Sunday 9 March 2014

Yang Terlupakan #3


gambar: stocksy.com

Keesokan harinya,
Aku tak mengerti. Tak mengerti dengan apa yang kupikirkan. Tak mengerti dengan apa yang ingin kupikirkan. Aku bahkan tidak bisa memikirkan apa pun. Kepala ini, sulit sekali untuk mengingatnya. Apa yang telah terjadi sebelum aku tertidur pulas dalam waktu yang sangat lama. Apa yang telah terjadi sehingga aku bisa terpejam selama itu. Apa yang terjadi pada Mona? Apa yang terjadi pada kami? Kenapa dia mengeluarkan kata-kata itu padaku?
Pak Didin menjelaskan sesuatu di depan kelas. Aku bisa melihat bibirnya bergerak-gerak. Namun aku tak dapat mendengar perkataannya. Mungkin aku memang tidak ingin.
“Pak, saya izin ke belakang,” ujar Sasha dengan suaranya yang cempreng. Setelah dipersilakan, gadis itu segera berlari ke luar kelas.
Drap drap drap drap ….
Suara langkah kaki Sasha, suara ini, aku pernah mendengarnya. Suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, ini mengingatkanku pada suatu hal. Sebuah sensor di dalam kepalaku mengenalinya. Aku memejamkan mataku. Berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Berusaha menemukan rekaman yang tersimpan dalam laci-laci di pikiranku.
Drap drap drap drap ….
“Toloong …!!! Tolong aku!!!”
“Mona … Kamu di mana? Monaa ...!!”
Seketika semua bayangan itu lenyap. Aku tersadar dari lamunanku. Apa yang terjadi? Mona, kenapa dia meminta tolong? Ada apa dengannya? Aku harus segera menemuinya.
Kriiiiinnnggggg …!!!!
Bel istirahat berbunyi. Aku tidak bisa menunggu sampai waktu sekolah berakhir. Aku harus bertemu dengan Mona secepatnya.
“Ale!” Aku memanggil pria berbadan tinggi itu.
“Ada apa Tom?”
“Aku butuh bantuanmu.”
“Apa yang bisa kulakukan buatmu?”
“Aku ingin kau mengantarku ke daerah Tomo, Sumedang.”
“Sumedang? Apa yang akan kau lakukan di sana?”
“Aku ingin bertemu dengan Mona.”
Tiba-tiba, ekspresi wajah Ale berubah. Raut wajah kebingungan. Atau mungkin ketakutan? Aku tidak bisa membedakannya.
“Mona? Maksudmu… Mona yang mana?”
“Mona kekasihku. Dia pindah ke sana kan? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Aku … Aku hanya …, kau yakin ingin bertemu dengannya?”
Ale, lelaki ini, dia sepertinya menyembunyikan sesuatu. Aku bisa melihat kekhawatiran di matanya.
“Tentu saja. Memangnya kenapa? Kenapa kau terlihat begitu cemas?”
“Kau benar-benar tidak mengingatnya?”
“Ale? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ale membisu. Dia memalingkan wajahnya. Matanya memandang entah kemana.
“Ale!! Jawab!! Apa yang terjadi pada Mona??!! Apa yang terjadi dengan kami??!!”
Lagi-lagi Ale hanya terbungkam. Namun tak lama, akhirnya dia melakukannya.
“Baiklah, aku akan mengantarmu ke tempatnya sepulang sekolah.”
“Tidak. Kau akan mengantarku, sekarang juga.”
Aku dan Ale bergegas pergi ke tempat kediaman Mona. Kami berdua kabur dari sekolah. Ale mengantarku menggunakan sepeda motornya. Sahabat karibku, aku tahu aku bisa mengandalkannya. Perjalanan kami cukup lama. Langit mulai berubah jingga setibanya kami di Tomo.
Sepeda motor Ale berhenti di dekat sebuah persimpangan. Di sebelah kiri jalan terhampar tanah kosong yang cukup luas. Tempat itu ditumbuhi oleh ilalang dan rumput liar yang lebat lagi tinggi, ujungnya bergerak-gerak mengikuti angin yang berhembus enggan. Udara di atasnya dipenuhi oleh capung-capung berwarna kuning kecoklatan yang beterbangan tak beraturan.
“Kita sudah sampai.” tukas Ale. Aku segera turun dari sepeda motor. Seketika frekuensi ketukan jantungku meningkat, tanganku bergetar hebat, dan wajahku dipenuhi oleh peluh yang dingin lagi pekat. Aku merasa takut. Apa yang aku takutkan?
“Tom, kau baik-baik saja?” tanya Ale. Andai aku tahu jawabannya.
“Sudahlah, tidak penting. Sekarang, ayo bawa aku ke rumah Mona!”
Ale menghirup napas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan. Setelah itu, dia pun mulai melangkahkan kakinya. Aku hanya mengikutinya dari belakang dengan tangan yang masih bergetar. Kami berjalan menyusuri daerah tak terpakai ini. Ternyata, ada sesuatu yang bersembunyi di balik semak dan ilalang yang tumbuh tinggi ini. Tanah ini bukannya tidak terpakai. Daerah ini adalah, sebuah area pemakaman.
“Ale, perasaanku tidak enak,” ucapku.
Ale hanya terdiam. Aku melihat ada aura kesedihan yang tertahan di wajahnya.
“Ale, di mana Mona?”
Ale menghentikan langkahnya. Dia menatapku, kemudian berkata “Tomi, Mona ada di belakangmu.”
Apa? Aku segera memutar badanku ke belakang. Di sana tidak ada siapa-siapa.
“Ale! Mana Mona? Kau jangan macam-macam denganku!”
“Perhatikan sekali lagi!!” Kali ini Ale berteriak padaku. Sekali lagi aku menengok ke belakang, tidak ada Mona di sana. Tidak ada siapa-siapa.
“Tundukkan pandanganmu Tom!” perintah Ale.
Aku pun menyorot mataku ke bawah. Sebuah gundukan tanah. Kuburan. Di kedua ujungnya menancap batu nisan. Aku membaca tulisan yang tergores di batu ini.
“MONALISA binti ALFANDIO”
Aku terperangah. Terdiam. Tubuhku kaku. Mematung. Mona… Kekasihku… Ternyata…
Aku menundukkan kepala. Menutup kedua mataku. Berusaha membendung air mata yang hendak mengalir keluar. Namun, aku terlambat. Air itu sudah terlanjur menetes. Sedikit, sedikit, kemudian menjadi banyak, membasahi tanah yang kupijak.
Aku menekuk lutut. Merebahkan tubuhku di dekat gundukan tanah itu. Di bawah sana, terbaring tubuh kekasihku. Wujud dari perasaan cintaku. Orang yang selama ini selalu besamaku, menghabiskan waktu denganku. Dia yang selalu bisa membuatku tersenyum. Dia yang tidak akan pernah membiarkanku bersedih. Dia yang selalu bertahan ketika aku tak sanggup menahan amarahku padanya. Mona… Orang yang sangat berarti bagiku, sedang terbaring di bawah sana. Terbungkus di dalam pakaian putih, di dalam kamar yang sangat sempit, ditemani oleh makhluk-makhluk kecil di dalam tanah yang tak tega membiarkan tubuhnya tetap bersih dan utuh, sedang tertidur, jauh lebih lama dari tidurku saat itu.
“Mona … Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa kau meninggalkanku? Mona …!!!”
Desir angin menerpa permukaan tubuhku. Seakan membawa pesan turut berduka cita atas kepergian Mona. Aku masih tidak percaya. Aku masih tidak mengerti … Kenapa … Ada apa ...?
“Ale!” panggilku.
“Iya Tom?”
“Kapan Mona meninggal?”
“Sejak, sejak dua bulan yang lalu.”
Mendengar jawaban dari Ale, aku segera berdiri. Kuangkat tubuhku. Kutatap matanya dalam-dalam, lalu berkata kepadanya
“Pembohong!!! Aku tahu selama ini kau berbohong padaku, brengsek!!!”
“Tom. Kau kenapa? Aku mengatakan yang sebenarnya.”
“Tidak mungkin. Aku tidak percaya padamu.”
“Aku tidak bohong Tom. Aku berkata jujur. Lagipula, kenapa aku harus berbohong padamu? Itu tidak akan membawa pengaruh apa-apa bukan? Tidak ada untungnya aku berbohong!!”
Aku terbungkam. Kuperhatikan mata sahabatku itu baik-baik. Dia serius. Dia mengatakan yang sebenarnya. Ale memang tidak pernah berbohong padaku sebelumnya. Tapi… Semua ini membuatku semakin tidak mengerti. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di kepalaku. Sesuatu yang aku tahu betul kalau semua ini tidak mungkin terjadi.
Kalau yang dikatakan Ale adalah benar, bahwa Mona meninggal dua bulan yang lalu, lantas siapa yang kemarin mengirim sms padaku???
Bersambung ….

No comments:

Post a Comment