Saturday 8 March 2014

Dua Menit, Tiga Menit


gambar: A General Theory of Love book cover

Bila rasa sudah bersemayam, tak tahu lagi bagaimana mengusirnya. Karena saat pertama melekatnya pun, itu bukanlah perkara yang mampu berhasil dalam sekali percobaan. Paku saja harus dipalu berkali-kali agar menancap dengan kuat di tembok, kayu, bahkan triplek sekalipun. Sekali pandang, rasanya tawar. Dua kali pandang, rasanya asin. Berkali-kali pandang, rasanya manis. Sering kali dipandang, rasanya gurrriihh bukan main (lho)! Retakan di langit-langit, tak pernah kumelihatnya …
***
          Ini adalah hari terindah yang pernah ada. Langit begitu cerah, tapi suhu sama sekali tidak gerah. Bu Imas—guru Bahasa Indonesia—batal masuk kelas karena hidungnya berdarah. Aku berjalan setengah melompat-lompat seperti anak kecil, dengan senyumku yang merekah. Kalau sekarang aku bercermin, pastilah kedua pipiku semu merah.

          Dua menit itu, dua menit yang paling menyenangkan! Betapa tidak, aku berhasil bicara dengannya. Kau percaya itu? Mulai sekarang, dia tahu namaku. Walau sekadar nama panggilan, bukan nama lengkap yang tertera di akta kelahiranku. Ah, benar-benar serasa mimpi aku sanggup mengatakan itu padanya. Percaya tidak percaya, dengan persentase ketidakpercayaan 99 persen.
          Kau pasti ingin tahu bagaimana kejadiannya bukan? Oh, ya. Nama asliku Dewi Kirana, tetapi di akta tercetak Neng Dewi Kirana (entah dari mana asalnya tambahan itu). Sejak kecil, semuanya memanggilku Wiki dan aku juga terbiasa dipanggil begitu. Padahal, sebetulnya aku tidak suka. Membuatku terdengar lemah. Tahu kata ‘lemah’ dalam bahasa inggris kan? Ah, sudah cukup intermezonya. Akan aku ceritakan kejadian tadi saat lelaki itu belajar mengucap namaku.
          “Hei, cowok! Traktir aku dong!” pintaku sok dekat saat bertemu dengannya di kantin.
          “Hah?”
          “Traktir. Tahu kan artinya?”
          “Seenaknya! Memangnya kau siapa?”
          “Aku Wiki dari 11 IPA 4.”
          “Wiki?”
          “Ingat baik-baik ya!”
          Begitulah. Biasa saja bukan? Itu menurutmu. Lain dengan orang yang sedang kasmaran seperti aku. Setelah itu aku langsung berlari terbirit-birit ke kelas. Mungkin karena degup jantungku yang begitu cepat membuat adrenalinku terpacu.
          Namanya Adrian. Orangnya putih, tinggi, badannya tegap berisi, dan suaranya serak-serak becek. Persis seperti Ariel Noah dengan wajah lebih tampan. Tujuh dari sepuluh banci pasti suka padanya. Apalagi aku sebagai wanita tulen. Aku jatuh padanya. Aku mati padanya. Kalau boleh, ingin sekali aku memotong kepalanya yang tampan itu untuk kupasang di dinding kamar, agar aku bisa memandanginya setiap bangun ataupun hendak terlelap.
          Selama istirahat kedua berlangsung, aku hanya duduk manis di depan kelas. Kelasku dan kelasnya saling berhadapan. Aku bisa melihatnya sedang menulis dari balik jendela. Tiba-tiba kepalanya menoleh. Dia menoleh ke arahku. Aku langsung membuang muka. Berpura-pura tidak melihatnya. Bisa gawat kalau dia sampai curiga. Setelah beberapa saat, aku melirik lagi ke arahnya. Ya ampun, dia masih memandangiku sejak tadi. Ah, kepiting rebus! Pasti pipiku semerah makanan itu sekarang.
***
          … Kalau hati ini adalah ladang, kau lah yang jadi petaninya. Yang saban hari keluar masuk, menggarap, memberi pupuk, menyirami, dan menanam benih-benih di sana. Dan kalau memang kau petani, kau adalah petani yang baik. Yang tak pernah lupa jadwal, menjaga agar ladangnya tetap subur dan benihnya tumbuh dengan sehat. Retakan di langit-langit, setiap malam aku selalu menatapnya …
***
          Pagi ini sungguh biasa. Normal. Tak seperti kemarin. Padahal matahari baru naik sepenggalan, tapi Adrian sudah dikerumuni oleh banyak perempuan-perempuan centil dan berisik. Aku memang berisik, tapi setidaknya aku tidak hiperbol seperti mereka. Huh, aku memang tidak suka pedas. Aku benci cabe. Apalagi cabe-cabean!
          Kalau sedang kesal, aku ingin makan. Aku selalu membayangkan makanan yang masuk ke dalam mulutku adalah orang yang membuatku kesal itu. Kugigit, kukunyah, kukoyak dengan gigi taringku, lalu kutelan dengan lahap. Rasanya plong sekali.
          “Bakso satu Mas!” pesanku pada Mas Guntur, penjual bakso di kantin sekolah.
          “Campur?”
          “Tidak pakai saus, tidak pakai sambel, juga tidak pakai kol.”
          Aku mengisi satu-satunya meja yang kosong dengan dua kursi. Sekarang tinggal duduk menunggu dengan bosan. Di saat seperti inilah, pasti selalu terbayang momen-momen paling menyebalkan. Bagaimana mungkin Adrian bisa melihatku di antara puluhan wanita yang selalu mendekatinya? Aku terus mencari waktu yang tepat di saat ia sedang sendiri. Misalnya ketika ia sedang duduk menunggu di Tata Usaha untuk menyerahkan data diri pengajuan beasiswa. Belum sempat aku ngobrol, aku sudah dipanggil duluan ke dalam. Begitu aku keluar, giliran dia yang dipanggil masuk. Kalau aku Sponge Bob, pasti sudah kukatakan “Saus Tartar!”
          Kletek! Semangkuk bakso mendarat di mejaku. Orang yang mengantarkannya lalu duduk di kursi di depanku, di meja yang sama.
          “Punyamu,” ujarnya. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suaraku menyangkut di tenggorokan saat mengetahui wajahnya. Aku hanya mengambil semangkuk bakso itu dan langsung menyantapnya.
          Ya ampun, kenapa sekarang? Kenapa si Adrian ada di sini? Aku belum menyusun kata-kata yang pas untuk ngobrol. Aku masih terus melahap dan melahap lagi bakso itu. Rasanya makin asin. Pasti kuahnya sudah terkontaminasi oleh keringat dinginku yang bercucuran karena gugup. Aku tidak boleh terlihat bodoh. Aku harus menemukan topik pembicaraan.
          “Emm .…”
          “Ini baksonya, Dek Adrian!” Mas Guntur mengantarkan pesanan Adrian. Uh, mengganggu saja dia. Padahal baru satu emm yang aku katakan.
          “Makasih, Mas!” jawab Adrian. “Oh, ya! Tadi kau mau bilang apa?”
          “Bapakmu arsitek ya?” Alamak! Kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku?
          “Lebih tepatnya pemborong,” jawabnya tenang.
          “Pemborong?”
          “Kerjanya membangun bendungan, jembatan, dan jalan layang,” ujarnya sambil memasukkan bakso bulat ke mulutnya.
          “Kau bisa?”
          “Belum. Ilmuku baru sampai membangun rumah.”
          “Kalau membangun rumah tangga bisa tidak?” Keceplosan! Mulutku lagi-lagi tidak terkontrol. Aku ini wanita, kenapa malah aku yang gombal? Aku sempat melihat Adrian tersedak dan pergi membeli air mineral. Langsung saja kujejalkan semua bakso di mangkuk sampai mulutku penuh, lalu berlari kembali ke kelas, setelah membayar tentunya.
***
          … Aku memang pemalu. Tak enak hati membeberkan semua rahasia padamu. Padahal kelas kita bersebrangan. Setiap saat aku bisa melihatmu dari sini. Menikmati wajah lucu yang kau pamerkan. Membayangkan kalau aku bisa memandangnya dari dekat. Setidaknya lebih dekat dari jarak antara dua mata. Pasti menyenangkan. Tapi itu belum cukup. Kau tahu, bagiku itu tidak pernah cukup. Aku ingin memilikimu. Andai ayahku tidak menurunkan gen pemalu-nya padaku, tidak akan seperti ini jadinya. Retakan di langit-langit, setiap malam aku selalu menatapnya, tapi tak pernah melihatnya. Karena saat itu, pikiranku sedang terfokus padamu …
***
          Keesokan harinya, entah kenapa suasana begitu berbeda dari sebelumnya. Langit mendung, padahal bukan di kota hujan. Hawa dingin membuat meriang seluruh badan. Angin pun berhembus dengan ragu-ragu, kadang kencang, kadang pelan. Yang terpenting dari semuanya, sejak pagi aku belum melihat dadanya yang bidang, Adrian.
          Kuputuskan untuk ke kantin dan membeli bakso. Lagi.
          “Mas, pesan baksonya setengah, mie-nya setengah, bihunnya setegah, kuahnya setengah!”
          “Lho, kok pesennya setengah-setengah Neng?”
          “Lagi diet.”
          “Oh, pantesan. Ya sudah, nanti saya bikinin.”
          “Oke. Pesennya porsi dobel ya Mas!”
          Saat itu Mas Guntur menyadari kalau aku sedang bergurau. Tapi tidak ada tawa di mulutnya.
          “Garing!” cuma itu tanggapannya. “Oh iya! Tadi ada yang nitip ini sama saya. Katanya buat Neng Wiki.”
          Mas Guntur memberikan selembar amplop. Apa ini? Uangkah isinya? Aku membukanya dan melihat bahwa ternyata isinya selembar kertas berisi tulisan yang sangat banyak. Duh, aku sedang malas membaca. Mana baksoku sudah tiba. Tapi sepertinya pesan ini cukup penting. Yah, mau bagaimana lagi. Dengan terpaksa aku pun mulai membacanya:
“Bila rasa sudah bersemayam, tak tahu lagi bagaimana mengusirnya …”
***
          … Aku sangat menikmati detik-detik saat bersamamu. Di ruang Tata Usaha, kita memang tidak mengobrol. Tapi aku sempat melihat aktamu saat kau sedang membereskan berkas-berkasmu. Neng Dewi Kirana. Nama itu yang kubaca di sana. Makanya aku sungguh terkejut saat tiba-tiba kau datang meminta traktir, dan menyebutkan bahwa namamu adalah Wiki. Lalu, saat kau sedang makan bakso. Beruntung sekali hanya mejamu yang kosong, aku jadi punya alasan untuk duduk di sana. Aku sempat kesulitan menghirup napas saat kau mengatakan itu padaku. Rumah tangga? Haha… Ternyata kau pintar menggombal juga ya. Asal kau tahu, tiga menit saat makan bakso bersamamu, adalah tiga menit yang tak akan pernah kulupa dan tak akan pernah hilang rasanya.
          Hemmh… Surat ini sudah terlampau panjang. Aku takut kau malah bosan membacanya. Maaf ya, aku bukan lelaki gentle yang bisa mengungkapkan segudang kata cinta padamu secara langsung. Aku cuma ingin mengatakan salam perpisahan. Ya, ayahku pemborong, kerjanya tak menetap. Aku harus ikut dengannya disaat ada proyek baru. Satu hal yang harus kau tahu, aku bukan tipe lelaki yang suka main-main soal perasaan. Untuk masalah ini, aku serius. Aku bukan lelaki yang mudah jatuh cinta. Perlu ratusan bahkan ribuan alasan untuk aku mencintai seorang wanita. Dan kau punya satu milyar alasan yang kubutuhkan.
          Aku memang akan pergi. Tapi aku berjanji. Beberapa tahun dari sekarang, aku akan berkunjung ke rumahmu. Bukan untuk menemuimu, tapi untuk menemui ibu dan bapakmu. Saat datangnya hari itu, pastikan kau belum punya suami ya! Hehe …
Adrian

===TAMAT===

No comments:

Post a Comment