Saturday 8 March 2014

Si Pendeteksi Kebohongan


gambar: npr.org

//Sumitro//

Aku mempercepat langkahku. Kupercepat, hingga genangan air di jalan tanah berlubang ini terciprat mengotori celana panjangku. Pak Lurah yang berjalan di depanku sepertinya sedang terburu-buru. Dia tidak peduli dengan aktivitas yang sedang kulakukan. Dia tidak peduli dengan mie instan yang sedang kusantap. Dia tidak peduli dengan siaran radio “Dongeng Mang Jaya” yang sedang kunikmati di HP baruku. Dia tidak peduli dengan celana panjang yang sangat aku cintai ini. Dia hanya peduli dengan masalahnya, dan dia membawaku ke dalam masalah itu. Seperti biasanya.

Pak Lurah masih berada di depanku, berjalan dengan kecepatan yang luar biasa. Ini adalah jalanan kampung. Jadi tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang di daerah sini. Kami tidak perlu khawatir berjalan di tengah. Mungkin hanya sesekali kami harus berbagi ruang dengan barisan itik-itik yang berjejer rapi, atau dengan delman dan sepeda tua yang saling berkejaran-kejaran.

Hanya beberapa saat, kami tiba di tempat tujuan. Balai desa tercinta. Ketika masuk ke ruang utama, di sana aku melihat sudah banyak warga yang datang. Aku sudah mengenal sebagian besar orang-orang ini. Namun ada beberapa wajah yang baru kulihat. Sekelompok pemuda, ada lima orang. Sepertinya mereka berasal dari kota. Wajah-wajah ini. Mereka ….

“Bagaimana Pak Lurah? Sudah ketemu orangnya?” tanya salah seorang pemuda.

“Tidak, Nak. Belum. Tapi saya membawa orang yang bisa membantu.”

Tepat sekali. Orang yang bisa membantu itu adalah aku. Aku sudah sering dimintai bantuan oleh Pak Lurah atas kemampuan yang kumiliki untuk menyelesaikan berbagai macam kasus di kampung ini. Kemampuan yang kudapat dari seoarang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang dulu sempat menginap di rumahku. Sederhana, tetapi tidak mudah. Sepertinya kasus kali ini sama dengan yang sudah-sudah, karena memang hanya itulah kemampuanku. Namun, aku merasa ada sedikit perbedaan.

“Perkenalkan, nama saya Sumitro” ucapku seraya menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan anak itu. Dia melayaninya dengan menjabat tanganku.

“Saya Andre,” jawabnya singkat. Lalu aku berkenalan dengan keempat anak lainnya. Mereka bernama Budi, Halim, Alfi, dan Joni. Kemudian Pak Lurah menjelaskan maksud kedatangan mereka kemari.

“Begini, Tro. Nak Andre dan kawan-kawannya ini berasal dari Bogor. Mereka datang ke kampung kita untuk melakukan kegiatan …, kegiatan apa Nak?”

“PKM Pak. Pekan Kreativitas Mahasiswa. Kami sedang meneliti penggunaan video game sebagai media pembelajaran untuk memperkenalkan dan mengangkat motivasi anak-anak dan pemuda terhadap kegiatan pertanian,” tutur anak yang bernama Halim. Aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. Aku tidak peduli. “Waktu itu saya sedang pergi ke kamar mandi dan meninggalkan HP saya di galengan sawah. Ketika saya kembali, HP itu sudah tidak ada. Hilang begitu saja,” lanjut Andre.

“Kamu menaruh HPnya di tempat terbuka? Pantas saja kalau begitu. Seharusnya kamu menjaga barangmu dengan lebih hati-hati!” ujarku.

“Iya, iya. Masalahnya saya tidak tahu kalau orang-orang di kampung ini maling semua!”

“Hei.. Hei.. Kamu kok bicaranya ngelantur begitu! Jangan sembarangan ngomong kamu! Tidak kami bantu baru tahu rasa kamu!” sergahku.

“Memang apanya yang salah? Sudah ada buktinya. Saya bisa saja sudah lapor polisi dari tadi kalau tidak berbaik hati!” sahut anak itu. Dilihat dari gaya bicaranya, sepertinya dia anak yang berani, tetapi tidak begitu sopan.

“Sudah …, sudah Dre!! Mereka di sini berniat membantu kita. Kamu jangan ribut lagi. Masalahnya tidak akan selesai!” lerai anak bernama Alfi.

“Ya sudah. Sumitro, cepat kamu mulai pemeriksaan kamu!” perintah Pak Lurah.

“Apa yang bisa dilakukan oleh Pak Sumitro ini?” tanya Andre setengah berbisik kepada Pak Lurah. Aku bisa mendengarnya anak bodoh. Jangan meragukanku!

“Sumitro bisa mengetahui mana orang yang berkata jujur, dan mana orang yang berbohong,” jawab Pak Lurah. Terima kasih sudah menjawabnya untukku Pak!

Aku berjalan mengelilingi ruang utama. Memperhatikan setiap wajah yang hadir di sini. Sulit. Kuakui kali ini memang sulit. Tidak seperti biasanya. Lalu, kualihkan pandanganku pada kelima pemuda sialan itu. Akhirnya aku mendapakan sebuah gagasan.

“Baiklah. Aku sudah memutuskan. Aku akan memulai interogasiku dengan mereka!” ujarku seraya mengarahkan jari telunjukku kepada keempat pemuda yang datang bersama Andre. Teman-temannya.

“Apa? Maksud bapak apa? Kami tidak mungkin mencuri barang milik teman kami sendiri!!” sergah Budi.

“Itu benar. Aku sudah kenal betul dengan teman-temanku sendiri. Mereka tidak akan melakukan itu padaku!” Andre membela mereka.

Aku hanya tersenyum. Protes-protes dari mereka tidak kupedulikan. Masuk telinga kanan, keluar dari bawah bersama gas beracun. Itulah satu-satunya cara yang bisa kupikirkan saat ini. Tanpa menggubris mereka, aku memulai tugas ini. Aku berjalan mendekati mereka. Kuperhatikan setiap wajahnya dengan seksama. Aku tetap bertahan agar tidak berkedip. Kuamati satu persatu. Kutanyai mereka dengan pertanyaan yang singkat dan sederhana. Hanya dua pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah “Apakah kamu mencuri HP milik temanmu?” dan pertanyaan kedua adalah “Apakah kamu yakin?

Aku tinggal mengatur mimik muka dan menajamkan tatapan mataku. Jika dia berbohong, tubuhnya akan menjadi kaku dan bicaranya mendadak gagap. Selain itu, bibirnya akan kering karena terlalu banyak menelan ludah. Itu terjadi karena gugup.

Yang harus kuperhatikan selanjutnya adalah gerakan matanya. Pada awalanya sangat sulit menangkap gerakan ini karena sangat cepat. Namun karena sudah terbiasa, aku jadi semakin lihai. Jika orang itu menggerakan matanya ke kiri, itu tandanya dia sedang berpikir menggunakan otak kiri. Dengan kata lain, dia sedang berusaha mengingat-ingat kejadian. Itu berarti dia jujur. Namun apabila matanya bergerak ke kanan, itu tandanya dia sedang berpikir menggunakan otak kanan. Dengan kata lain, dia sedang berimajinasi. Dia mengarang cerita.

Tanda-tanda yang lainnya adalah, apabila orang itu mengusapkan tangannya di bawah hidungnya, dagunya, atau lehernya tanpa alasan yang jelas, dia sedang mencoba untuk berbohong. Dan satu lagi, apabila ia mengalihakan pandangannya ke sembarang arah, atau mengusapkan tangannya di depan wajahnya, atau melakukan kegiatan apapun yang berusaha menghindari kontak mata, sebenarnya dia sedang berusaha untuk berbohong.

Aku mengetahui semua itu. Aku memahaminya. Mereka tidak bisa membohongiku. Hanya beberapa saat kemudian, aku sudah selesai dengan mereka. Aku sudah memikirkan jawabannya. Aku pun mempersiapkan jari telunjukku. Aku mempersiapkannya untuk melakukan eksekusi. Kuangkat, kuacungkan jari telunjukku tinggi-tinggi, lalu kutembakkan padanya. Seorang pemuda yang berdiri paling ujung.

“Joni?! Yang benar saja! Kau ….” si Andre kelihatannya tidak percaya.

“Ya. Dialah yang mengambil HPmu. Teman dekatmu. Seseorang yang kau panggil Joni itu. Dialah pelakunya!” bidikku tanpa mengubah posisi jari telunjukku yang sedang mengarah tepat di wajahya.

“Sekarang kau mengerti? Namaku Sumitro, si pendeteksi kebohongan”

Si Andre hanya mengeluarkan gumaman kecil,

“Aku… Aku tidak percaya..”

***

//Andre//

Aku.. Aku tidak percaya..”

Joni tidak mungkin mengambil HPku. Aku sudah sangat kenal dengannya. Kami berteman sejak kecil. Bahkan sampai saat ini, sampai kami sudah menjadi mahasiswa. Keluarga Joni adalah orang yang berada. Kekayaannya jauh melebihi kekaayaan keluargaku. HPnya saja jauh lebih mahal daripada HP milikku. Semua ini tidak masuk akal. Lagipula, orang yang bernama Sumitro ini, siapa dia yang berani-beraninya menuduh orang seenaknya?

Pak Lurah bilang kalau Pak Sumitro ini dapat mengenali orang yang sedang berbohong. Dasar bodoh! Kalau cuma itu, aku juga bisa. Sebelum aku menuduh warga-warga di kampung ini, tentu saja aku sudah mengetes teman-temanku dulu. Hasilnya, aku tidak menemukan kebohongan pada jawaban mereka. Mereka semua benar-benar tidak tahu. Mereka berkata dengan jujur.

“Tunggu dulu!!!” sergahku. Aku pun mendekati orang sok tahu itu. Orang yang menyebut dirnya Pak Sumitro. Aku sudah siap untuk meluncurkan pertanyaan-pertanyaanku padanya.

“Pak Sumitro. Bapak berada di mana siang tadi jam dua?”

“Hah? Apa?” tanya pria itu. Aku melihatnya, matanya bergerak ke kanan.

“Saya bilang, bapak berada di mana siang tadi jam dua?”

“Emm… Aku, aku sedang berbelanja di warung Bu Inayah. Memangnya kenapa?”

“Apa yang anda beli?”

“Tentu saja, banyak sekali. Aku sedang berbelanja banyak barang.”

“Sebutkan satu per-satu!”

“Aku membeli, seperti …, telur, mie instant, kemudian …, beras, bawang, dan semacanya lah!” bicaranya mulai terbata-bata. Aku yakin dia sendiri tidak yakin dengan yang dia ucapkan.

“Apa anda yakin?”

“Ya. Ke-kenapa kau menanyakan itu?”

Dia terdiam. Tubuhnya kaku. Akhirnya, aku melihatnya. Keringat yang menetes di keningnya. Aku berani bertaruh kalau itu kerigat dingin. Dia gugup.

“Tadi saya sempat berbincang dengan Bu Inayah. Dia bilang, dia kehabisan stock telur hari ini,” ucapku. Tanpa melepaskan tatapanku dari matanya.

“Epp, ya. Itu memang benar. Aku memborong habis semua telurnya hari ini.”

“Benarkah? Semua perkataan bapak tadi membuat saya ragu.”

“Ragu? Apa maksudmu?”

“Maksud saya adalah, Bu Inayah bahkan tidak berjualan hari ini. Semua orang tahu itu.” jebakanku berhasil.

“Itu benar Tro. Bu Inayah tidak berjualan hari ini. Memangnya kau tidak tahu? Maksudmu Bu Inayah yang mana sih?” Pak Lurah keheranan.

Aku melihat kecemasan di wajah Pak Sumitro. Bibirnya kering, tapi wajahnya dibanjiri oleh peluhnya sendiri. Semakin lama, aku semakin yakin, bahwa …

“Bapak adalah orang mengambil HP saya. Benar begitu kan?”

Tiba-tiba suasana di ruangan ini menjadi ricuh. Setiap orang bersahut-sahutan dengan ungkapan-ungkapan ketidakpercayaannya. Aku mengetahuinya. Aku tahu bahwa sekarang pasti sedang ada sengatan lisrik bertegangan tinggi yang menyetrum Pak Sumitro. Aku tahu itu. Aku tahu bahwa dia akan berkata …

“Aku, aku tidak melakukannya!”

“Baiklah kalau begitu. Baiklah. Kalau bapak benar tidak melakukannya, sudikah kiranya bapak sekedar ‘bersumpah’ di depan kami semua?”

Aku hampir tak sanggup menahan gelitikan di teggorokanku ketika kulihat air muka Pak Sumitro. Matanya terbelalak. Kejutan listrik yang tadi menyengatnya sepertinya sekarang berubah menjadi petir yang menyambar. Petir yang mampu membuat jambulnya turun. Layu. Biasanya budaya bersumpah masih ada di kampung-kampung.  Orang yang bersalah tidak akan berani melakukannya. Akan tetapi, sesuatu yang tak kukira terjadi.

“Baiklah. Aku bersedia. Aku bersedia untuk bersumpah di hadapan kalian!”

Dia bersedia melakukannya. Dia benar-benar pria yang tangguh. Para warga yang hadir di sini masih ricuh. Aku mencoba menenangkan mereka. Membuat mereka diam agar aku bisa mendengar dengan jelas sumpah yang akan diucapkan oleh Pak Sumitro. Pak Sumitro pun berdiri di hadapan warga. Bagai pemilihan Putri Indonesia, semua mata tertuju padanya. Orang itu memulai sumpah palsunya dengan suara lantang.

“Hadirin. Saya berdiri di hadapan anda sekalian, untuk mengucapkan sumpah saya kepada anda. Bahwa saya, Sumitro, mengaku tidak pernah merasa mengambil HP milik Nak Andre. Terima kasih.”
Saat itu, aku melihat sesuatu. Sesuatu yang semakin meyakinkanku bahwa dialah pelakunya. Sesuatu yang secara sengaja ia lakukan. Sesuatu yang tidak mungkin dia bantah lagi. Aku segera berlari menghampirinya. Kuraih tangan kanannya yang berusaha ia sembunyikan, lalu kuangkat tinggi-tinggi hingga semua orang yang ada di sini bisa melihatnya.

“Warga sekalian, lihatlah! Lihatlah apa yang dilakukan oleh telunjuk dan jari tengahnya! Pria ini, Pak Sumitro, dia menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Bapak-bapak tahu apa artinya? Itu artinya, Pak Sumitro telah mengingkari sumpahnya sendiri. Dia tidak bersumpah dengan sungguh-sungguh. Orang ini berbohong. Orang yang selama ini telah membuktikan kebohongan orang-orang, terbukti telah berbohong kepada kita semua!” ucapku tanpa melepaskan tangannya dari tanganku.

Suasana di balai desa ini semakin memanas. Ramai. Aku mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Pak Sumitro. Kasus kali ini pastilah berbeda dari kasus-kasus sebelumnya yang pernah dia tangani. Kasus ini pastilah lebih sulit. Karena kali ini, dia sendirilah tersangkanya.

“Baiklah!! Baiklah!! Aku mengaku. Aku yang mengambil HP anak ini. Aku yang mencuri HP anak sialan ini!!!” teriak Pak Sumitro.

Akhirnya. Yang baik tetaplah baik. Tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Apa yang terjadi, terjadilah. Semuanya akan berakhir bahagia. Kalau tidak bahagia, bukan akhir namanya.

“Sumitro. Kamu membuatku malu. Kamu membuat kampung ini malu. Kukira kamulah orang yang paling bisa kupercayai di sini!” Pak Lurah geram.

“Maafkan aku Pak Lurah. Aku bersumpah tidak memiliki niat sama sekali untuk mencuri. Kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat pelakunya bukan? Tapi juga karena ada kesempatan,” Pak Sumitro berdalih.

Pria itu menatapku kesal. Aku hanya membalasnya dengan senyuman melecehkan. Para warga segera memeganginya. Aku berkata kepada mereka agar tidak perlu membawanya ke kantor polisi. Aku sudah memaafkannya. Aku hanya perlu HPku kembali. Akhirnya mereka membawanya ke rumahnya untuk mengambil HPku. Aku tetap menunggu di balai desa ini. Tepat sebelum mereka menghilang, Pak Sumitro membalikkan badannya dan bertanya padaku.

“Hey, Bocah! Sebenarnya kau ini mahasiswa jurusan apa sih?”

“Ilmu Komputer,” jawabku.

“Lalu darimana kau tahu ilmu-ilmu tentang membaca gerakan, bahasa tubuh, dan sebagainya?”

Aku tidak langsung menjawabnya. Mungkin dia tidak akan mengerti dengan jawaban yang akan kuberikan padanya. Tapi, memang itulah kenyataannya. Mau bagaimana lagi. Dia harus berkuliah di kampusku kalau mau mengerti.

“Aku mengambil minor Sains Komunikasi.”

===TAMAT===

No comments:

Post a Comment