Aku mempercepat langkahku. Kupercepat, hingga genangan air
di jalan tanah berlubang ini terciprat mengotori celana panjangku. Pak Lurah
yang berjalan di depanku sepertinya sedang terburu-buru. Dia tidak peduli
dengan aktivitas yang sedang kulakukan. Dia tidak peduli dengan mie instan yang
sedang kusantap. Dia tidak peduli dengan siaran radio “Dongeng Mang Jaya” yang
sedang kunikmati di HP baruku. Dia tidak peduli dengan celana panjang yang
sangat aku cintai ini. Dia hanya peduli dengan masalahnya, dan dia membawaku ke
dalam masalah itu. Seperti biasanya.
Pak Lurah masih berada di depanku, berjalan dengan kecepatan
yang luar biasa. Ini adalah jalanan kampung. Jadi tidak banyak kendaraan yang
berlalu lalang di daerah sini. Kami tidak perlu khawatir berjalan di tengah.
Mungkin hanya sesekali kami harus berbagi ruang dengan barisan itik-itik yang
berjejer rapi, atau dengan delman dan sepeda tua yang saling
berkejaran-kejaran.
Hanya beberapa saat, kami tiba di tempat tujuan. Balai desa
tercinta. Ketika masuk ke ruang utama, di sana aku melihat sudah banyak warga
yang datang. Aku sudah mengenal sebagian besar orang-orang ini. Namun ada
beberapa wajah yang baru kulihat. Sekelompok pemuda, ada lima orang. Sepertinya
mereka berasal dari kota. Wajah-wajah ini. Mereka ….
“Bagaimana Pak Lurah? Sudah ketemu orangnya?” tanya salah
seorang pemuda.
“Tidak, Nak. Belum. Tapi saya membawa orang yang bisa
membantu.”
Tepat sekali. Orang yang bisa membantu itu adalah aku. Aku
sudah sering dimintai bantuan oleh Pak Lurah atas kemampuan yang kumiliki untuk
menyelesaikan berbagai macam kasus di kampung ini. Kemampuan yang kudapat dari
seoarang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang dulu sempat menginap di
rumahku. Sederhana, tetapi tidak mudah. Sepertinya kasus kali ini sama dengan
yang sudah-sudah, karena memang hanya itulah kemampuanku. Namun, aku merasa ada
sedikit perbedaan.
“Perkenalkan, nama saya Sumitro” ucapku seraya menyodorkan
tangan untuk bersalaman dengan anak itu. Dia melayaninya dengan menjabat
tanganku.
“Saya Andre,” jawabnya singkat. Lalu aku berkenalan dengan
keempat anak lainnya. Mereka bernama Budi, Halim, Alfi, dan Joni. Kemudian Pak
Lurah menjelaskan maksud kedatangan mereka kemari.
“Begini, Tro. Nak Andre dan kawan-kawannya ini berasal dari
Bogor. Mereka datang ke kampung kita untuk melakukan kegiatan …, kegiatan apa
Nak?”
“PKM Pak. Pekan Kreativitas Mahasiswa. Kami sedang meneliti
penggunaan video game sebagai media pembelajaran untuk memperkenalkan dan
mengangkat motivasi anak-anak dan pemuda terhadap kegiatan pertanian,” tutur
anak yang bernama Halim. Aku tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. Aku
tidak peduli. “Waktu itu saya sedang pergi
ke kamar mandi dan meninggalkan HP saya di galengan sawah. Ketika saya kembali,
HP itu sudah tidak ada. Hilang begitu saja,” lanjut Andre.
“Kamu menaruh HPnya di tempat terbuka? Pantas saja kalau
begitu. Seharusnya kamu menjaga barangmu dengan lebih hati-hati!” ujarku.
“Iya, iya. Masalahnya saya tidak tahu kalau orang-orang di
kampung ini maling semua!”
“Hei.. Hei.. Kamu kok bicaranya ngelantur begitu! Jangan
sembarangan ngomong kamu! Tidak kami bantu baru tahu rasa kamu!” sergahku.
“Memang apanya yang salah? Sudah ada buktinya. Saya bisa
saja sudah lapor polisi dari tadi kalau tidak berbaik hati!” sahut anak itu.
Dilihat dari gaya bicaranya, sepertinya dia anak yang berani, tetapi tidak
begitu sopan.
“Sudah …, sudah Dre!! Mereka di sini berniat membantu kita.
Kamu jangan ribut lagi. Masalahnya tidak akan selesai!” lerai anak bernama
Alfi.
“Ya sudah. Sumitro, cepat kamu mulai pemeriksaan kamu!”
perintah Pak Lurah.
“Apa yang bisa dilakukan oleh Pak Sumitro ini?” tanya Andre
setengah berbisik kepada Pak Lurah. Aku bisa mendengarnya anak bodoh. Jangan
meragukanku!
“Sumitro bisa mengetahui mana orang yang berkata jujur, dan
mana orang yang berbohong,” jawab Pak Lurah. Terima kasih sudah menjawabnya
untukku Pak!
Aku berjalan mengelilingi ruang utama. Memperhatikan setiap
wajah yang hadir di sini. Sulit. Kuakui kali ini memang sulit. Tidak seperti
biasanya. Lalu, kualihkan pandanganku pada kelima pemuda sialan itu. Akhirnya
aku mendapakan sebuah gagasan.
“Baiklah. Aku sudah memutuskan. Aku akan memulai
interogasiku dengan mereka!” ujarku seraya mengarahkan jari telunjukku kepada keempat
pemuda yang datang bersama Andre. Teman-temannya.
“Apa? Maksud bapak apa? Kami tidak mungkin mencuri barang
milik teman kami sendiri!!” sergah Budi.
“Itu benar. Aku sudah kenal betul dengan teman-temanku
sendiri. Mereka tidak akan melakukan itu padaku!” Andre membela mereka.
Aku hanya tersenyum. Protes-protes dari mereka tidak
kupedulikan. Masuk telinga kanan, keluar dari bawah bersama gas beracun. Itulah
satu-satunya cara yang bisa kupikirkan saat ini. Tanpa menggubris mereka, aku
memulai tugas ini. Aku berjalan mendekati mereka. Kuperhatikan setiap wajahnya
dengan seksama. Aku tetap bertahan agar tidak berkedip. Kuamati satu persatu.
Kutanyai mereka dengan pertanyaan yang singkat dan sederhana. Hanya dua
pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah “Apakah kamu mencuri HP milik temanmu?”
dan pertanyaan kedua adalah “Apakah kamu yakin?”
Aku tinggal mengatur mimik muka dan menajamkan tatapan
mataku. Jika dia berbohong, tubuhnya akan menjadi kaku dan bicaranya mendadak
gagap. Selain itu, bibirnya akan kering karena terlalu banyak menelan ludah.
Itu terjadi karena gugup.
Yang harus kuperhatikan selanjutnya adalah gerakan matanya.
Pada awalanya sangat sulit menangkap gerakan ini karena sangat cepat. Namun
karena sudah terbiasa, aku jadi semakin lihai. Jika orang itu menggerakan
matanya ke kiri, itu tandanya dia sedang berpikir menggunakan otak kiri. Dengan
kata lain, dia sedang berusaha mengingat-ingat kejadian. Itu berarti dia jujur.
Namun apabila matanya bergerak ke kanan, itu tandanya dia sedang berpikir
menggunakan otak kanan. Dengan kata lain, dia sedang berimajinasi. Dia
mengarang cerita.
Tanda-tanda yang lainnya adalah, apabila orang itu
mengusapkan tangannya di bawah hidungnya, dagunya, atau lehernya tanpa alasan
yang jelas, dia sedang mencoba untuk berbohong. Dan satu lagi, apabila ia
mengalihakan pandangannya ke sembarang arah, atau mengusapkan tangannya di
depan wajahnya, atau melakukan kegiatan apapun yang berusaha menghindari kontak
mata, sebenarnya dia sedang berusaha untuk berbohong.
Aku mengetahui semua itu. Aku memahaminya. Mereka tidak bisa
membohongiku. Hanya beberapa saat kemudian, aku sudah selesai dengan mereka.
Aku sudah memikirkan jawabannya. Aku pun mempersiapkan jari telunjukku. Aku
mempersiapkannya untuk melakukan eksekusi. Kuangkat, kuacungkan jari telunjukku
tinggi-tinggi, lalu kutembakkan padanya. Seorang pemuda yang berdiri paling
ujung.
“Joni?! Yang benar saja! Kau ….” si Andre kelihatannya tidak
percaya.
“Ya. Dialah yang mengambil HPmu. Teman dekatmu. Seseorang
yang kau panggil Joni itu. Dialah pelakunya!” bidikku tanpa mengubah posisi
jari telunjukku yang sedang mengarah tepat di wajahya.
“Sekarang kau mengerti? Namaku Sumitro, si pendeteksi
kebohongan”
Si Andre hanya mengeluarkan gumaman kecil,
“Aku… Aku tidak percaya..”
***
//Andre//
“Aku..
Aku tidak percaya..”
Joni tidak mungkin mengambil HPku. Aku sudah sangat kenal
dengannya. Kami berteman sejak kecil. Bahkan sampai saat ini, sampai kami sudah
menjadi mahasiswa. Keluarga Joni adalah orang yang berada. Kekayaannya jauh
melebihi kekaayaan keluargaku. HPnya saja jauh lebih mahal daripada HP milikku.
Semua ini tidak masuk akal. Lagipula, orang yang bernama Sumitro ini, siapa dia
yang berani-beraninya menuduh orang seenaknya?
Pak Lurah bilang kalau Pak Sumitro ini dapat mengenali orang
yang sedang berbohong. Dasar bodoh! Kalau cuma itu, aku juga bisa. Sebelum aku
menuduh warga-warga di kampung ini, tentu saja aku sudah mengetes teman-temanku
dulu. Hasilnya, aku tidak menemukan kebohongan pada jawaban mereka. Mereka semua
benar-benar tidak tahu. Mereka berkata dengan jujur.
“Tunggu dulu!!!” sergahku. Aku pun mendekati orang sok tahu
itu. Orang yang menyebut dirnya Pak Sumitro. Aku sudah siap untuk meluncurkan
pertanyaan-pertanyaanku padanya.
“Pak Sumitro. Bapak berada di mana siang tadi jam dua?”
“Hah? Apa?” tanya pria itu. Aku melihatnya, matanya bergerak
ke kanan.
“Saya bilang, bapak berada di mana siang tadi jam dua?”
“Emm… Aku, aku sedang berbelanja di warung Bu Inayah.
Memangnya kenapa?”
“Apa yang anda beli?”
“Tentu saja, banyak sekali. Aku sedang berbelanja banyak
barang.”
“Sebutkan satu per-satu!”
“Aku membeli, seperti …, telur, mie instant, kemudian …, beras,
bawang, dan semacanya lah!” bicaranya mulai terbata-bata. Aku yakin dia sendiri
tidak yakin dengan yang dia ucapkan.
“Apa anda yakin?”
“Ya. Ke-kenapa kau menanyakan itu?”
Dia terdiam. Tubuhnya kaku. Akhirnya, aku melihatnya.
Keringat yang menetes di keningnya. Aku berani bertaruh kalau itu kerigat
dingin. Dia gugup.
“Tadi saya sempat berbincang dengan Bu Inayah. Dia bilang,
dia kehabisan stock telur hari ini,” ucapku. Tanpa melepaskan tatapanku dari
matanya.
“Epp, ya. Itu memang benar. Aku memborong habis semua
telurnya hari ini.”
“Benarkah? Semua perkataan bapak tadi membuat saya ragu.”
“Ragu? Apa maksudmu?”
“Maksud saya adalah, Bu Inayah bahkan tidak berjualan hari
ini. Semua orang tahu itu.” jebakanku berhasil.
“Itu benar Tro. Bu Inayah tidak berjualan hari ini.
Memangnya kau tidak tahu? Maksudmu Bu Inayah yang mana sih?” Pak Lurah keheranan.
Aku melihat kecemasan di wajah Pak Sumitro. Bibirnya kering,
tapi wajahnya dibanjiri oleh peluhnya sendiri. Semakin lama, aku semakin yakin,
bahwa …
“Bapak adalah orang mengambil HP saya. Benar begitu kan?”
Tiba-tiba suasana di ruangan ini menjadi ricuh. Setiap orang
bersahut-sahutan dengan ungkapan-ungkapan ketidakpercayaannya. Aku
mengetahuinya. Aku tahu bahwa sekarang pasti sedang ada sengatan lisrik
bertegangan tinggi yang menyetrum Pak Sumitro. Aku tahu itu. Aku tahu bahwa dia
akan berkata …
“Aku, aku tidak melakukannya!”
“Baiklah kalau begitu. Baiklah. Kalau bapak benar tidak
melakukannya, sudikah kiranya bapak sekedar ‘bersumpah’ di depan kami semua?”
Aku hampir tak sanggup menahan gelitikan di teggorokanku
ketika kulihat air muka Pak Sumitro. Matanya terbelalak. Kejutan listrik yang
tadi menyengatnya sepertinya sekarang berubah menjadi petir yang menyambar.
Petir yang mampu membuat jambulnya turun. Layu. Biasanya budaya bersumpah masih
ada di kampung-kampung. Orang yang
bersalah tidak akan berani melakukannya. Akan tetapi, sesuatu yang tak kukira
terjadi.
“Baiklah. Aku bersedia. Aku bersedia untuk bersumpah di
hadapan kalian!”
Dia bersedia melakukannya. Dia benar-benar pria yang
tangguh. Para warga yang hadir di sini masih ricuh. Aku mencoba menenangkan
mereka. Membuat mereka diam agar aku bisa mendengar dengan jelas sumpah yang
akan diucapkan oleh Pak Sumitro. Pak Sumitro pun berdiri di hadapan warga.
Bagai pemilihan Putri Indonesia, semua mata tertuju padanya. Orang itu memulai
sumpah palsunya dengan suara lantang.
“Hadirin. Saya berdiri di hadapan anda sekalian, untuk
mengucapkan sumpah saya kepada anda. Bahwa saya, Sumitro, mengaku tidak pernah
merasa mengambil HP milik Nak Andre. Terima kasih.”
Saat itu, aku melihat sesuatu. Sesuatu yang semakin
meyakinkanku bahwa dialah pelakunya. Sesuatu yang secara sengaja ia lakukan.
Sesuatu yang tidak mungkin dia bantah lagi. Aku segera berlari menghampirinya.
Kuraih tangan kanannya yang berusaha ia sembunyikan, lalu kuangkat
tinggi-tinggi hingga semua orang yang ada di sini bisa melihatnya.
“Warga sekalian, lihatlah! Lihatlah apa yang dilakukan oleh
telunjuk dan jari tengahnya! Pria ini, Pak Sumitro, dia menyilangkan jari
telunjuk dan jari tengahnya. Bapak-bapak tahu apa artinya? Itu artinya, Pak
Sumitro telah mengingkari sumpahnya sendiri. Dia tidak bersumpah dengan
sungguh-sungguh. Orang ini berbohong. Orang yang selama ini telah membuktikan
kebohongan orang-orang, terbukti telah berbohong kepada kita semua!” ucapku
tanpa melepaskan tangannya dari tanganku.
Suasana di balai desa ini semakin memanas. Ramai. Aku
mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Pak Sumitro. Kasus kali ini
pastilah berbeda dari kasus-kasus sebelumnya yang pernah dia tangani. Kasus ini
pastilah lebih sulit. Karena kali ini, dia sendirilah tersangkanya.
“Baiklah!! Baiklah!! Aku mengaku. Aku yang mengambil HP anak
ini. Aku yang mencuri HP anak sialan ini!!!” teriak Pak Sumitro.
Akhirnya. Yang baik tetaplah baik. Tidak ada lagi yang perlu
dipermasalahkan. Apa yang terjadi, terjadilah. Semuanya akan berakhir bahagia.
Kalau tidak bahagia, bukan akhir namanya.
“Sumitro. Kamu membuatku malu. Kamu membuat kampung ini
malu. Kukira kamulah orang yang paling bisa kupercayai di sini!” Pak Lurah
geram.
“Maafkan aku Pak Lurah. Aku bersumpah tidak memiliki niat
sama sekali untuk mencuri. Kejahatan bukan hanya terjadi karena ada niat
pelakunya bukan? Tapi juga karena ada kesempatan,” Pak Sumitro berdalih.
Pria itu menatapku kesal. Aku hanya membalasnya dengan
senyuman melecehkan. Para warga segera memeganginya. Aku berkata kepada mereka agar
tidak perlu membawanya ke kantor polisi. Aku sudah memaafkannya. Aku hanya
perlu HPku kembali. Akhirnya mereka membawanya ke rumahnya untuk mengambil
HPku. Aku tetap menunggu di balai desa ini. Tepat sebelum mereka menghilang, Pak Sumitro membalikkan badannya dan bertanya padaku.
“Hey, Bocah! Sebenarnya kau ini mahasiswa jurusan apa sih?”
“Ilmu Komputer,” jawabku.
“Lalu darimana kau tahu ilmu-ilmu tentang membaca gerakan,
bahasa tubuh, dan sebagainya?”
Aku tidak langsung menjawabnya. Mungkin dia tidak akan
mengerti dengan jawaban yang akan kuberikan padanya. Tapi, memang itulah
kenyataannya. Mau bagaimana lagi. Dia harus berkuliah di kampusku kalau mau
mengerti.
“Aku mengambil minor Sains Komunikasi.”
===TAMAT===
No comments:
Post a Comment