Sunday, 9 March 2014

Wahai Hasan


gambar: miriadna.com

Assalamu’alaikum ...
Wahai, Hasan! Awal ketika aku terdampar di tempat ini, aku begitu cemas. Risau. Takut. Karena ketika aku terbangun, kau tidak ada di sini bersamaku. Aku kebingungan. Tersesat. Pontang-panting tak tentu arah di pesisir pantai ini. Butiran garam menempel di telingaku, mulutku penuh dengan pasir, dan yang aku ingat di perjalanan hanyalah air dan badai. Matahari terbit dari ufuk timur. Itu tandaya, hariku yang baru sedang dimulai. Apa yang harus aku lakukan, Hasan?
***
Di sebuah ruangan kecil dengan dinding berwarna hijau muda, seorang pria berperawakan tinggi kurus, berbaju muslim, bersorban, dan berpeci berdiri di hadapan kedua anak didiknya. Dia tidak bisa lagi berdiri dengan tegak karena tulang belakangnya sudah membungkuk. Tangannya yang keriput bergerak-gerak menuliskan sesuatu di atas papan tulis hitamnya menggunakan kapur berwarna putih. Kedua muridnya hanya memperhatikan.

“Allah SWT.” ucap pria itu dengan suaranya yang serak. Dia memberi jeda pada ucapannya agar muridnya lebih meresapi perkataannya. Tak lama, dia melanjutkan penjelasannya.
“Allah SWT. Tiada Tuhan yang patut kita sembah selain Dia. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang boleh kita mintai pertolongan, kita cintai, kita patuhi, dan kita takuti melebihi kepada-Nya. Dia-lah sang Pencipta, sang Pengatur alam semesta. Dzat yang Maha segala-galanya.”
Pria itu kembali terdiam. Membiarkan kedua muridnya mencerna penjelasannya. Salah seorang muridnya mengangkat tangan.
“Pak Ali, saya ingin bertanya.”
“Silakan, Hasan!”
“Kenapa kita harus takut kepada Allah SWT dan tidak boleh takut kepada sesuatu melebihi kepada-Nya?”
“Orang yang takut kepada Allah, dia percaya bahwa Allah selalu berada di sisinya, mengawasinya dan menjaganya. Dia akan menjadi orang yang berhati-hati dalam mengambil keputusan. Di sisi lain, orang itu yakin bahwa Allah akan selalu ada bersamanya, sehingga dia akan menjadi seseorang yang berpikiran optimis dan berani ketika menjalani kehidupannya. Sementara orang yang tidak takut kepada Allah SWT, dia akan menjadi orang yang pesimis dan penakut.” jawab Pak Ali.
Tiba-tiba, muridnya yang satu lagi mengangkat tangan.
“Pak Ali. Bagaimana bisa orang yang takut disebut pemberani dan orang yang tidak takut disebut penakut?”
Pak Ali tersenyum dan berkata “Kau akan segera mengetahuinya, Husein.”
***
Wahai, Hasan! Masih ingatkah kau ketika kita berdua pergi memancing di perahu? Waktu itu umpanku dimakan oleh ikan tuna yang sangat besar. Namun, tubuhku yang kecil tidak sanggup menahannya. Akhirnya tubuhku terlempar ke laut dan tenggelam. Saat itu, aku sangat ketakutan. Kukira hidupku akan segera berakhir. Kemudian kau dengan beraninya menyelamatkanku, walaupun kau sendiri belum bisa berenang kala itu. Hingga saat ini, entah kenapa rasa takut itu selalu menghantuiku. Ketika aku sendirian, ketika kau tidak ada di dekatku, aku selalu merasa gelisah. Aku membutuhkanmu di sini.
***
Tok! Tok! Tok! Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar kamar. Hasan pun membukanya.
“Hasan, kau sedang apa? Kenapa kau mengunci pintu?” tanya Husein.
“Tidakkah kau memberi salam terlebih dahulu?” Hasan balik bertanya.
“Aku tidak mau mengambil risiko. Kalau paman Rudi mendengarnya, kita tamat”
Hasan terdiam. Dua bersaudara itu masuk ke dalam kamarnya.
“Oh iya. Kau sedang apa barusan?” tanya Husein lagi.
“Aku baru selesai shalat Ashar.”
Husein tercengang. Wajahnya membidik Hasan dengan tatapan tak percaya.
“Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau orang tahu bahwa kita Muslim? Sudah pasti mereka tidak akan tinggal diam.
***
Wahai, Hasan! Aku sangat membutuhkanmu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tidakkah kau merasa kasihan padaku? Aku belum makan seharian. Lebih tepatnya, aku belum mencari makan. Tempat ini membuatku takut. Kumohon Hasan, datanglah ...!!
***
“Hasan!! Husein!!” Teriak paman Rudi. Suaranya menggema di dalam rumahnya yang sepi. “Kemana kedua anak itu? Setiap kali aku membutuhkannya, selalu saja mereka menghilang!” gerutunya.
Paman Rudi mencari saudara kembar itu ke seisi rumah. “Hasan!! Husein!!” Tetap tidak ada jawaban. Kemudian pria itu masuk ke dalam kamar keponakannya yang kebetulan tidak dikunci. Orang yang dicarinya tidak ada di sana. Namun, dia menemukan sesuatu yang lain di meja belajar.
“Buku Panduan Shalat. Hasan dan Husein?? Mereka, Kurang ajar!!”
Assalamu’alaikum ....” ucap seseorang di pintu masuk. Paman Rudi yang mendengarnya segera berlari ke ruang depan. Di sana, dia melihat keponakannya, Husein.
“Husein! Apa yang baru saja kau ucapakan?”
Seketika mulut Husein terkunci. “Astaghfirullah! Aku lupa untuk tidak mengucapkan salam di luar rumah Pak Ali!”, batinnya
“Darimana kau? Di mana kakakmu?” tanya paman Rudi dengan nada yang keras.
“Emm, Hasan ..., dia, dia sedang membeli roti,” jawab Husein gelagapan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang pertama.”
Husein masih terdiam. Kali ini dia benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Husein, jawab dengan jujur! Kau habis pergi ke rumah si tua Ali kan?”
“Aku ... Hasan dan aku ... Emm ... Kami ... Pak Ali ....”
“Sialan!! Sudah kuduga. Orang tua itu selalu saja membuat masalah. Mungkin sudah saatnya aku dan orang-orang memberinya pelajaran!!”
Husein segera mengambil langkah seribu. Dia berlari keluar rumah untuk menemui saudaranya.
“Hasan! Kita harus segera pergi!!”
“Hey! Hey! Ada apa denganmu? Kau kelihatan tergesa-gesa.”
“Kita harus segera pergi dari pulau atheis ini!”
***
Aku menemukan alat tulis dan botol di dalam perahu. Mungkin bekas nelayan yang mencari ikan. Aku menggunakannya untuk menulis surat-surat ini padamu, berharap agar kau datang menemuiku, menyelamatkanku. Setelah itu, kita bisa pergi bersama dari pulau tak berpenghuni ini. Sekali lagi, aku memohon padamu, saudaraku! Datanglah! Tolong aku ...!!
***
Langit terlihat semakin gelap. Sekelebat cahaya menyilaukan datang disertai dengan suara petir yang menggelegar. Sementara Hasan dan Husein berlari menuju dermaga. Mereka berlari dan terus berlari hingga otot-otot kaki mereka terbakar.
“Oh tidak, sepertinya badai akan segera datang.” ujar Hasan.
“Selalu saja di saat yang tidak tepat.” timpal saudaranya.
Hasan segera melepaskan tali yang mengikat sebuah perahu kayu ke dermaga. Dua bersaudara itu segera menaiki perahu tersebut dan mendayungnya. Rintik-rintik air menetes membasahi tubuh mereka. Husein menengadahkan kepalanya ke langit. Gumpalan awan hitam legam saling berkumpul. Pertemuan mereka membuat langit semakin gelap dan angin pun bertiup semakin cepat.
“Badai akan segera tiba!!” teriak Husein.
Hasan tertegun sejenak. Tiba-tiba dia teringat akan sebuah hal.
“Kita harus kembali.” ujarnya.
“Apa maksudmu? Kita sudah sampai di ujung jalan.”
“Kita harus menyelamatkan Pak Ali.”
“Apa? Kita akan mati diserang oleh warga.”
“Tetapi dia guru kita. Kita harus menolongnya.”
“Aku tetap tidak mau pergi.”
“Kalau begitu, aku akan pergi menyelamatkannya sendiri.”
“Hasan, jangan tinggalkan aku!”
Hasan meloncat dari perahu meniggalkan Husein di sana. Sesaat sebelum pergi, ia menoleh, lalu berkata kepada saudaranya.
“Husein, jangan takut! Takutlah hanya kepada Allah!”
Hasan segera berlari ke rumah Pak Ali. Sementara Husein hanya diam di perahu. Hatinya ingin membantu Hasan, tetapi dia takut kepada warga yang mengamuk. Pikirannya ingin meninggalkan pulau itu, tetapi dia terlalu takut untuk pergi sendirian.
***
Matahari semakin tenggelam ditelan lautan nan luas. Lembayung senja berwarna kemerahan menghiasi langit di pantai ini. Seekor burung laut terbang di atas kepalaku. Hewan itu mengeluarkan suara yang memanggil-manggil. Mungkinkah dia telah terpisah dengan saudaranya? Seperti aku yang terpisah denganmu? Sementara yang aku lakukan hanyalah diam. Menatap ombak yang menari-nari dan dedaunan pohon kelapa yang bergoyang-goyang tertiup angin.
***
Hujan semakin deras mengguyur bumi. Hasan berlari di atas tanah yang becek. Kilatan cahaya diringi suara petir yang menyambar-nyambar tidak ia pedulikan. Dia harus segera menolong gurunya. Beberapa saat kemudian, akhirnya dia sampai di tempat tujuannya.
“Pak Ali, kita harus segera pergi! Pak Ali! Pak Ali!!”
Hasan mencari ke setiap sudut rumah itu. Mencari-cari gurunya.
”Pak Ali!! Pak Ali!!”
Hasan menghentikan pencariannya. Orang yang dia cari akhirnya ditemukannya, sedang tergeletak di lantai dapur. Bajunya bersimbah darah, terutama pada bagian perutnya. Di sana Pak Ali tidak sendirian. Dia melihat seorang pria sedang memegang pisau yang berlumuran darah. Paman Rudi.
“Pak Ali!! Pak Ali!!!”
Hasan menghampiri tubuh Pak Ali. Tangannnya ia letakkan pada urat nadi pria itu. Hasan tidak merasakan apapun.
Innalillahi wa innailaihi roji’un … Aku terlambat.”
Air hangat menetes keluar dari celah matanya. Ia tidak habis pikir. Apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang di pulau itu, terutama pamannya, sudah benar-benar keterlaluan. Hasan berdiri. Dia hadapkan wajahnya menghadap paman Rudi. Tatapannya yang tajam menusuk jauh ke dalam mata pria itu.
“Paman benar-benar kelewatan. Memangnya apa yang sudah dilakukan oleh Pak Ali hingga paman harus melakukan ini?!!” teriak Hasan.
“Kau masih terlalu muda Hasan. Kau tidak akan mengerti. Semua orang di pulau ini mengetahuinya, bahwa agama hanyalah membawa kesesatan. Agama hanya akan menjadi penghalang untuk mencapai kesuksesan.”
“Omong kosong!!! Paman tidak mengerti apa-apa tentang Islam. Bahkan paman tidak pernah mempelajarinya. Bagaimana mungkin paman bisa berkata seperti itu?”
“Sudahlah Hasan. Aku tidak mau menyakiti keponakanku sendiri. Jika kau mau melupakan hal-hal bodoh tentang Tuhan dan semua omong kosong yang dikatakan oleh si tua Ali, kami akan memaafkanmu.”
Hasan menoleh ke belakang. Sekelompok orang mendatanginya. Salah seorang diantaranya membawa pisau, seperti pamannya. Hasan memalingkan mukanya ke arah pamannya. Dia tatap mata pamannya baik-baik dan berkata:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, aku katakan kepadamu. Aku seorang Muslim, dan aku tidak akan pernah mengubah pendirianku.”
“Kau memang sulit diajak bicara baik-baik, wahai keponakan. Kami memberimu kesempatan terakhir.”
Hasan memejamkan matanya. “Laa ilaaha illallah ... Muhammadurrasuulullaah …
Blesss...!!!
Hasan merasakan sesuatu yang tajam menusuk punggungnya. Dalam seketika pandangannya menjadi buyar. Suhu di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Hasan terjatuh ke lantai. Seluruh tubuhnya mati rasa. Beberapa saat kemudian, Hasan menghembuskan nafas terakhirnya.
Di dermaga, Husein yang berada di atas perahu mencoba bertahan sambil menunggu kedatangan saudara kembarnya. Badai disertai angin ribut semakin gencar menyerangnya. Wajahnya penuh diliputi rasa cemas dan ketakutan. Tak terasa, perahunya terseret arus ke tengah lautan. Terombang-ambing ditengah badai dan gelombang yang dahsyat. Membawanya pada suatu tempat yang tidak dikenalnya, dan terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni di suatu titik di muka bumi ini.
“Aaaahh!!! Hasaaann!!! Tolong Akuu …!!!”
***
Wahai, Hasan! Wahai, saudaraku! Akankah kau datang ke tempat ini? Persediaan alat tulis sudah hampir habis. Mungkin ini akan menjadi surat terakhir yang bisa kutulis untukmu. Semoga saja surat-surat ini sampai kepadamu. Semoga kau membacanya. Aku tidak bisa kembali lagi ke sana. Aku terlalu takut. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa hari, berapa malam, berapa pasang-surut yang sudah kulewati di tempat ini, tanpa melakukan apapun. Satu-satunya yang kulakukan adalah menunggu kedatanganmu, menunggu pertolongan darimu. Kuharap kau mengerti, wahai saudaraku ... Aku sendirian. Aku ketakutan. Keluarkan aku dari sini! Selamatkan aku!

                                                                   ===TAMAT===

No comments:

Post a Comment