Sunday 9 March 2014

Yang Terlupakan #6 [End]


gambar: best-facebook-covers.com

“Mona!! Kenapa kau lari Mona?!! Mona, tunggu aku!!”
Aku terjatuh di persimpangan. Tiba-tiba sebuah mobil datang dengan cepat dari arah sana. Telingaku mendengar suara ban yang mengerem berpadu dengan suara klakson yang sangat kencang dan panjang.
Ttccciiiiiiinnnnnn!!!!!
Aku bergeming. Tidak bergerak sama sekali. Sesuatu bergerak di kepalaku. Seperti sebuah laci telah sekian lama tertutup rapat, sekarang laci itu terbuka. Jiwaku serasa melayang, melesat jauh ke masa itu, dua bulan yang lalu, ketika semuanya terjadi…
Malam hari, udara dingin merembes melewati jaket hoodie yang kukenakan. Aroma tanah dan dedaunan basah sisa hujan hujan sore tadi masih terasa. Aku sendirian di kebun belakang sekolah, berdiri menghadap ke jalan raya, menghitung-hitung jumlah kendaraan yang hanya sesekali lewat di bawah sana. Aku mengintip HPku dengan gusar untuk melihat jam. Ya, aku sedang menunggu seseorang saat itu. Monalisa.
Aku mendengar suara dari arah belakangku. Suara langkah kaki orang yang sedang menapaki tanah becek. Aku pun berbalik. Ada seseorang di sana. Orang yang kutunggu akhirnya datang.
“Hahh.. Hahh.. Hahh.. Maafkan aku Tom, aku telat lagi.”
“Ini sudah kelewatan Mona, aku sudah menunggu selama dua jam lebih.”
“Maafkan aku Tom, tadi benar-benar ada sesuatu yang harus kukerjakan.”
“Memangnya ada apa? Akhir-akhir ini kamu berubah.”
Mona tidak menjawabnya. Mona mash mencoba mengatur napasnya.
“Ada apa Mona? Jangan seperti itu!” tanyaku lagi.
Mona berjalan mendekatiku. Aku menatapnya tajam. Tidak sesaat pun mataku menoleh dari wajahnya. Aku semakin bisa menangkap sinarnya yang sayu. Mona menundukkan mukanya, lalu berkata kepadaku.
“Emmm, aku akan pindah sekolah Tom.”
“Apa?”
“Ibu menyuruhku untuk pindah. Kita sekeluarga akan pindah rumah ke Sumedang.”
Sekarang semuanya jelas. Kenapa Mona sering datang terlambat ketika hendak bertemu denganku, kenapa Mona sering membatalkan janji seenaknya, kenapa Mona sering terlihat murung, sekarang aku mengetahuinya.
“Kenapa sih, ibumu itu selalu selalu saja berusaha untuk menjauhkan kita?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan kita Tom.”
“Tidak mungkin Mona. Ini pasti ada hubungunnya dengan kita. Selalu ada. Dari dulu ibumu tidak pernah merestui hubungan kita. Padahal aku sudah melakukan semuanya.”
“Maafkan aku Tom, ini sudah diputuskan. Aku akan segera pindah. Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
“Tidak, masih ada jalan lain. Masih ada jalan agar ibumu mau menerimaku, dan kali ini pasti akan berhasil.”
Mona terdiam. Mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan padanya. Aku menghampirinya,  mendekatinya.
“Kalau kau hamil, mereka tidak akan punya pilihan,” kata-kata itu keluar begitu saja.
“Tomi!!” Mona membelalakkan matanya, “Kau sedang tidak waras.”
“Ini satu-satunya cara agar kita bisa tetap bersama. Agar kita bisa tumbuh bersama, dewasa bersama, hingga tua nanti.”
“Tapi tidak seperti ini caranya Tomi!”
“Lalu bagaimana lagi? Bagaimana? Aku sudah mencoba semua yang kubisa. Aku sudah lelah menjadi orang lain. Aku sudah lelah tidak menjadi diriku sendiri hanya untuk membuat ibumu mengizinkan kebersamaan kita.”
“Tidak mau, aku tidak mau melakukan perbuatan yang hina semacam itu.”
Aku tidak peduli dengan apa yang Mona katakan. Aku semakin mendekatkan tubuhku dengannya. Terlihatlah wajahnya yang ketakutan.
“Tomi, mau apa kau?”
“Tidak ada cara lain. Aku harus melakukan ini, walaupun jika pada akhirnya aku harus memaksa.”
“Tomi .., kau jangan berani-berani!!”
“Maafkan aku Mona.”
“Pergi kau!!!” teriak Mona sesaat sebelum ia berlari.
Drap drap drap drap ….
Mona berlari kocar-kacir sambil bereriak-teriak minta tolong.
“Tolong!! Tolong!!”
“Mona, jangan lari!”
Aku langsung mengejarnya. Tanah yang lembap ini membuatku kesulitan, tapi aku tidak akan membiarkan Mona lepas. Sudah kepalang tanggung, aku sudah memantapkan niatku.
“Tolong! Siapa saja, tolong aku!!”
“Aku datang Mona! Aku datang. Tunggu aku!!”
Aku menghalangi jalannya dengan mudah. Aku memelukanya, tapi Mona menggigit tanganku dan menghajar pelipisku. Aku kehilangan dia. Sepertinya dia tahu kalau larinya akan kalah cepat olehku. Pasti sekarang dia sedang bersembunyi di balik pepohonan atau semak-semak.
“Mona … Mona … Di mana kamu Mona?”
Aku menyorot mataku ke semua arah. Suasana begitu gelap. Jadi, aku tidak mengandalkan mataku, tapi telingaku. Aku mendengarkan baik-baik semua suara sekecil apapun. Lalu aku mendengar suara dari arah semak-semak tepat di depanku. Aku mendekatinya pelan-pelan.
“Aku datang Mona. Aku janji ini tidak akan sakit.”
Brukkkkk!!!!
Aku tersungkur. Sesuatu menghantam kepalaku dengan sangat keras. Aku segera membelikkan badanku. Samar-samar kulihat Mona sedang membawa batang kayu di tangannya. Dia kembali mengayunkan batang kayu itu ke arahku, tapi aku berhasil mengahalaunya. Aku segera berdiri dan menangkap Mona. Dia terus saja meronta-ronta. Aku harus menenangkan dia terlebih dulu. Aku harus harus melumpuhkan dia. Aku menamparnya dengan keras tepat di pipinya.
Plaaaakkkk!!!!!
Mona lalu terjatuh. Tanpa kuduga, mona malah berguling-guling dengan cepat. Tubuhnya berguling menuruni tepian bukit kecil ini, lalu berhenti di jalan raya. Tanpa kusadari, sebuah mobil truk melintas di jalan itu, mengarah ke arah Mona. Tiba-tiba aku mendengar bunyi rem dan klakson yang sangat kencang dan panjang.
Tccciiiiiiiinnnnnnn……!!!!
Aku terpaku, mematung. Tidak ada yang kulakukan selain diam menatap ke bawah. Teriakan Mona yang begitu kerasnya menyadarkan lamunanku. Tak lama kemudian, suara teriakannya terhenti, tergantikan oleh suara benturan yang sangat keras.
Braakkk!!!!
“Mona? Mona!! Monaaa!!!!!”
Tiba-tiba jiwaku kembali terbang kembali ke masa sekarang. Mobil di hadapanku berhenti. Lampunya yang sangat terang menyilaukan mataku. Kemudian, gelap ….
***
Aku terbangun. Yang pertama kali kurasakan adalah bau obat-obatan yang tajam. Selang kecil menempel di pergelangan tanganku dan hidungku. Aku sedang terbaring di dalam ruangan yang serba putih. Dindingnya, kasurnya, spreinya, semuanya putih. Di sebelahku, seorang lelaki berpakaian putih sedang duduk mengobrol dengan seorang wanita.
“Jadi, ingatannya sudah kembali, Dok?”
“Begitulah Bu. Sepertinya, dua bulan yang lalu, sesuatu terjadi kepadanya. Dia mengalami kejadian yang sangat membuatnya terkejut. Sebuah kejadian yang tidak bisa ia terima. Lalu tubuhnya merespon dengan memutuskan untuk menganggap bahwa hal itu tidak pernah terjadi, yaitu dengan cara melupakannya. Sebagai dampaknya, anak ibu akhirnya mengalami koma yang cukup lama.”
“Lalu, bagaimana keadaannya sekarang, Dok? Apa dia kembali koma?”
“Tidak. Anak ibu kembali dikejutkan karena dia sudah menyadari semuanya, dan kejadian itu membuatnya hampir kehilangan semua tenaganya. Tapi dalam beberapa hari, tenaganya akan kembali pulih.”
Kreeett…
Pintu terbuka. Aku melirik ke arah sana. Terlihatlah seorang pria berbadan besar dan berkumis tebal memasuki ruangan. Pak Slamet.
“Maaf saya baru bisa datang sekarang. Bagaimana keadaanya?” tanyanya.
“Dia hanya pingsan.”
“Kira-kira, kapan saya bisa berbicara dengannya?”
“Cukup Pak! Tolonglah, saya mengerti kepentingan Bapak di sini. Tapi dia baru saja mengingat apa yang telah terjadi kepadanya dua bulan yang lalu. Tolong beri dia waktu beberapa hari lagi.”
“Emm, maaf. Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa ya?” tanya Dokter.
“Saya polisi yang sedang menangani kasus kematian Monalisa, teman dekat dari Tomi, pasien Dokter sekarang. Orang yang menabrak Monalisa memang sudah ditangkap. Tapi kasus ini belum selesai, karena kita masih belum tahu kenapa Almarhumah ada di sana dan apa yang sedang dia lakukan. Besar dugaan saya, kalau Tomi ada hubungannya dengan kematian Mona.”
Polisi? Aku segera melirik ke arah pinggang orang itu. Aku melihat sesuatu yang menempel di sana. Senjata api. Ya ampun, kenapa selama ini aku tidak menyadarinya? Bodoh sekali! Sekarang semuanya menjadi jelas. Mona sudah mati. Mona mati terbunuh. Aku yang telah membunuhnya. Aku telah membunuh kekasihku sendiri. Aku seorang pembunuh.
“Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu. Terserah ibunya Mona mau berkata apa tentang Tomi!”
“Ibu, untuk itulah saya ingin meminta keterangan dari Tomi agar semuanya menjadi jelas.”
Dadaku sesak. Sakit sekali. Pencarianku sia-sia. Aku malah memperburuk semuanya. Ingin rasanya aku menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Tapi seluruh tenagaku akan habis hanya dengan melakukannya. Lebih baik aku menyimpannya untuk melakukan yang lain. Ada sebuah janji yang harus aku tepati.
Aku mengumpulkan sisa tenaga yang masih kumiliki. Aku menggerakkan tangan kiriku sedikit demi sedikit. Berharap agar orang-orang di ruangan ini tidak menyadarinya. Kuarahkan tanganku ke arah pinggang Pak Slamet. Sedikit lagi aku akan menggapainya.
“Tomi?”
Aku terkejut. Ternyata ibu menyadari kalau aku sudah bangun.
Ngiikk … Pintu terbuka. Ale masuk ke dalam ruangan ini dan membuat perhatian semua orang beralih kepadanya. Langsung saja aku ambil benda di pinggang Pak Slamet dan meloncat ke sudut ruangan.
“Tomi, apa yang kamu lakukan?!!” teriak ibu.
Semua orang di dalam ruangan panik. Pak Dokter berlari ke luar lalu berteriak-teriak memanggi suster dan security. Ibu menangis gelisah. Aku bisa melihat air mata mengalir di pipinya. Pak Slamet dan Ale berlari ke arahku. Dengan cepat aku mengarahkan pistol yang kupegang ke arah kepalaku. Sekali lagi kulihat ibu yang sedang berteriak histeris. Aku tersenyum kecil kepadanya. Terima kasih sudah merawatku Bu. Maaf kalau aku lagi-lagi harus membuatmu kecewa.
Jari telunjuk tangan kananku sudah bersiap untuk menarik pelatuknya. Aku menutup mataku. Jantungku berdebar dengan sangat cepat. Tanganku bergetar tak kalah hebatnya. Seketika semua kenanganku bertebaran tak beraturan di atas kepalaku. Seakan-akan aku bisa kembali merasakannya. Tapi sekarang sudah terlambat. Aku harus segera menghancurkannya. Dengan tangan ini aku telah membuat Mona terbunuh. Dengan tangan ini juga aku harus membunuh sekali lagi. Agar aku dapat memenuhi janjiku untuk terus bersama Mona, apapun yang terjadi. Apapun.

Mona, sebentar lagi kita akan kembali bersama ….
***

No comments:

Post a Comment