Sunday, 9 March 2014

IPB, Where are You?

gambar: bronzemagonline.com

MALAM semakin larut, hujan pun semakin deras melumat tempat itu. Di dalam sebuah ruangan, seorang anak lelaki terduduk di dalam selimut. Tubuhnya menggigil karena kehujanan. Seorang pria berkumis dan berseragam putih mendekatinya dan memberikannya secangkir teh hangat. Tanpa disuruh, anak itu langsung meminumnya.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya sang pria berseragam.
“Alhamdulillah Pak, sudah baikan. Terima kasih banyak ya Pak!” jawab anak itu dengan mulut yang bergetar.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya pria itu lagi.
“Aku tidak ingat. Memangnya, apa yang terjadi padaku?”
“Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini malam-malam?”
“Aku tidak ingat. Memangnya apa yang aku lakukan?”
“Ini tidak ingat, itu tidak ingat. Lalu apa yang kamu ingat?”
“Aku hanya ingat, aku lulus seleksi SNMPTN Undangan di IPB.”

***
Siang itu, matahari semakin gila memanggang kota Kuningan yang menggeliat kepanasan. Di tengah jilatan lidah api matahari itu, seorang anak lelaki berlari terburu-buru di atas jalanan aspal dekat terminal. Dia adalah Sigit. Dia berlari mengejar bus berwarna hijau yang sedang terparkir jauh di depannya. Pedagang kaki lima yang ramai menjajakan aksesoris dengan harga murah ia hiraukan. Asap dan debu jalanan yang menyerang wajahnya tanpa ampun tidak ia pedulikan. Untungnya dia masih bisa melihat melalui kacamata tak berlensa seharga dua kali makan nasi rendangnya itu.
Sigit masih berlari dan terus berlari, sambil sesekali membetulkan celanajeans panjang berwara biru donkernya yang sering merosot. Punggungnya terbungkuk karena keberatan membawa tas ranselnya yang penuh berisi pakaian dan alat-alat mandinya. Tangan kanannya membawa kantung plastik putih besar berisi buku matematika untuk ia nikmati di perjalanan nanti. Bus bertuliskan ‘KUNINGAN-BOGOR’ itu semakin jelas terlihat di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya dia pun berhasil menaiki bus tersebut. Dia tidak memiliki gambaran seperti apa kota yang akan didatanginya nanti. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia naik bus. Namun, itu tidak mengurangi semangatnya untuk mencapai impiannya yang selalu terpatri di lempengan hatinya.
“Sebentar lagi, aku akan bersekolah di Perguruan Tinggi.”

***
“Lantas, apa yang sekarang sedang kamu perbuat?” tanya pria berkumis.
“Tentu saja aku sedang mencari perguruan tinggi itu.” jawab bocah lelaki itu. Suaranya masih bergetar. Mendengar jawaban yang keluar dari mulut anak itu, sang pria mengerutkan dahinya. Namun, anak itu kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Sejak kecil, aku selalu bermimpi bersekolah di perguruan tinggi, dan nama perguruan tinggi yang pertama kali aku dengar adalah IPB. Institut Pertanian Bogor. Maka ketika aku mendengar bahwa aku diterima di sana, aku benar-benar merasa bahagia.”
“Jadi, apa masalah kamu? Bukankah kamu sudah dinyatakan diterima?”
“Masalahnya sekarang adalah, aku tidak tahu di mana letak universitas impianku itu.”
Pria berseragam putih itu semakin melengkungkan alisnya.
***
Sigit menikmati setiap detik demi detik dalam perjalanannya menuju kota impiannya. Seorang pengamen masuk ke dalam bus. Melantunkan sebuah lagu yang memberatkan kelopak mata. Beberapa saat kemudian, Sigit melihat kegelapan. Tak terasa dirinya tertidur dalam buaian sang pengamen.
“Nak.. Nak.. Bangun Nak!” ucap seseorang padanya.
Sigit pun terbangun. Hal yang pertama kali ia lihat adalah seorang pria tampan mengenakan jas berwarna putih yang terlihat kebesaran.
“Di mana aku? Apa aku sudah sampai di terminal Bogor?” tanyanya linglung.
“Bukan Nak. Sekarang, kamu berada di Rumah Sakit Umum Kota Bogor.”
“Hah?!! Rumah Sakit?!! Apa yang terjadi padaku?”
“Bus yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan.”
Mendengar kata-kata yang terpantul di gendang telinganya tersebut, bocah itu shock. Bagai tersambar petir di siang bolong. Sigit memperhatikan pria tampan di depannya sekali lagi. Setelah sekian lama termenung, akhirnya dia menyadari bahwa pria itu adalah seorang dokter.
“Sudah berapa lama aku terbaring di rumah sakit ini?”
“Sekitar satu minggu.”
“Apa????!!!!!”
Untuk beberapa alasan, Sigit menyesal telah bertanya. Aku menyesal memilih naik bus hijau sialan itu. Seharusnya aku naik yang berwarna kuning saja.
“Bagaimana saya membayar biaya rumah sakit ini dok? Saya tidak punya uang. Kedua orang tua saya sudah meninggal. Saya tinggal bersama paman saya yang bahkan dia tidak ingin tahu sekarang saya ada di mana.” tanya Sigit.
“Tenang saja. Semua biaya administrasi telah ditanggung oleh pemilik bus yang bersangkutan.”
“Alhamdulillah…” hela anak itu. “Untung aku naik bus yang berwarna hijau” batinnya.
“Apakah sekarang saya sudah boleh pergi?”
“Ya. Tapi sebelum kamu pergi, jangan lupa tanda tangan dan ambil berkas yang ada di resepsionis ya.”
“Baiklah. Terima kasih banyak Dok.”
***
“Boleh aku lihat catatanmu?” pinta sang pria berseragam putih.
“Catatan apa maksud Bapak?”
“Catatanmu, yang selalu kamu kantongi kemana-mana. Catatan yang di dalamnya juga berisi peta.”
“Aku tidak memiliki catatan seperti itu.”
“Kamu yakin?”
“Tentu saja. Lagipula, kenapa aku membutuhkan peta?
“Kenapa tidak kamu cek saja dulu seluruh kantong yang ada di baju dan ranselmu?”
Anak itu tertegun sejenak. Pria di hadapannya itu menatapnya dengan senyum kecil yang mencurigakan. Kemudian, dia mulai mencari-cari catatan itu.
“Tidak ada. Aku sudah mencarinya barusan.”
“Benarkah? Coba kamu cek sekali lagi. Mungkin kamu kurang teliti.”
Sekali lagi anak itu mencari-cari catatan yang menurutnya tidak pernah ada itu. Hasilnya, tetap sama. Dia tidak menemukannya.
“Tidak ada. Sudah kubilang kan, aku tidak memiliki catatan seperti itu.”
“Kamu sudah mencarinya dengan benar?”
“Aku sudah mencarinya ke setiap sudut kantong saku dan ranselku, dan seperti yang kubilang barusan. Aku tidak menemukannya.”
“Hemm.. Ternyata memang begitu rupanya.”
***
Akhirnya, kota yang selama ini selalu ada di dalam impiannya. Kota yang selalu ada di dalam benaknya sewaktu kecil. Kota yang memiliki sebuah kebun di tengah-tengahnya. Kota di mana langit tidak pernah kehabisan hujannya. Kota Bogor. Di kota inilah dambaan hatinya berada. Di kota inilah kekasihnya berada. Berdiri kokoh diantara sawah-sawah, hutan, dan perumahan. Institut Pertanian Bogor.
Satu masalah menghilang, masalah yang lain datang. Dia tidak pernah tahu di mana tepatnya pujaan hatinya itu berada. Bagai mau menikah dengan seseorang yang tidak ia kenal. Dia hanya mendengar kabar tentang IPB dari teman-temannya. Dia tidak pernah berani membuka internet. Tetangga-tetangganya memilliki konotasi yang buruk tentang internet. “Liat tuh, di TV! Ada anak diculik gara-gara kenalan lewat internet.” atau “Anak saya, si Joko, ketahuan buka video yang aneh-aneh di warnet.” Otaknya sudah terprogram untuk mengeruh ketika mendengar kata-kata yang berhubungan dengan ‘warnet’ atau ‘internet’.
Dia bertanya kepada orang yang pertama kali ia temui di jalan, seorang penjual koran asongan.
“Maaf kang, saya mau tanya. Kalau IPB itu di mana ya?”
“Kamu mau beli koran nggak?”
“Tidak kang.”
“Ya sudah. Nggak usah nanya-nanya! Mau nanya tapi nggak mau beli. Ganggu orang aja!!” jawab orang itu ketus.
Mengerti dengan maksud perkataan penjual koran, Sigit pun langsung memberikan selembar uang lima ribuan padanya.
“Korannya satu ya kang..” Sigit tersenyum dipaksakan.
Si tukang koran memberikan permintaan Sigit. Bocah lelaki itu pun kembali bertanya.
“Maaf kang, saya mau tanya. Kalau IPB itu ada di mana ya?”
“IPB tuh ada dua tempat, De. Yang satu di Dramaga, yang satu lagi di Baranang Siang. Maksud Ade IPB yang mana ya?”
“Yang di Dramaga kang. Bisa tidak akang menunjukkan sama saya di mana tepatnya IPB Dramaga itu?”
“Kamu mau beli koran nggak?
“Lho? Tadi kan saya sudah beli!”
“Ya sudah kalau nggak mau tau. Mau dikasih tau, tapi nggak mau beli koran. Ganggu orang aja!”
***
“Sebenarnya, saya sudah bosan dengan kamu.” tutur pria berkumis.
“Bosan? Perasaan baru kali ini saya bertemu bapak.”
“Begini saja. Sekarang, saya tanya kamu, apa kamu mengidap suatu penyakit?”
“Penyakit yang mana maksud bapak?”
“Penyakit yang sudah sangat parah dan sulit disembuhkan.”
“Aku tidak ingat.”
“Apa kamu ingat ini?” pria berseragam memberikan selembar kertas pada bocah itu.
“Apa ini?”
“Ini surat keterangan dari dokter, berisi namamu.”
“Apa? Bagaimana mungkin? Aku tidak pernah merasa sakit. Kapan aku sakit?”
“Ketika kamu mengalami kecelakaan.”
“Kecelakaan apa?”
***
Sigit berjalan di sebuah pasar. Namun, tidak ada satupun orang yang dia kenali. Dia sendirian di tengah-tengah keramaian. Sigit berjalan dengan langkah gontai. Kepalanya mendongak ke langit. Tidak ada awan sama sekali. Benar-benar cerah. Batinnya sempat ragu “Apakah benar aku sedang berada di kota hujan?
Tiba-tiba, matanya menangkap seorang perempuan yang sangat cantik. Sigit tidak tertarik dengan kecantikannya, melainkan dengan jaket yang dikenakannya. Jaket itu bertuliskan “FMIPA – Institut Pertanian Bogor”. Bergegas anak itu mengambil langkah seribu mengejar perempuan tersebut. Sigit masuk melewati sebuah jalan kecil diantara tembok yang tinggi. Kemudian, dia mencegat wanita itu. Dengan napas yang tersengal, ia pun bertanya
“Maaf teh, apa teteh tau di mana letak IPB Dramaga?”
Wanita itu keheranan. Sigit melanjutkan pembicaraannya.
“Saya sudah mencarinya ke setiap sudut kota ini. Tapi sampai sekarang, saya belum menemukannya. Tolong saya teh. Saya menyerah. Saya sudah tidak punya uang lagi untuk membeli koran.”
Perempuan itu tersenyum kecil, kemudian berkata kepada Sigit dengan suara yang lembut.
“Mas mencari IPB? Sebenarnya Mas sudah tidak perlu lagi mencarinya. Sekarang, Mas sudah berada di dalamnya.”
***
Suara hujan sudah mereda. Rasa dingin yang menyerang tubuh anak itu pun sedikit demi sedikit mulai menghilang. Namun teka-teki yang berputar di dalam kepalanya semakin deras.
“Kecelakaan apa yang bapak maksud?”
“Kecelakaan sewaktu kamu sedang dalam perjalanan bus menuju kota bogor. Ketika kamu sedang mencari letak universitas ini.”
“Universitas ini?”
“Akibat kecelakaan itu, kamu mengidap sebuah gangguan otak yang bernama Short Term Memory Loss. Kamu tidak bisa membuat memori-memori baru. Kamu hanya bisa mengingat memori yang terjadi sebelum kamu mengalami kecelakaan.”
“Konyol. Ini benar-benar konyol.”
“Kalau tidak percaya, lihat saja surat dokter ini. Kamu hanya bisa sadar selama beberapa jam. Setelah itu, kamu akan lupa semua yang telah terjadi selama beberapa jam itu. Makanya kamu menulis semuanya di buku catatanmu, agar kamu bisa tetap mengingatnya.”
“Bapak kan tahu kalau aku tidak punya buku catatan itu.”
Tiba-tiba, pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam ruangan itu.
“Permisi Pak satpam. Tadi saya menemukan ini.” ucap orang itu seraya memberikan sebuah buku besar.
“Akhirnya.. Ketemu juga..” hela Pak Satpam, pria berseragam putih dan berkumis itu.
“Lihat buku ini! Ini adalah semua catatan yang kamu miliki. Di dalamnya juga berisi peta IPB supaya kamu mengingat tempat-tempat yang ada di kampus ini.”
“Maksud bapak, sekarang saya berada di dalam kampus IPB?”
“Tepat sekali. Sekarang, kamu sedang berada di Cikabayan. Memang keadaanya seperti hutan, tapi ini adalah salah satu tempat praktikum yang ada di IPB.”
“Jadi? Sekarang saya bisa berkuliah di sini. Memenuhi impian saya.”
“Kamu sudah melakukannya. Kamu sudah berkuliah di sini selama tiga tahun, dan selama itu pula kamu tersesat di tempat ini karena sering menjatuhkan buku catatanmu.”
“Apa? Aku, aku tidak percaya.”
“Lihat dompetmu!”
Sigit pun membuka dompetnya. Di dalamnya ada sebuah KTM. Di sana, tercetak namanya dan fotonya.
“Jadi, aku adalah mahasiswa IPB!!.” Sigit pun tersenyum merekah.
“Hore!!! Aku mahasiswa IPB!!! Aku berhasil!!!” Sigit meloncat-loncat kegirangan, kemudian segera berlari keluar karena saking senangnya.
Pak satpam menghela napas lega. Akhirnya urusannya dengan anak pikun itu telah berakhir. Dia hanya berharap semoga tidak ada lagi cerita tentang anak yang mondar-mandir di Cikabayan, mencari-cari letak IPB karena buku catatannya hilang. Dia sudah terlalu bosan.
Tak lama, Sigit kembali masuk dengan memasang raut wajah kebingungan.
“Permisi Pak! Apa bapak tahu di mana letak IPB?”
“Ya ampun!! Sekarang apa?”
Pak Satpam mengalihkan pandangannya ke atas meja. Di sana, dia melihat buku catatan Sigit dan KTMnya tertinggal.
“Ah, sudah dimulai lagi!”

==TAMAT==

No comments:

Post a Comment