![]() |
gambar: wallpaperzoo.com |
Saat itu aku baru berumur 10 tahun, dan aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Hari kamis pukul sebelas malam, dan aku masih belum tidur. Tidak seperti biasanya. Aku sedang duduk di atas sofa panjang di ruang tengah. Membolak-balik lembaran-lembaran besar dari buku Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan penerangan seadanya dari lampu pijar berwarna kuning. Mataku sudah lelah, dan bibirku sudah kering, membaca kata demi kata yang terangkai sederhana pada buku itu. Namun rasa haus akan nilai yang besar sangat kuat. Besok adalah saatnya aku menghadapi ujian caturwulan mata pelajaran IPA. Aku sudah terbiasa mendapat nilai memuaskan, bahkan tanpa belajar sekalipun. Namun ibuku selalu memaksaku untuk belajar keras.
Kletek!
Telingaku
tertarik oleh suara yang berasal dari meja kayu di depanku. Mataku berbaik hati
untuk menunjukkannya.
Ibu menaruh teh panas. Aku bisa melihat asap yang
mengepul keluar dari mulut gelas. Kurasa teh itu memang benar-benar panas.
“Diminum
dulu tehnya Ka, mumpung masih hangat.”
Ibu memang
terbiasa mengganti kata ‘panas’ dengan kata ‘hangat’, aku tidak tahu apa
alasannya. Mungkin agar aku segera meminumnya, atau mungkin memang lidahku yang
terlalu sensitif. Seringkali rasa manis dari teh tersebut hampir tidak terasa
saking panasnya. Entahlah.
“Iya, Bu!”
jawabku.
Aku
mengambil segelas teh itu dengan memegang bagian ujung atas gelas. Aku tidak
ingin tanganku melepuh ketika aku meminumnya.
Sluuuurrrpp…
“Eh?” Ternyata tehnya tidak begitu
panas. Hangatnya pas. Kali ini manisnya terasa. Tidak seperti biasanya. Saat
itu kupikir ibu sudah mulai belajar, ternyata aku terlalu cepat mengambil
kesimpulan.
Aku merasa
kandung kemihku sudah penuh. Aku harus segera mengeluarkan isinya kalau ingin
belajar dengan tenang. Aku pun bergegas meniggalkankan sofa dan berlari ke
belakang. Lampu belakang sudah dimatikan, kecuali lampu kamar mandi. Keluargaku
memang tidak pernah mematikan lampu kamar mandi walau siang hari sekalipun.
Tanpa bertele-tele, aku langsung mengeluarkan hajatku di sana, dan rasanya … fyuuh
… Benar-benar lega.
Aku berjalan
meninggalkan kamar mandi dengan santai, bertolak belakang dengan saat aku
hendak memasukinya. Aku berniat melanjutkan hapalanku. Ketika aku sampai di
ruang tengah, aku melihat ibu ada di sana, sedang berbaring di tikar sambil
menonton siaran televisi.
“Belum tidur
Bu?” tanyaku.
Ibu tidak
menjawabnya. Dia tidak mendengarku. Matanya masih terpaku menatap televisi di
depannya. Kelihatannya ibu sangat mengantuk. Aku melihat kantung matanya
memiliki kantung mata.
“Bu, kok belum
tidur?” tanyaku lagi.
Ibu pun
menoleh. Dia terkejut ketika melihatku. Dia baru menyadari kalau aku sejak tadi
berada di sana.
“Ibu mau
menemani kamu belajar. Cepat lanjutkan belajarmu!” nada bicaranya lemah. Ibu
sangat kelelahan. Dia membela-belakan diri untuk menemaniku, aku jadi merasa
tidak enak. Akhirnya, aku kembali duduk di sofa. Kupegang buku IPA berukuran
besar itu, kubuka, dan kulanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.
Tiba-tiba,
kakiku terasa dingin. Aku merasakan ada angin yang berhembus di bawah sana
melewati permukaan kulitku. Seolah-olah ada yang sedang meniup-niup kedua kaki
kecilku. Aku mencari tahu apa yang terjadi. Kutengok ke bawah. Kakiku basah
oleh sisa air sewaktu aku di kamar mandi. Mungkin itu juga yang membuatnya
terasa dingin. Aku tidak tahu pasti.
Kualihkan
pandanganku ke arah jam dinding. Sudah jam 12 malam kurang sedikit. Hampir
tengah malam. Lalu aku melirik ke arah ibu. Ibu masih disana. Diam, terbaring,
memandang ke arah televisi. Kurasa ibu tidak benar-benar memperhatikan
acaranya, tidak ada respon sama sekali. Dia tidak mengeluh, tidak tertawa, atau
yang lainnya. Kurasa ibu di sana hanya untuk menemaniku.
“Bu…”
panggilku.
Ibu menengok
pelan. Matanya terlihat kuyu. Ternyata dia masih terjaga.
“Ada apa
Ka?” tanyanya.
Aku tidak
menjawab apa-apa. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku memanggilnya. Aku hanya
ingin memastikan kalau ibu belum tertidur, ibu masih menjagaku.
“Emm, enggak
apa-apa Bu,” aku menggelangkan kepala sambil tersenyum.
Ibu pun
melanjutkan aktivitasnya menonton siaran tengah malam. Sementara aku
melanjutkan aktivitasku sendiri. Mengkhatamkan buku Ilmu Pengetahuan Alam.
Tapi, kenapa rasanya lama sekali ya? Tak kunjung selesai. Sepertinya waktu
berjalan begitu lambat. Mataku kembali melirik ke arah jam dinding. Jam 12:13.
Hatiku cemas. Perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba,
jari-jemariku merasakan sesuatu. Aku merasakan sesuatu bergerak-gerak di sana.
Spontan aku mengibaskan tanganku secara mengejutkan hingga buku yang sedang kupegang
terjatuh ke lantai.
Bruuukk!!!
Aku melihat
sesuatu di sana. Sesuatu itu terbang di udara. Seekor kupu-kupu hitam.
“Ada apa
Ka?” tanya ibu keheranan.
“Enggak,
cuma kupu-kupu”
“Kupu-kupu?”
Ibu kembali
menonton televisi. Aku kembali memperhatikan kupu-kupu tadi. Benda hitam kecil
itu hinggap di gorden. Setelah itu terdiam di sana. Beberapa saat kemudian, dia
berjalan-jalan kecil di permukaan gorden itu, lalu kembali terdiam. Aku
terhipnotis dibuatnya. Seperti anak yang kurang kerjaan.
Pada saat itulah,
aku teringat ucapan nenek. Nenek bilang, kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam
rumah, itu tandanya akan ada tamu yang datang. Kadang-kadang sih terbukti, tapi
kebanyakan gagal. Bodohnya, separuh dari diriku mempercayai hal itu. Yah,
namanya juga anak-anak. Aku membungkukkan badanku, bermaksud mengambil buku
yang terjatuh. Tiba-tiba, hal yang tidak kusangka-sangka pun terjadi…
Semua lampu
padam. Listrik padam. Seketika gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Nafasku
sesak. Sampai sekarang pun aku tidak mengerti kenapa aku selalu kesulitan
bernapas ketika suasana gelap gulita.
“Ibu!!
Ibu!!” aku memanggil-manggil, mencoba membangunkan ibu kalau-kalau ia tertidur.
“Iya.
Sebentar ya, ibu ambil lilin dulu!”
Begitulah,
aku menunggu. Menunggu di dalam kegelapan yang mati. Suasana di rumah
benar-benar sepi. Satu-satunya yang bisa kudengar hanyalah suara jarum jam yang
berdetak keras. Bahkan aku tidak mendengar suara jangkrik yang biasanya selalu
berbincang di malam hari. Aku membuka gorden, melihat ke luar jendela. Gelap.
Tidak ada sinar rembulan. Tidak ada cahaya sama sekali. Aku sempat berpikir
kalau aku buta.
Aku masih
menunggu ibu. Ibu tak juga datang membawa lilin. Aku takut. Aku selalu takut
ketika gelap. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di hadapanku sekarang. Aku
tidak tahu siapa yang sekarang sedang duduk di sampingku. Aku tidak tahu ancaman
apa yang sedang menungguku di balik kegelapan. Sederhanya, aku ketakutan.
Srak ... srak ... srakk ….
Aku
mendengar langkah kaki. Seseorang sedang berjalan di atas tikar. Suara itu
semakin terasa dekat denganku. Suara itu mendekat.
“Bu! Ibu!!
Ibuu …!!!”
“Sebentar Ka!”
suara ibu terdengar jauh. Ibu ada di belakang. Lantas, yang barusan kudengar
itu suara langkah siapa?
Lagi-lagi,
angin yang dingin berhembus menerpa tubuhku. Tidak hanya kaki, tetapi juga
lengan, dan leherku. Hawa dingin itu secara instan membuat rambut-rambut halus
di belakang leherku terbangun. Kuusapkan tanganku di tempat itu agar mereka
kembali tertidur. Tiba-tiba, lenganku kembali merasakan sesuatu yang dingin.
Tetapi, kali ini bukan sebuah tiupan, melainkan …
… sentuhan.
Aku
bergidik. Tubuhku bergetar. Tapi, aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa
berlari. Rasanya, tulang-tulang persendianku kaku. Darah yang mengalir di dalam
tubuhku menjadi dingin. Aku berkeringat. Indera perasaku masih merasakan
sentuhan dingin itu. Mengusap-usap lengan bawahku. Aku sudah tidak sanggup
lagi. Aku ingin berteriak. Mulutku membuka lebar. Pita suaraku sudah menegang.
Bersiap mengeluarkan jeritan yang kencang sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba…
Lampu
kembali menyala. Seketika terang benderang. Semua kegelapan itu lenyap. Aku
menengok ke samping. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku tidak jadi berteriak.
Kukeluarkan panjang semua napasku yang tadi sempat tertahan. Rasanya
benar-benar lega. Plong. Serasa habis buang hajat.
Ibu berjalan
dari dapur. Wajahnya penuh rasa bersalah.
“Kaka,
maafkan ibu ya. Koreknya tidak ketemu-ketemu”
Aku tidak
menjawab apa-apa. Aku masih shock. Aku segera berlari menghampirinya.
Memeluknya erat-erat. Ibu membalas merangkulku. Aku menangis. Membiarkan semua
air mataku mengalir bebas. Lepas.
“Sudah ...
Sudah ... Cep ... Cep ….”
Ibu
mengusap-usap punggungku. Aku jadi makin cemas. Aku tidak tahu kenapa.
“Ya, sudah.
Sekarang Kaka tidur saja ya. Lagian sudah malam. Besok kan mau ujian”
Aku
mengangguk. Aku memeluk ibu sekali lagi. Kemudian ibu melepaskan pelukanku.
Membiarkan aku berjalan sendiri ke kamar. Aku masih belum bisa tidur sendiri.
Aku harus ditemani.
“Bu, ibu
belum mau tidur?”
“Sudahlah,
kamu tidur duluan saja, nanti ibu menyusul”
Aku tidak
mengerti. Wajah ibu kelihatan sangat lelah. Tapi dia belum mau tidur. Yah, apa
boleh buat. Mungkin dia masih mau menyelesaikan filmnya. Akhirnya, aku berjalan
ke kamar. Mencoba untuk tidur sendiri. Kamarku gelap saat itu. Sangat tidak
biasa. Biasanya lampu kamar mati kalau ibu mau tidur. Itu pun kalau aku sudah
tertidur pulas. Dan ketika aku terbangun, ibu langsung menyalakan lampunya
lagi.
Aku
memandang ke arah gorden di ruang tengah, kupu-kupu hitam itu masih di sana.
Entah kenapa, aku jadi terpikir yang dibicarakan oleh nenek. Aku jadi
penasaran.
“Ibu …!”
panggilku.
Ibu menoleh
“Ada apa Ka? Belum tidur?”
“Bu, aku mau
tanya. Memangnya, kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, itu tandanya akan
ada tamu yang datang?”
Ibu terkejut
mendengar pertanyaanku.
“Kenapa kamu
bertanya begitu Ka?”
“Kaka pengen
tau aja,” jawabku.
Ibu terpekur
sejenak. Lalu, dia kembali memandangku. Ibu tersenyum.
“Apa yang
barusan kamu katakan itu benar Ka.”
“Hah? Jadi
semua mitos itu benar?”
Ibu hanya
menjawabnya dengan mengangguk.
“Terus,
kenapa sekarang enggak ada tamu yang datang?”
“Apa? Maksud
kamu?”
“Ibu lihat?”
ucapku sambil menunjuk ke arah gorden, “di sana ada seekor kupu-kupu. Kenapa
sekarang enggak ada tamu?”
“Oh, jadi
karena itu. Tamunya sudah ada dari tadi ko”
“Apa? Di
mana bu?”
“Tuhh!” tunjuk
ibu ke arah kupu-hitam itu.
“Maksud ibu,
tamunya adalah kupu-kupu itu sendiri?”
“Tepat
sekali. Hihi…” Ibu tertawa. Aku benar-benar merasa dibodohi oleh cerita itu.
Separuh dari diriku merasa lega. Tapi, separuh lagi masih merasa belum puas.
Imajinasiku bermain. Mungkinkah kalau cerita nenek benar dan ibu salah?
Mungkinkah kalau sebenarnya, memang ada tamu yang datang ke rumah, tapi aku
tidak melihatnya? Mungkinkah kalau tamu itu adalah sesuatu yang tak bisa
kulihat secara kasat mata?
“Bu, kalau
misalnya nenek benar, kira-kira apa yang ingin dilakukan tamu itu di rumah
kita?”
“Heemmm,
entahlah. Bisa jadi untuk bersilaturahmi, menagih hutang, atau malahan hanya
untuk mampir sebentar, tanpa tujuan. Semuanya bisa saja terjadi”
“Hemm, jadi
begitu ternyata” Kupikir ibu benar. Mungkin cerita tentang kupu-kupu itu
hanyalah sebuah tahyul bodoh yang nenek gunakan untuk untuk mengisi
pembicaraan. Aku sudah tidak lagi mempedulikannya. Sekarang sudah terlalu
larut. Aku ingin tidur. Aku pun masuk ke dalam kamar. Kamar itu gelap. Tanganku
meraba-raba dinding. Mencari-cari saklar untuk menyalakan lampu.
Klik!
Lampu kamar
pun menyala. Aku membalikkan badan, dan melihat sesuatu yang mampu
menghilangkan semua rasa kantukku di atas tempat tidur. Di sana, aku melihat
ibu sedang tertidur dengan pulas.
“Hah?
Ta-tadi ... Ibu … Di ruang tengah!”
Aku
terperangah. Tidak tahu harus berkata apa. Tak tahu harus berekspresi seperti
apa. Aku segera melemparkan pandanganku ke ruang tengah. Kosong. Tidak ada
siapa-siapa. Televisi dalam keadaan mati. Kupu-kupu hitam itu pun sudah pergi.
Lenyap dari penglihatanku. Hanya segelas teh manis yang masih tersisa di atas
meja. Ibu terbangun.
“Kaka, kamu
belum tidur?”
Aku tidak
menjawabnya. Pikiranku masih berputar-putar mencoba mengerti apa yang telah
terjadi. Ibu bangkit dari ranjangnya, berjalan ke luar. Mungkin hendak ke kamar
mandi.
“Kaka, ini
teh manis siapa?”
Lidahku
kaku. Aku hampir tidak bisa menjawabnya. Teryata semua itu benar. Nenek benar!
“Tadi, tadi
habis ada tamu Bu,” jawabku gelagapan.
“Tamu?
Selarut ini? Ada keperluan apa dia?”
“Dia, di-dia
cuma mampir saja. Tanpa tujuan.”
“Aneh
sekali. Terus, kamu yang bikin teh manis ini untuk dia?”
“Bu-bukan.
Dia yang membuatkannya untukku.”
No comments:
Post a Comment