
Mission Completed!” pikirnya.
Namun seperti kebanyakan kasus, sangat
sulit untuk memulai sesuatu, tapi lebih sulit lagi untuk menyelesaikannya. Beno
tidak pernah menyangka hari sabtunya akan berakhir seperti ini.
Duar!!
Ciiiiiiittttt…!!!!! Braakk!!!!! Terdengar suara benda pecah dari belakang,
dan mobilnya mengepot dengan brutal hingga menabrak tiang listrik di pinggir
jalan.
“Haram
Jadah!!” umpatnya kesal.
Beno segera turun dari mobilnya sambil
mengenakan jas hujan, lalu menutup pintu mobil setengah membanting. Ban
belakangnya pecah. Sepertinya karena menabrak batu yang tajam berkali-kali. Tempat
tujuannya kali ini memang di daerah pelosok yang jalannya sangat rusak. Tidak
ada jalan alternatif. Satu-satunya jalan menuju tempat itu adalah dengan
mengitari danau yang kondisi jalannya jelek bukan main.
Beno menoleh, tidak ada tempat
berteduh. Tak ada pilihan lain, dia pun mengganti bannya yang pecah dengan ban
serep di tempat itu juga ditemani guyuran hujan deras dan penuh angin. Lima
belas menit kemudian, proses penggantian ban selesai. Beno menarik napas lega. Setelah
buang air kecil di tepi hutan, dia kembali masuk ke mobilnya. Beno termenung.
Entah kenapa dia jadi khawatir dengan paket kiriman di box belakang. Setelah
guncangan tadi, mungkin saja barang itu rusak.
Lelaki itu bergegas turun dan
memeriksanya. Ketika pintu box dibuka, tecium bau tidak sedap dari dalam. Beno
langsung menutup hidungnya. Ia tidak habis pikir, ada apa sebenarnya di dalam
box-nya? Hanya bangkai yang mengeluarkan bau seperti ini. Dengan setengah
menahan napas, Beno masuk dan memeriksa paket kiriman terakhirnya. Benda itu
tertutup oleh kardus berukuran sedang berwarna merah. Benar saja, kertas
pembungkusnya sedikit rusak akibat benturan tadi sehingga ada celah kecil untuk
melihat ke dalamnya. Beno mendekatkan wajahnya, bau busuk tadi kini semakin
terasa menyengat indera penciumannya. Tidak salah lagi, bau itu berasal dari
sini.
Sebenarnya ia tidak boleh mencari tahu
isi barang yang akan dikirimnya, ia hanya seorang kurir yang tugasnya
mengantarkan barang titipan ke tempat tujuan. Tapi rasa penasarannya kali ini
kian besar. Dia pun memberanikan diri untuk membuka kardusnya melalui celah
yang sedikit terbuka itu. Hati Beno mulai was-was, sementara isi paket semakin
jelas terlihat.
Kreeeeekk
… kardus tersebut robek. Barang di dalamnya terlihat dengan sangat jelas
hingga membuat Beno terperangah. Paket terakhir yang harus ia kirim hari ini
adalah … sebuah kepala manusia.
***
Brak!
Brak! Brak!!
“Rot! Jarot! Buka pintunya Rot!” Beno
menggebrak pintu rumah Jarot dengan tergesa-gesa. Wajahnya begitu cemas dan
ketakutan. Seakan-akan mau menangis.
Pintu pun terbuka. Dari balik pintu,
terlihatlah Jarot yang hanya mengenakan handuk. “Apa sih? Aku baru selesai
mandi nih!” ujarnya setengah membentak.
Tanpa basa-basi, Beno langsung menerobos
masuk sambil menutup pintu dan duduk di kursi kayu. “Rot, gawat. Bantu aku Rot!
Aku bingung harus minta tolong sama siapa.”
“Kau kenapa sih?”
“Aku … Tadi … Paketku … Maksudku,
paket yang harus ku kirim …” Beno terbata-bata.
“Heh, tenang tenang! Kau tunggu
sebentar di sini, tenangkan pikiran, aku pakai baju dulu. Oke?”
“Nggak perlu Rot! Ini benar-benar
genting. Pikiranku nggak mungkin bisa tenang.”
“Apanya yang genting sih, Ben? Kau ini
kalau ngomong yang jelas!”
“Itu … di mobil … Aaaah, begini saja.
Mendingan kau ikut aku sekarang ke mobil.”
Beno dan Jarot keluar menuju mobil box
yang diparkir sembarangan di depan rumah. Waktu sudah mendekati magrib dan
langit semakin gelap. Di sini, hujan belum begitu lebat, hanya gerimis yang
suara rintikannya nyaris tak terdengar.
Hawa busuk menyeruak ke luar saat Beno
membuka box mobil.
“Emmh! Bau apa ini Ben? Ada apa sih?”
tanya Jarot sambil menutup hidungnya.
“Lihat saja sendiri!”
Dengan sedikit rasa cemas bercampur
penasaran, Jarot pun masuk dan membuka satu-satunya kardus yang ada di sana.
Begitu melihat isinya, mata Jarot melotot seakan mau keluar.
“Aaaaaahh!!!!” Teriaknya sambil
meloncat ke luar.
“Ssstt!! Pelan-pelan!” sahut Beno.
“Itu… Ke-kepala… manusia…!” Jarot
gelagapan.
“Sekarang kau mengerti kan?” ucap Beno
sambil menatap wajah Jarot yang sedang ketakutan.
Mereka kembali masuk ke dalam rumah.
“Kenapa benda itu bisa ada di sana?”
tanya Jarot yang terlihat masih shock.
“Mana aku tau? Itu paket terakhir yang
harus aku kirim.”
“Sejak kapan kau bekerja di perusahaan
jasa pengiriman organ tubuh manusia?”
“Tugasku cuma mengantar barang. Aku nggak
pernah tau dan peduli apa isinya.”
“Terus, kenapa sekarang kau peduli?”
“Itu … Aaahh!!” Beno mengacak-acak
rambutnya. “Aku juga nggak ngerti kenapa ujungnya begini!”
“Aaahh … Kau ini, dasar Bento! Masalahnya
sekarang, gara-gara kau aku jadi ikut terlibat!”
Beno tertegun. Otaknya berpikir keras
mencari solusi. Jarot masuk ke dalam kamarnya untuk berpakaian, lalu kembali ke
ruang tengah. “Sudahlah, kau kirim saja seperti biasa,” ujarnya.
“Kau serius Rot?” tanya Beno kurang
yakin.
“Terus mau bagaimana lagi? Lagian
kenapa kau mesti tidak jadi mengirimnya dan malah mampir ke rumahku sih?”
“Aku betul-betul ketakutan waktu itu.
Aku nggak bisa berpikir. Kau pasti ngerti perasaanku.”
“Begini Ben. Teoriku, disaat ada orang
yang cukup gila untuk mengirimkan kepala temannya, pastilah dia juga cukup gila
untuk memotong kepala seorang kurir yang tidak mengirimkannya.”
Kedua pemuda itu terdiam sebentar,
lalu kembali berdiskusi.
“Kira-kira, itu kepala siapa ya?
Maksudku, kenapa dia sampai tega mengirimkan kepala itu?” Beno penasaran.
“Mungkin itu teror. Kau tahu, semacam
ancaman. Mungkin saja si gila ini memotong kepala seseorang, lalu ia kirimkan kepada
keluarga korban untuk melakukan teror atau balas dendam.”
“Seram sekali. Aku cuma orang sial
ditengah-tengah kekacauan. Tolong aku Rot!”
“Setidaknya kita harus melakukan
sesuatu sebelum orang ini ….”
Tlit!
Tlit! Ponsel Beno bergetar memotong pembicaraan. Panggilan dari nomor tidak
dikenal.
“Halo…” Beno berbicara di telepon.
“Halo,
betul ini dengan Beno, kurir dari perusahaan JNJ Kuningan?”
“Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan
siapa?”
“Bos
anda bilang anda yang bertanggung jawab mengirim paket saya. Kenapa sampai
sekarang belum terkirim juga ya Pak?”
“Hah? Yang benar? Maaf Pak, bisa
tolong sebutkan nama anda dan nomor resinya?”
“Wah,
saya lupa. Pokoknya, paket saya yang dibungkus kardus berukuran sedang warna merah.”
Cttaarrr!!! Cahaya kilat mengelebat bersamaan
dengan suara petir yang menggelegar. Beno mendadak bisu. Ponselnya terlepas
dari genggamannya.
“Siapa Ben? Kau kenapa?”
“Orang ini. Si pemilik paket gila itu,
barusan dia menelponku.”
Jarot tercengang. Terlihat ketakutan
di wajahnya. “Kau harus mencari perlindungan, Ben!” ucapnya pelan.
Beno tertegun sejenak, lalu mengajak
Jarot dengan suara yang lantang, “Rot, antar aku ke kantor polisi!!”
Beno dan Jarot melesat menembus hujan
yang semakin deras menuju kantor polisi dengan mobil boxnya.
“Kau mau bilang apa sama polisi Ben?”
“Aku akan melaporkan orang gila ini.
Aku sudah tau nomor HPnya.”
Tlit … Tlit … HP Beno bergetar lagi. Kali ini bukan
panggilan, tapi SMS.”
“Tolong baca SMS yang baru masuk Rot!”
pinta Beno sambil memberikan HPnya. Sementara Beno terus menyupir, Jarot
membacakan SMS itu.
“Ngomong-ngomong,
saya tau alamat rumah anda. Jangan berbuat yang macam-macam kalau tidak ingin
terjadi apa-apa. Anda tidak mengerti apa yang sedang anda perbuat. Antarkan
saja paket itu seperti seharusnya. Terima Kasih.”
Beno menginjak pedal rem dengan
mengejutkan. Lalu merebut HPnya dari tangan Jarot dan membaca SMS barusan.
“Ini dari dia. Ini SMS dari orang gila
itu!” Teriak Beno. “Bagaimana dia bisa
tau?” pikirnya.
“Dia tau kalau kita sudah tau isi kotak
itu,” tebak Jarot. “Sekarang gimana?”
Beno menghajar stir mobilnya hingga
klaksonnya berbunyi. “Kurang ajar!!”
***
Malam turun menyelimuti, sementara
langit masih belum kehabisan hujannya. Beno kembali ke kontrakannya dengan
kepala yang berat. Masalah besarnya belum terselesaikan. Paket berisi kepala
itu masih tersimpan di mobil boxnya. Dia menghempaskan tubuhnya ke tempat
tidur. Kepalanya yang berdenyut ia pijit perlahan.
“Apa
yang harus kulakukan?”
batinnya.
Tok
… Tok ... Tok ... Terdengar suara ketukan dari pintu depan.
“Siapa?” Beno bangkit lalu membukakan
pintu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sebelum kembali masuk, dia melihat kertas
kecil berwarna merah. Seseorang menyelipkannya di bawah pintu. Beno
mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera di sana.
“Kenapa
kau belum mengantarkannya? Aku sangat membutuhkan kepalaku.”
Mendadak tubuh Beno kaku. Kakinya gemetaran
dan sulit digerakkan. Pori-pori di kulitnya membesar dan bulu-bulu halus di
pundaknya berdiri. Dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Beno
berbalik perlahan, terlihatlah dengan sangat jelas sesosok manusia tanpa kepala
sedang berdiri menghadapnya.
Beno
terbangun dengan peluh membanjiri wajahnya. “Fyuhh
... Cuma mimpi …” Dia menoleh ke sekelilingnya, ada yang berbeda dengan
kamarnya. “Oh iya! Aku kan sedang nginap
di rumah Jarot!” pikirnya. Di sebelah kanannya, Jarot sedang duduk
membelakanginya menghadap ke jendela yang terbuka.
“Rot, belum tidur?”
Tidak ada jawaban. Jarot tetap
bergeming di tempatnya. Angin malam berhembus masuk lewat jendela yang terbuka.
Tiba-tiba kepala Jarot berputar ke belakang, kemudian jatuh dan menggelinding
ke arah Beno.
Beno terperanjat bangun di tempat
tidurnya, sekujur tubuhnya dibanjiri keringat. “Mimpi di dalam mimpi? Sialan!!”
Beno mengumpat. Dia cepat-cepat menyalakan lampu dan menyadari bahwa ia memang
sedang berada di kontrakannya. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi. Beno
mengambil HPnya dan melihat sebuah pesan masuk.
“Saya
sudah tidak tahan lagi dengan anda. Kalau sampai 5 jam dari sekarang barang itu
belum terkirim, maka nasib anda akan seperti orang yang berada di dalam kardus
merah itu.”
Beno terbelalak. Itu dari si gila, dan
SMS itu masuk pukul 12 malam. Dengan kata lain, waktu Beno untuk mengirimkan
paket itu tinggal 1 jam lagi. Tanpa pikir panjang, Beno melompat dari tempat
tidurnya dan langsung tancap gas ke tempat paket itu harus dikirim. Walaupun
hari masih sedini ini, jalanan sudah dipenuhi oleh mobil-mobil yang hendak ke
pasar ataupun ke luar kota. Namun Beno tetap memaksa mobilnya melaju dalam
kecepatan maksimum. Dia sempat deteriaki “Anjing!”
oleh kondektur bus ketika Beno sedang berusaha menyalip dari kiri dan hampir
menyerempetnya.
Waktu Beno tinggal 20 menit, dan dia
masih harus berjuang keras karena kondisi jalan semakin rusak. Walaupun begitu,
Beno tetap memacu mobilnya dengan sangat cepat. Karena kelakuannya itu,
akhirnya hal yang tak diingankan pun terjadi.
Duar!!!
Ciiitt!!!! Salah satu bannya lagi-lagi pecah. Beno panik bukan main. Tak
ada waktu untuk berpikir lama-lama. Beno turun dari mobilnya, diambilnya paket
itu, lalu ia bawa ke alamat tujuannya sambil berlari. Beruntung Beno sudah menaruh
paket itu di dalam kardus yang baru sehingga baunya tidak berceceran di
mana-mana. Beno berlari dan terus berlari hingga otot kakinya terbakar. Hari
sudah semakin terang. Daun-daun sudah kelihatan warna hijaunya.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Beno
sampai. Bajunya basah oleh keringatnya sendiri. Dia tidak peduli apakah dia
sampai tepat waktu atau tidak. Pintu di depannya itu langsung ia ketuk dengan tidak
sabar.
“Permisi!! Permisi!!” teriaknya. Tak
lama kemudian, pintu terbuka dan seorang ibu keluar dari rumah itu.
“Maaf Bu, ada kiriman paket untuk Ibu
Siti,” ucap Beno ngos-ngosan. Ibu Siti menatap Beno heran. Setelah memberikan
paket itu, Beno mengucapkan terimah kasih dan langsung pergi.
“Kang!” Panggil ibu itu. Beno terkejut.
Jantungnya seakan mau copot. “Saya tidak perlu tanda tangan?” lanjutnya lagi.
“Ah, tidak perlu Bu!” Beno tertawa
dipaksankan lalu langsung ambil langkah seribu. Otaknya masih belum mempercayai
kalau ia telah mengirimkan paket tidak waras itu. Dia merasa menjadi orang yang
sangat berdosa. “Setelah ini, aku akan berhenti
bekerja sebagai pengantar barang,” ucapnya dalam hati.
Di dalam rumahnya, Ibu Siti baru saja
mendapat paket misterius berupa kardus sedang yang cukup berat. Tidak ada nama
pengirim di sana. Dia semakin penasaran. Dibukanya perlahan-lahan kardus itu. Bau
aneh pun menyeruak ke seisi rumah. Isi dari kotak itu mulai terlihat dengan
sangat jelas. Sebuah kepala manusia! Melihat benda itu di depannya, Ibu Siti tercekat
dan matanya membuka lebar. Mulutnya terbuka bersiap untuk berteriak
sekeras-kerasnya sampai seluruh penghuni rumah bisa mendengar.
“Anak-anak! Kita makan enak hari
ini!!”
==TAMAT==
as always, another unexpected ending
ReplyDeletetampilannya bagus, keren, font yang dipakai juga sudah tepat untuk memberikan kenyamanan pembaca membaca cerita yang lumayan panjang ini, good work and keep blogging
ReplyDeletemenarik... :*
ReplyDelete