Aku
terjatuh di persimpangan. Tiba-tiba sebuah mobil datang dengan cepat dari arah
sana. Telingaku mendengar suara ban yang mengerem berpadu dengan suara klakson
yang sangat kencang dan panjang.
Ttccciiiiiiinnnnnn!!!!!
Aku
bergeming. Tidak bergerak sama sekali. Sesuatu bergerak di kepalaku. Seperti
sebuah laci telah sekian lama tertutup rapat, sekarang laci itu terbuka. Jiwaku
serasa melayang, melesat jauh ke masa itu, dua bulan yang lalu, ketika semuanya
terjadi…
Malam
hari, udara dingin merembes melewati jaket hoodie yang kukenakan. Aroma tanah
dan dedaunan basah sisa hujan hujan sore tadi masih terasa. Aku sendirian di
kebun belakang sekolah, berdiri menghadap ke jalan raya, menghitung-hitung
jumlah kendaraan yang hanya sesekali lewat di bawah sana. Aku mengintip HPku
dengan gusar untuk melihat jam. Ya, aku sedang menunggu seseorang saat itu.
Monalisa.
Aku
mendengar suara dari arah belakangku. Suara langkah kaki orang yang sedang
menapaki tanah becek. Aku pun berbalik. Ada seseorang di sana. Orang yang
kutunggu akhirnya datang.
“Hahh..
Hahh.. Hahh.. Maafkan aku Tom, aku telat lagi.”
“Ini
sudah kelewatan Mona, aku sudah menunggu selama dua jam lebih.”
“Maafkan
aku Tom, tadi benar-benar ada sesuatu yang harus kukerjakan.”
“Memangnya
ada apa? Akhir-akhir ini kamu berubah.”
Mona
tidak menjawabnya. Mona mash mencoba mengatur napasnya.
“Ada
apa Mona? Jangan seperti itu!” tanyaku lagi.
Mona
berjalan mendekatiku. Aku menatapnya tajam. Tidak sesaat pun mataku menoleh
dari wajahnya. Aku semakin bisa menangkap sinarnya yang sayu. Mona menundukkan
mukanya, lalu berkata kepadaku.
“Emmm,
aku akan pindah sekolah Tom.”
“Apa?”
“Ibu
menyuruhku untuk pindah. Kita sekeluarga akan pindah rumah ke Sumedang.”
Sekarang
semuanya jelas. Kenapa Mona sering datang terlambat ketika hendak bertemu
denganku, kenapa Mona sering membatalkan janji seenaknya, kenapa Mona sering
terlihat murung, sekarang aku mengetahuinya.
“Kenapa
sih, ibumu itu selalu selalu saja berusaha untuk menjauhkan kita?”
“Ini
tidak ada hubungannya dengan kita Tom.”
“Tidak
mungkin Mona. Ini pasti ada hubungunnya dengan kita. Selalu ada. Dari dulu
ibumu tidak pernah merestui hubungan kita. Padahal aku sudah melakukan
semuanya.”
“Maafkan
aku Tom, ini sudah diputuskan. Aku akan segera pindah. Tidak ada yang bisa kita
lakukan.”
“Tidak,
masih ada jalan lain. Masih ada jalan agar ibumu mau menerimaku, dan kali ini
pasti akan berhasil.”
Mona
terdiam. Mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan padanya. Aku
menghampirinya, mendekatinya.
“Kalau
kau hamil, mereka tidak akan punya pilihan,” kata-kata itu keluar begitu saja.
“Tomi!!”
Mona membelalakkan matanya, “Kau sedang tidak waras.”
“Ini
satu-satunya cara agar kita bisa tetap bersama. Agar kita bisa tumbuh bersama,
dewasa bersama, hingga tua nanti.”
“Tapi
tidak seperti ini caranya Tomi!”
“Lalu
bagaimana lagi? Bagaimana? Aku sudah mencoba semua yang kubisa. Aku sudah lelah
menjadi orang lain. Aku sudah lelah tidak menjadi diriku sendiri hanya untuk
membuat ibumu mengizinkan kebersamaan kita.”
“Tidak
mau, aku tidak mau melakukan perbuatan yang hina semacam itu.”
Aku
tidak peduli dengan apa yang Mona katakan. Aku semakin mendekatkan tubuhku
dengannya. Terlihatlah wajahnya yang ketakutan.
“Tomi,
mau apa kau?”
“Tidak
ada cara lain. Aku harus melakukan ini, walaupun jika pada akhirnya aku harus
memaksa.”
“Tomi
.., kau jangan berani-berani!!”
“Maafkan
aku Mona.”
“Pergi
kau!!!” teriak Mona sesaat sebelum ia berlari.
Drap
drap drap drap ….
Mona
berlari kocar-kacir sambil bereriak-teriak minta tolong.
“Tolong!!
Tolong!!”
“Mona,
jangan lari!”
Aku
langsung mengejarnya. Tanah yang lembap ini membuatku kesulitan, tapi aku tidak
akan membiarkan Mona lepas. Sudah kepalang tanggung, aku sudah memantapkan
niatku.
“Tolong!
Siapa saja, tolong aku!!”
“Aku
datang Mona! Aku datang. Tunggu aku!!”
Aku
menghalangi jalannya dengan mudah. Aku memelukanya, tapi Mona menggigit
tanganku dan menghajar pelipisku. Aku kehilangan dia. Sepertinya dia tahu kalau
larinya akan kalah cepat olehku. Pasti sekarang dia sedang bersembunyi di balik
pepohonan atau semak-semak.
“Mona
… Mona … Di mana kamu Mona?”
Aku
menyorot mataku ke semua arah. Suasana begitu gelap. Jadi, aku tidak
mengandalkan mataku, tapi telingaku. Aku mendengarkan baik-baik semua suara
sekecil apapun. Lalu aku mendengar suara dari arah semak-semak tepat di
depanku. Aku mendekatinya pelan-pelan.
“Aku
datang Mona. Aku janji ini tidak akan sakit.”
Brukkkkk!!!!
Aku
tersungkur. Sesuatu menghantam kepalaku dengan sangat keras. Aku segera
membelikkan badanku. Samar-samar kulihat Mona sedang membawa batang kayu di
tangannya. Dia kembali mengayunkan batang kayu itu ke arahku, tapi aku berhasil
mengahalaunya. Aku segera berdiri dan menangkap Mona. Dia terus saja
meronta-ronta. Aku harus menenangkan dia terlebih dulu. Aku harus harus
melumpuhkan dia. Aku menamparnya dengan keras tepat di pipinya.
Plaaaakkkk!!!!!
Mona
lalu terjatuh. Tanpa kuduga, mona malah berguling-guling dengan cepat. Tubuhnya
berguling menuruni tepian bukit kecil ini, lalu berhenti di jalan raya. Tanpa
kusadari, sebuah mobil truk melintas di jalan itu, mengarah ke arah Mona.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi rem dan klakson yang sangat kencang dan panjang.
Tccciiiiiiiinnnnnnn……!!!!
Aku
terpaku, mematung. Tidak ada yang kulakukan selain diam menatap ke bawah.
Teriakan Mona yang begitu kerasnya menyadarkan lamunanku. Tak lama kemudian,
suara teriakannya terhenti, tergantikan oleh suara benturan yang sangat keras.
Braakkk!!!!
“Mona?
Mona!! Monaaa!!!!!”
Tiba-tiba
jiwaku kembali terbang kembali ke masa sekarang. Mobil di hadapanku berhenti.
Lampunya yang sangat terang menyilaukan mataku. Kemudian, gelap ….
***
Aku
terbangun. Yang pertama kali kurasakan adalah bau obat-obatan yang tajam.
Selang kecil menempel di pergelangan tanganku dan hidungku. Aku sedang
terbaring di dalam ruangan yang serba putih. Dindingnya, kasurnya, spreinya,
semuanya putih. Di sebelahku, seorang lelaki berpakaian putih sedang duduk
mengobrol dengan seorang wanita.
“Jadi,
ingatannya sudah kembali, Dok?”
“Begitulah
Bu. Sepertinya, dua bulan yang lalu, sesuatu terjadi kepadanya. Dia mengalami
kejadian yang sangat membuatnya terkejut. Sebuah kejadian yang tidak bisa ia terima.
Lalu tubuhnya merespon dengan memutuskan untuk menganggap bahwa hal itu tidak
pernah terjadi, yaitu dengan cara melupakannya. Sebagai dampaknya, anak ibu
akhirnya mengalami koma yang cukup lama.”
“Lalu,
bagaimana keadaannya sekarang, Dok? Apa dia kembali koma?”
“Tidak.
Anak ibu kembali dikejutkan karena dia sudah menyadari semuanya, dan kejadian
itu membuatnya hampir kehilangan semua tenaganya. Tapi dalam beberapa hari,
tenaganya akan kembali pulih.”
Kreeett…
Pintu
terbuka. Aku melirik ke arah sana. Terlihatlah seorang pria berbadan besar dan
berkumis tebal memasuki ruangan. Pak Slamet.
“Maaf
saya baru bisa datang sekarang. Bagaimana keadaanya?” tanyanya.
“Dia
hanya pingsan.”
“Kira-kira,
kapan saya bisa berbicara dengannya?”
“Cukup
Pak! Tolonglah, saya mengerti kepentingan Bapak di sini. Tapi dia baru saja
mengingat apa yang telah terjadi kepadanya dua bulan yang lalu. Tolong beri dia
waktu beberapa hari lagi.”
“Emm,
maaf. Kalau boleh tahu, Bapak ini siapa ya?” tanya Dokter.
“Saya
polisi yang sedang menangani kasus kematian Monalisa, teman dekat dari Tomi,
pasien Dokter sekarang. Orang yang menabrak Monalisa memang sudah ditangkap.
Tapi kasus ini belum selesai, karena kita masih belum tahu kenapa Almarhumah
ada di sana dan apa yang sedang dia lakukan. Besar dugaan saya, kalau Tomi ada
hubungannya dengan kematian Mona.”
Polisi?
Aku segera melirik ke arah pinggang orang itu. Aku melihat sesuatu yang
menempel di sana. Senjata api. Ya ampun, kenapa selama ini aku tidak
menyadarinya? Bodoh sekali! Sekarang semuanya menjadi jelas. Mona sudah mati.
Mona mati terbunuh. Aku yang telah membunuhnya. Aku telah membunuh kekasihku
sendiri. Aku seorang pembunuh.
“Anak
saya tidak mungkin melakukan hal itu. Terserah ibunya Mona mau berkata apa
tentang Tomi!”
“Ibu,
untuk itulah saya ingin meminta keterangan dari Tomi agar semuanya menjadi
jelas.”
Dadaku
sesak. Sakit sekali. Pencarianku sia-sia. Aku malah memperburuk semuanya. Ingin
rasanya aku menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Tapi seluruh tenagaku
akan habis hanya dengan melakukannya. Lebih baik aku menyimpannya untuk
melakukan yang lain. Ada sebuah janji yang harus aku tepati.
Aku
mengumpulkan sisa tenaga yang masih kumiliki. Aku menggerakkan tangan kiriku
sedikit demi sedikit. Berharap agar orang-orang di ruangan ini tidak
menyadarinya. Kuarahkan tanganku ke arah pinggang Pak Slamet. Sedikit lagi aku
akan menggapainya.
“Tomi?”
Aku
terkejut. Ternyata ibu menyadari kalau aku sudah bangun.
Ngiikk … Pintu terbuka. Ale masuk ke dalam
ruangan ini dan membuat perhatian semua orang beralih kepadanya. Langsung saja
aku ambil benda di pinggang Pak Slamet dan meloncat ke sudut ruangan.
“Tomi,
apa yang kamu lakukan?!!” teriak ibu.
Semua
orang di dalam ruangan panik. Pak Dokter berlari ke luar lalu berteriak-teriak
memanggi suster dan security. Ibu
menangis gelisah. Aku bisa melihat air mata mengalir di pipinya. Pak Slamet dan
Ale berlari ke arahku. Dengan cepat aku mengarahkan pistol yang kupegang ke
arah kepalaku. Sekali lagi kulihat ibu yang sedang berteriak histeris. Aku
tersenyum kecil kepadanya. Terima kasih sudah merawatku Bu. Maaf kalau aku
lagi-lagi harus membuatmu kecewa.
Jari
telunjuk tangan kananku sudah bersiap untuk menarik pelatuknya. Aku menutup
mataku. Jantungku berdebar dengan sangat cepat. Tanganku bergetar tak kalah
hebatnya. Seketika semua kenanganku bertebaran tak beraturan di atas kepalaku.
Seakan-akan aku bisa kembali merasakannya. Tapi sekarang sudah terlambat. Aku
harus segera menghancurkannya. Dengan tangan ini aku telah membuat Mona
terbunuh. Dengan tangan ini juga aku harus membunuh sekali lagi. Agar aku dapat
memenuhi janjiku untuk terus bersama Mona, apapun yang terjadi. Apapun.
Mona,
sebentar lagi kita akan kembali bersama ….
***
No comments:
Post a Comment