Wahai, Hasan! Awal ketika aku
terdampar di tempat ini, aku begitu cemas. Risau. Takut. Karena ketika aku
terbangun, kau tidak ada di sini bersamaku. Aku kebingungan. Tersesat.
Pontang-panting tak tentu arah di pesisir pantai ini. Butiran garam menempel di
telingaku, mulutku penuh dengan pasir, dan yang aku ingat di perjalanan
hanyalah air dan badai. Matahari terbit dari ufuk timur. Itu tandaya, hariku
yang baru sedang dimulai. Apa yang harus aku lakukan, Hasan?
***
Di sebuah ruangan kecil dengan
dinding berwarna hijau muda, seorang pria berperawakan tinggi kurus, berbaju
muslim, bersorban, dan berpeci berdiri di hadapan kedua anak didiknya. Dia
tidak bisa lagi berdiri dengan tegak karena tulang belakangnya sudah
membungkuk. Tangannya yang keriput bergerak-gerak menuliskan sesuatu di atas
papan tulis hitamnya menggunakan kapur berwarna putih. Kedua muridnya hanya
memperhatikan.
“Allah SWT.” ucap pria itu dengan
suaranya yang serak. Dia memberi jeda pada ucapannya agar muridnya lebih
meresapi perkataannya. Tak lama, dia melanjutkan penjelasannya.
“Allah SWT. Tiada Tuhan yang patut
kita sembah selain Dia. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang boleh kita
mintai pertolongan, kita cintai, kita patuhi, dan kita takuti melebihi kepada-Nya.
Dia-lah sang Pencipta, sang Pengatur alam semesta. Dzat yang Maha
segala-galanya.”
Pria itu kembali terdiam. Membiarkan
kedua muridnya mencerna penjelasannya. Salah seorang muridnya mengangkat
tangan.
“Pak Ali, saya ingin bertanya.”
“Silakan, Hasan!”
“Kenapa kita harus takut kepada Allah
SWT dan tidak boleh takut kepada sesuatu melebihi kepada-Nya?”
“Orang yang takut kepada Allah, dia
percaya bahwa Allah selalu berada di sisinya, mengawasinya dan menjaganya. Dia
akan menjadi orang yang berhati-hati dalam mengambil keputusan. Di sisi lain,
orang itu yakin bahwa Allah akan selalu ada bersamanya, sehingga dia akan
menjadi seseorang yang berpikiran optimis dan berani ketika menjalani
kehidupannya. Sementara orang yang tidak takut kepada Allah SWT, dia akan
menjadi orang yang pesimis dan penakut.” jawab Pak Ali.
Tiba-tiba, muridnya yang satu lagi
mengangkat tangan.
“Pak Ali. Bagaimana bisa orang yang
takut disebut pemberani dan orang yang tidak takut disebut penakut?”
Pak Ali tersenyum dan berkata “Kau
akan segera mengetahuinya, Husein.”
***
Wahai, Hasan! Masih ingatkah kau
ketika kita berdua pergi memancing di perahu? Waktu itu umpanku dimakan oleh
ikan tuna yang sangat besar. Namun, tubuhku yang kecil tidak sanggup menahannya.
Akhirnya tubuhku terlempar ke laut dan tenggelam. Saat itu, aku sangat
ketakutan. Kukira hidupku akan segera berakhir. Kemudian kau dengan beraninya
menyelamatkanku, walaupun kau sendiri belum bisa berenang kala itu. Hingga saat
ini, entah kenapa rasa takut itu selalu menghantuiku. Ketika aku sendirian,
ketika kau tidak ada di dekatku, aku selalu merasa gelisah. Aku membutuhkanmu
di sini.
***
Tok! Tok! Tok! Terdengar
seseorang mengetuk pintu dari luar kamar. Hasan pun membukanya.
“Hasan, kau sedang apa? Kenapa kau
mengunci pintu?” tanya Husein.
“Tidakkah kau memberi salam terlebih
dahulu?” Hasan balik bertanya.
“Aku tidak mau mengambil risiko.
Kalau paman Rudi mendengarnya, kita tamat”
Hasan terdiam. Dua bersaudara itu
masuk ke dalam kamarnya.
“Oh iya. Kau sedang apa barusan?” tanya
Husein lagi.
“Aku baru selesai shalat Ashar.”
Husein tercengang. Wajahnya membidik
Hasan dengan tatapan tak percaya.
“Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau
orang tahu bahwa kita Muslim? Sudah pasti mereka tidak akan tinggal diam.
***
Wahai, Hasan! Aku sangat
membutuhkanmu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tidakkah kau merasa
kasihan padaku? Aku belum makan seharian. Lebih tepatnya, aku belum mencari
makan. Tempat ini membuatku takut. Kumohon Hasan, datanglah ...!!
***
“Hasan!! Husein!!” Teriak paman Rudi.
Suaranya menggema di dalam rumahnya yang sepi. “Kemana kedua anak itu? Setiap
kali aku membutuhkannya, selalu saja mereka menghilang!” gerutunya.
Paman Rudi mencari saudara kembar itu
ke seisi rumah. “Hasan!! Husein!!” Tetap tidak ada jawaban. Kemudian pria itu
masuk ke dalam kamar keponakannya yang kebetulan tidak dikunci. Orang yang
dicarinya tidak ada di sana. Namun, dia menemukan sesuatu yang lain di meja
belajar.
“Buku Panduan Shalat. Hasan dan Husein??
Mereka, Kurang ajar!!”
“Assalamu’alaikum
....” ucap seseorang di pintu masuk. Paman Rudi yang mendengarnya segera
berlari ke ruang depan. Di sana, dia melihat keponakannya, Husein.
“Husein! Apa yang baru saja kau ucapakan?”
Seketika mulut Husein terkunci. “Astaghfirullah! Aku lupa untuk tidak
mengucapkan salam di luar rumah Pak Ali!”, batinnya
“Darimana kau? Di mana kakakmu?”
tanya paman Rudi dengan nada yang keras.
“Emm, Hasan ..., dia, dia sedang
membeli roti,” jawab Husein gelagapan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang
pertama.”
Husein masih terdiam. Kali ini dia
benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Husein, jawab dengan jujur! Kau
habis pergi ke rumah si tua Ali kan?”
“Aku ... Hasan dan aku ... Emm ... Kami
... Pak Ali ....”
“Sialan!! Sudah kuduga. Orang tua itu
selalu saja membuat masalah. Mungkin sudah saatnya aku dan orang-orang
memberinya pelajaran!!”
Husein segera mengambil langkah
seribu. Dia berlari keluar rumah untuk menemui saudaranya.
“Hasan! Kita harus segera pergi!!”
“Hey! Hey! Ada apa denganmu? Kau
kelihatan tergesa-gesa.”
“Kita harus segera pergi dari pulau atheis
ini!”
***
Aku menemukan alat tulis dan botol di
dalam perahu. Mungkin bekas nelayan yang mencari ikan. Aku menggunakannya untuk
menulis surat-surat ini padamu, berharap agar kau datang menemuiku,
menyelamatkanku. Setelah itu, kita bisa pergi bersama dari pulau tak
berpenghuni ini. Sekali lagi, aku memohon padamu, saudaraku! Datanglah! Tolong
aku ...!!
***
Langit terlihat semakin gelap.
Sekelebat cahaya menyilaukan datang disertai dengan suara petir yang
menggelegar. Sementara Hasan dan Husein berlari menuju dermaga. Mereka berlari
dan terus berlari hingga otot-otot kaki mereka terbakar.
“Oh tidak, sepertinya badai akan
segera datang.” ujar Hasan.
“Selalu saja di saat yang tidak
tepat.” timpal saudaranya.
Hasan segera melepaskan tali yang
mengikat sebuah perahu kayu ke dermaga. Dua bersaudara itu segera menaiki
perahu tersebut dan mendayungnya. Rintik-rintik air menetes membasahi tubuh
mereka. Husein menengadahkan kepalanya ke langit. Gumpalan awan hitam legam
saling berkumpul. Pertemuan mereka membuat langit semakin gelap dan angin pun
bertiup semakin cepat.
“Badai akan segera tiba!!” teriak Husein.
Hasan tertegun sejenak. Tiba-tiba dia
teringat akan sebuah hal.
“Kita harus kembali.” ujarnya.
“Apa maksudmu? Kita sudah sampai di
ujung jalan.”
“Kita harus menyelamatkan Pak Ali.”
“Apa? Kita akan mati diserang oleh
warga.”
“Tetapi dia guru kita. Kita harus
menolongnya.”
“Aku tetap tidak mau pergi.”
“Kalau begitu, aku akan pergi
menyelamatkannya sendiri.”
“Hasan, jangan tinggalkan aku!”
Hasan meloncat dari perahu
meniggalkan Husein di sana. Sesaat sebelum pergi, ia menoleh, lalu berkata
kepada saudaranya.
“Husein, jangan takut! Takutlah hanya
kepada Allah!”
Hasan segera berlari ke rumah Pak
Ali. Sementara Husein hanya diam di perahu. Hatinya ingin membantu Hasan,
tetapi dia takut kepada warga yang mengamuk. Pikirannya ingin meninggalkan
pulau itu, tetapi dia terlalu takut untuk pergi sendirian.
***
Matahari semakin tenggelam ditelan
lautan nan luas. Lembayung senja berwarna kemerahan menghiasi langit di pantai
ini. Seekor burung laut terbang di atas kepalaku. Hewan itu mengeluarkan suara
yang memanggil-manggil. Mungkinkah dia telah terpisah dengan saudaranya?
Seperti aku yang terpisah denganmu? Sementara yang aku lakukan hanyalah diam.
Menatap ombak yang menari-nari dan dedaunan pohon kelapa yang bergoyang-goyang
tertiup angin.
***
Hujan semakin deras mengguyur bumi.
Hasan berlari di atas tanah yang becek. Kilatan cahaya diringi suara petir yang
menyambar-nyambar tidak ia pedulikan. Dia harus segera menolong gurunya.
Beberapa saat kemudian, akhirnya dia sampai di tempat tujuannya.
“Pak Ali, kita harus segera pergi!
Pak Ali! Pak Ali!!”
Hasan mencari ke setiap sudut rumah
itu. Mencari-cari gurunya.
”Pak Ali!! Pak Ali!!”
Hasan menghentikan pencariannya.
Orang yang dia cari akhirnya ditemukannya, sedang tergeletak di lantai dapur.
Bajunya bersimbah darah, terutama pada bagian perutnya. Di sana Pak Ali tidak
sendirian. Dia melihat seorang pria sedang memegang pisau yang berlumuran
darah. Paman Rudi.
“Pak Ali!! Pak Ali!!!”
Hasan menghampiri tubuh Pak Ali.
Tangannnya ia letakkan pada urat nadi pria itu. Hasan tidak merasakan apapun.
“Innalillahi
wa innailaihi roji’un … Aku terlambat.”
Air hangat menetes keluar dari celah
matanya. Ia tidak habis pikir. Apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang di
pulau itu, terutama pamannya, sudah benar-benar keterlaluan. Hasan berdiri. Dia
hadapkan wajahnya menghadap paman Rudi. Tatapannya yang tajam menusuk jauh ke
dalam mata pria itu.
“Paman benar-benar kelewatan.
Memangnya apa yang sudah dilakukan oleh Pak Ali hingga paman harus melakukan
ini?!!” teriak Hasan.
“Kau masih terlalu muda Hasan. Kau
tidak akan mengerti. Semua orang di pulau ini mengetahuinya, bahwa agama
hanyalah membawa kesesatan. Agama hanya akan menjadi penghalang untuk mencapai
kesuksesan.”
“Omong kosong!!! Paman tidak mengerti
apa-apa tentang Islam. Bahkan paman tidak pernah mempelajarinya. Bagaimana
mungkin paman bisa berkata seperti itu?”
“Sudahlah Hasan. Aku tidak mau
menyakiti keponakanku sendiri. Jika kau mau melupakan hal-hal bodoh tentang
Tuhan dan semua omong kosong yang dikatakan oleh si tua Ali, kami akan
memaafkanmu.”
Hasan menoleh ke belakang. Sekelompok
orang mendatanginya. Salah seorang diantaranya membawa pisau, seperti pamannya.
Hasan memalingkan mukanya ke arah pamannya. Dia tatap mata pamannya baik-baik
dan berkata:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di
dalam genggaman-Nya, aku katakan kepadamu. Aku seorang Muslim, dan aku tidak
akan pernah mengubah pendirianku.”
“Kau memang sulit diajak bicara baik-baik,
wahai keponakan. Kami memberimu kesempatan terakhir.”
Hasan memejamkan matanya. “Laa ilaaha illallah ... Muhammadurrasuulullaah
…”
Blesss...!!!
Hasan merasakan sesuatu yang tajam
menusuk punggungnya. Dalam seketika pandangannya menjadi buyar. Suhu di
sekitarnya berubah menjadi sangat dingin. Hasan terjatuh ke lantai. Seluruh
tubuhnya mati rasa. Beberapa saat kemudian, Hasan menghembuskan nafas
terakhirnya.
Di dermaga, Husein yang berada di
atas perahu mencoba bertahan sambil menunggu kedatangan saudara kembarnya.
Badai disertai angin ribut semakin gencar menyerangnya. Wajahnya penuh diliputi
rasa cemas dan ketakutan. Tak terasa, perahunya terseret arus ke tengah lautan.
Terombang-ambing ditengah badai dan gelombang yang dahsyat. Membawanya pada
suatu tempat yang tidak dikenalnya, dan terdampar di sebuah pulau tak
berpenghuni di suatu titik di muka bumi ini.
“Aaaahh!!! Hasaaann!!! Tolong Akuu …!!!”
***
Wahai, Hasan! Wahai, saudaraku!
Akankah kau datang ke tempat ini? Persediaan alat tulis sudah hampir habis.
Mungkin ini akan menjadi surat terakhir yang bisa kutulis untukmu. Semoga saja
surat-surat ini sampai kepadamu. Semoga kau membacanya. Aku tidak bisa kembali
lagi ke sana. Aku terlalu takut. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa hari,
berapa malam, berapa pasang-surut yang sudah kulewati di tempat ini, tanpa
melakukan apapun. Satu-satunya yang kulakukan adalah menunggu kedatanganmu,
menunggu pertolongan darimu. Kuharap kau mengerti, wahai saudaraku ... Aku
sendirian. Aku ketakutan. Keluarkan aku dari sini! Selamatkan aku!
===TAMAT===
===TAMAT===
No comments:
Post a Comment