Sunday 9 March 2014

Kupu-Kupu di Ruang Tengah


gambar: wallpaperzoo.com

Saat itu aku baru berumur 10 tahun, dan aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Hari kamis pukul sebelas malam, dan aku masih belum tidur. Tidak seperti biasanya. Aku sedang duduk di atas sofa panjang di ruang tengah. Membolak-balik lembaran-lembaran besar dari buku Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan penerangan seadanya dari lampu pijar berwarna kuning. Mataku sudah lelah, dan bibirku sudah kering, membaca kata demi kata yang terangkai sederhana pada buku itu. Namun rasa haus akan nilai yang besar sangat kuat. Besok adalah saatnya aku menghadapi ujian caturwulan mata pelajaran IPA. Aku sudah terbiasa mendapat nilai memuaskan, bahkan tanpa belajar sekalipun. Namun ibuku selalu memaksaku untuk belajar keras.
Kletek!
Telingaku tertarik oleh suara yang berasal dari meja kayu di depanku. Mataku berbaik hati untuk menunjukkannya.
Ibu menaruh teh panas. Aku bisa melihat asap yang mengepul keluar dari mulut gelas. Kurasa teh itu memang benar-benar panas.
“Diminum dulu tehnya Ka, mumpung masih hangat.”
Ibu memang terbiasa mengganti kata ‘panas’ dengan kata ‘hangat’, aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin agar aku segera meminumnya, atau mungkin memang lidahku yang terlalu sensitif. Seringkali rasa manis dari teh tersebut hampir tidak terasa saking panasnya. Entahlah.
“Iya, Bu!” jawabku.
Aku mengambil segelas teh itu dengan memegang bagian ujung atas gelas. Aku tidak ingin tanganku melepuh ketika aku meminumnya.
Sluuuurrrpp…
Eh?” Ternyata tehnya tidak begitu panas. Hangatnya pas. Kali ini manisnya terasa. Tidak seperti biasanya. Saat itu kupikir ibu sudah mulai belajar, ternyata aku terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Aku merasa kandung kemihku sudah penuh. Aku harus segera mengeluarkan isinya kalau ingin belajar dengan tenang. Aku pun bergegas meniggalkankan sofa dan berlari ke belakang. Lampu belakang sudah dimatikan, kecuali lampu kamar mandi. Keluargaku memang tidak pernah mematikan lampu kamar mandi walau siang hari sekalipun. Tanpa bertele-tele, aku langsung mengeluarkan hajatku di sana, dan rasanya … fyuuh … Benar-benar lega.
Aku berjalan meninggalkan kamar mandi dengan santai, bertolak belakang dengan saat aku hendak memasukinya. Aku berniat melanjutkan hapalanku. Ketika aku sampai di ruang tengah, aku melihat ibu ada di sana, sedang berbaring di tikar sambil menonton siaran televisi.
“Belum tidur Bu?” tanyaku.
Ibu tidak menjawabnya. Dia tidak mendengarku. Matanya masih terpaku menatap televisi di depannya. Kelihatannya ibu sangat mengantuk. Aku melihat kantung matanya memiliki kantung mata.
“Bu, kok belum tidur?” tanyaku lagi.
Ibu pun menoleh. Dia terkejut ketika melihatku. Dia baru menyadari kalau aku sejak tadi berada di sana.
“Ibu mau menemani kamu belajar. Cepat lanjutkan belajarmu!” nada bicaranya lemah. Ibu sangat kelelahan. Dia membela-belakan diri untuk menemaniku, aku jadi merasa tidak enak. Akhirnya, aku kembali duduk di sofa. Kupegang buku IPA berukuran besar itu, kubuka, dan kulanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.
Tiba-tiba, kakiku terasa dingin. Aku merasakan ada angin yang berhembus di bawah sana melewati permukaan kulitku. Seolah-olah ada yang sedang meniup-niup kedua kaki kecilku. Aku mencari tahu apa yang terjadi. Kutengok ke bawah. Kakiku basah oleh sisa air sewaktu aku di kamar mandi. Mungkin itu juga yang membuatnya terasa dingin. Aku tidak tahu pasti.
Kualihkan pandanganku ke arah jam dinding. Sudah jam 12 malam kurang sedikit. Hampir tengah malam. Lalu aku melirik ke arah ibu. Ibu masih disana. Diam, terbaring, memandang ke arah televisi. Kurasa ibu tidak benar-benar memperhatikan acaranya, tidak ada respon sama sekali. Dia tidak mengeluh, tidak tertawa, atau yang lainnya. Kurasa ibu di sana hanya untuk menemaniku.
“Bu…” panggilku.
Ibu menengok pelan. Matanya terlihat kuyu. Ternyata dia masih terjaga.
“Ada apa Ka?” tanyanya.
Aku tidak menjawab apa-apa. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku memanggilnya. Aku hanya ingin memastikan kalau ibu belum tertidur, ibu masih menjagaku.
“Emm, enggak apa-apa Bu,” aku menggelangkan kepala sambil tersenyum.
Ibu pun melanjutkan aktivitasnya menonton siaran tengah malam. Sementara aku melanjutkan aktivitasku sendiri. Mengkhatamkan buku Ilmu Pengetahuan Alam. Tapi, kenapa rasanya lama sekali ya? Tak kunjung selesai. Sepertinya waktu berjalan begitu lambat. Mataku kembali melirik ke arah jam dinding. Jam 12:13. Hatiku cemas. Perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba, jari-jemariku merasakan sesuatu. Aku merasakan sesuatu bergerak-gerak di sana. Spontan aku mengibaskan tanganku secara mengejutkan hingga buku yang sedang kupegang terjatuh ke lantai.
Bruuukk!!!
Aku melihat sesuatu di sana. Sesuatu itu terbang di udara. Seekor kupu-kupu hitam.
“Ada apa Ka?” tanya ibu keheranan.
“Enggak, cuma kupu-kupu”
“Kupu-kupu?”
Ibu kembali menonton televisi. Aku kembali memperhatikan kupu-kupu tadi. Benda hitam kecil itu hinggap di gorden. Setelah itu terdiam di sana. Beberapa saat kemudian, dia berjalan-jalan kecil di permukaan gorden itu, lalu kembali terdiam. Aku terhipnotis dibuatnya. Seperti anak yang kurang kerjaan.
Pada saat itulah, aku teringat ucapan nenek. Nenek bilang, kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, itu tandanya akan ada tamu yang datang. Kadang-kadang sih terbukti, tapi kebanyakan gagal. Bodohnya, separuh dari diriku mempercayai hal itu. Yah, namanya juga anak-anak. Aku membungkukkan badanku, bermaksud mengambil buku yang terjatuh. Tiba-tiba, hal yang tidak kusangka-sangka pun terjadi…
Semua lampu padam. Listrik padam. Seketika gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Nafasku sesak. Sampai sekarang pun aku tidak mengerti kenapa aku selalu kesulitan bernapas ketika suasana gelap gulita.
“Ibu!! Ibu!!” aku memanggil-manggil, mencoba membangunkan ibu kalau-kalau ia tertidur.
“Iya. Sebentar ya, ibu ambil lilin dulu!”
Begitulah, aku menunggu. Menunggu di dalam kegelapan yang mati. Suasana di rumah benar-benar sepi. Satu-satunya yang bisa kudengar hanyalah suara jarum jam yang berdetak keras. Bahkan aku tidak mendengar suara jangkrik yang biasanya selalu berbincang di malam hari. Aku membuka gorden, melihat ke luar jendela. Gelap. Tidak ada sinar rembulan. Tidak ada cahaya sama sekali. Aku sempat berpikir kalau aku buta.
Aku masih menunggu ibu. Ibu tak juga datang membawa lilin. Aku takut. Aku selalu takut ketika gelap. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di hadapanku sekarang. Aku tidak tahu siapa yang sekarang sedang duduk di sampingku. Aku tidak tahu ancaman apa yang sedang menungguku di balik kegelapan. Sederhanya, aku ketakutan.
Srak ... srak ... srakk ….
Aku mendengar langkah kaki. Seseorang sedang berjalan di atas tikar. Suara itu semakin terasa dekat denganku. Suara itu mendekat.
“Bu! Ibu!! Ibuu …!!!”
“Sebentar Ka!” suara ibu terdengar jauh. Ibu ada di belakang. Lantas, yang barusan kudengar itu suara langkah siapa?
Lagi-lagi, angin yang dingin berhembus menerpa tubuhku. Tidak hanya kaki, tetapi juga lengan, dan leherku. Hawa dingin itu secara instan membuat rambut-rambut halus di belakang leherku terbangun. Kuusapkan tanganku di tempat itu agar mereka kembali tertidur. Tiba-tiba, lenganku kembali merasakan sesuatu yang dingin. Tetapi, kali ini bukan sebuah tiupan, melainkan …
… sentuhan.
Aku bergidik. Tubuhku bergetar. Tapi, aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa berlari. Rasanya, tulang-tulang persendianku kaku. Darah yang mengalir di dalam tubuhku menjadi dingin. Aku berkeringat. Indera perasaku masih merasakan sentuhan dingin itu. Mengusap-usap lengan bawahku. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku ingin berteriak. Mulutku membuka lebar. Pita suaraku sudah menegang. Bersiap mengeluarkan jeritan yang kencang sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba…
Lampu kembali menyala. Seketika terang benderang. Semua kegelapan itu lenyap. Aku menengok ke samping. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku tidak jadi berteriak. Kukeluarkan panjang semua napasku yang tadi sempat tertahan. Rasanya benar-benar lega. Plong. Serasa habis buang hajat.
Ibu berjalan dari dapur. Wajahnya penuh rasa bersalah.
“Kaka, maafkan ibu ya. Koreknya tidak ketemu-ketemu”
Aku tidak menjawab apa-apa. Aku masih shock. Aku segera berlari menghampirinya. Memeluknya erat-erat. Ibu membalas merangkulku. Aku menangis. Membiarkan semua air mataku mengalir bebas. Lepas.
“Sudah ... Sudah ... Cep ... Cep ….”
Ibu mengusap-usap punggungku. Aku jadi makin cemas. Aku tidak tahu kenapa.
“Ya, sudah. Sekarang Kaka tidur saja ya. Lagian sudah malam. Besok kan mau ujian”
Aku mengangguk. Aku memeluk ibu sekali lagi. Kemudian ibu melepaskan pelukanku. Membiarkan aku berjalan sendiri ke kamar. Aku masih belum bisa tidur sendiri. Aku harus ditemani.
“Bu, ibu belum mau tidur?”
“Sudahlah, kamu tidur duluan saja, nanti ibu menyusul”
Aku tidak mengerti. Wajah ibu kelihatan sangat lelah. Tapi dia belum mau tidur. Yah, apa boleh buat. Mungkin dia masih mau menyelesaikan filmnya. Akhirnya, aku berjalan ke kamar. Mencoba untuk tidur sendiri. Kamarku gelap saat itu. Sangat tidak biasa. Biasanya lampu kamar mati kalau ibu mau tidur. Itu pun kalau aku sudah tertidur pulas. Dan ketika aku terbangun, ibu langsung menyalakan lampunya lagi.
Aku memandang ke arah gorden di ruang tengah, kupu-kupu hitam itu masih di sana. Entah kenapa, aku jadi terpikir yang dibicarakan oleh nenek. Aku jadi penasaran.
“Ibu …!” panggilku.
Ibu menoleh “Ada apa Ka? Belum tidur?”
“Bu, aku mau tanya. Memangnya, kalau ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah, itu tandanya akan ada tamu yang datang?”
Ibu terkejut mendengar pertanyaanku.
“Kenapa kamu bertanya begitu Ka?”
“Kaka pengen tau aja,” jawabku.
Ibu terpekur sejenak. Lalu, dia kembali memandangku. Ibu tersenyum.
“Apa yang barusan kamu katakan itu benar Ka.”
“Hah? Jadi semua mitos itu benar?”
Ibu hanya menjawabnya dengan mengangguk.
“Terus, kenapa sekarang enggak ada tamu yang datang?”
“Apa? Maksud kamu?”
“Ibu lihat?” ucapku sambil menunjuk ke arah gorden, “di sana ada seekor kupu-kupu. Kenapa sekarang enggak ada tamu?”
“Oh, jadi karena itu. Tamunya sudah ada dari tadi ko”
“Apa? Di mana bu?”
“Tuhh!” tunjuk ibu ke arah kupu-hitam itu.
“Maksud ibu, tamunya adalah kupu-kupu itu sendiri?”
“Tepat sekali. Hihi…” Ibu tertawa. Aku benar-benar merasa dibodohi oleh cerita itu. Separuh dari diriku merasa lega. Tapi, separuh lagi masih merasa belum puas. Imajinasiku bermain. Mungkinkah kalau cerita nenek benar dan ibu salah? Mungkinkah kalau sebenarnya, memang ada tamu yang datang ke rumah, tapi aku tidak melihatnya? Mungkinkah kalau tamu itu adalah sesuatu yang tak bisa kulihat secara kasat mata?
“Bu, kalau misalnya nenek benar, kira-kira apa yang ingin dilakukan tamu itu di rumah kita?”
“Heemmm, entahlah. Bisa jadi untuk bersilaturahmi, menagih hutang, atau malahan hanya untuk mampir sebentar, tanpa tujuan. Semuanya bisa saja terjadi”
“Hemm, jadi begitu ternyata” Kupikir ibu benar. Mungkin cerita tentang kupu-kupu itu hanyalah sebuah tahyul bodoh yang nenek gunakan untuk untuk mengisi pembicaraan. Aku sudah tidak lagi mempedulikannya. Sekarang sudah terlalu larut. Aku ingin tidur. Aku pun masuk ke dalam kamar. Kamar itu gelap. Tanganku meraba-raba dinding. Mencari-cari saklar untuk menyalakan lampu.
Klik!
Lampu kamar pun menyala. Aku membalikkan badan, dan melihat sesuatu yang mampu menghilangkan semua rasa kantukku di atas tempat tidur. Di sana, aku melihat ibu sedang tertidur dengan pulas.
“Hah? Ta-tadi ... Ibu … Di ruang tengah!”
Aku terperangah. Tidak tahu harus berkata apa. Tak tahu harus berekspresi seperti apa. Aku segera melemparkan pandanganku ke ruang tengah. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Televisi dalam keadaan mati. Kupu-kupu hitam itu pun sudah pergi. Lenyap dari penglihatanku. Hanya segelas teh manis yang masih tersisa di atas meja. Ibu terbangun.
“Kaka, kamu belum tidur?”
Aku tidak menjawabnya. Pikiranku masih berputar-putar mencoba mengerti apa yang telah terjadi. Ibu bangkit dari ranjangnya, berjalan ke luar. Mungkin hendak ke kamar mandi.
“Kaka, ini teh manis siapa?”
Lidahku kaku. Aku hampir tidak bisa menjawabnya. Teryata semua itu benar. Nenek benar!
“Tadi, tadi habis ada tamu Bu,” jawabku gelagapan.
“Tamu? Selarut ini? Ada keperluan apa dia?”
“Dia, di-dia cuma mampir saja. Tanpa tujuan.”
“Aneh sekali. Terus, kamu yang bikin teh manis ini untuk dia?”
“Bu-bukan. Dia yang membuatkannya untukku.”

No comments:

Post a Comment