“Aku
datang Mona … Aku datang! Tunggu aku!!!”
***
Kusibakkan perlahan kelopak mataku yang
berat, remang-remang kulihat langit-langit kamar yang berwarna cream. Sayup-sayup nyanyian burung di
depan rumah terdengar memberi sambutan di pagi ini. Selimut hangat yang
menutupi sebagian tubuhku kulepaskan. Kemudian kutarik tanganku ke atas dan
kakiku ke bawah untuk meregangkan otot-ototku yang sempat mengendur ketika aku
tertidur. “Hoaahhmmm …!!” Nyenyak
sekali tidurku kali ini.
Kukucek lagi mataku untuk lebih
mempertajam fokusnya. Tiba-tiba kurasakan sekelebat cahaya menusuk mataku dari
arah jendela. Di sana aku melihat
ibu sedang membukakan gorden. Ah, lagi-lagi
sebuah hari yang biasa. Rutinitasku setiap pagi. Ibu membukakan jendela kamar,
kemudian membangunkanku sambil marah-marah karena aku kesiangan.
Kuangkat tubuhku untuk sekedar duduk.
Entah kenapa aku merasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Serasa habis berenang
berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Bahkan untuk bangun pun begitu sulit. Lalu
kurasakan sesuatu menempel di pergelangan tanganku. Ada selang kecil yang
menusuk menembus kulitku di sana. Benda itu tersambung pada botol yang
tergantung pada sebuah tiang. Tunggu dulu, ternyata di lubang hidungku juga
ada. Apa ini?
Kulempar pandanganku kepada ibu. Ibu
sedang memandangiku dengan raut wajah yang aneh. Dia hanya terpaku di sana
sambil menatapku. Belum sempat aku menanyakan ada apa, ibu segera berlari
menghampiriku dan langsung memelukku erat.
“Nak!! Akhirnya … Akhirnya kamu bangun
Nak!!!” ucapnya padaku. Suaranya berubah parau. Aku tidak mengerti.
“Bu, memangnya, apa yang terjadi
denganku?”
Ibu tidak langsung menjawabnya. Dia
masih terisak-isak menangis. Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya ibu memelukku
seperti ini di pagi hari. Apa yang membuatnya menangis? Beberapa saat kemudian,
ibu menjawabnya dengan suara yang serak.
“Kamu … kamu sudah tertidur selama dua
bulan.”
***
Tiga hari kemudian.
“Tomiiiiiii!!!!!” teriak Sasha dengan
suaranya yang melengking.
Pertama kali masuk sekolah setelah dua
bulan. Benar-benar konyol. Aku merasa biasa-biasa saja. Namun jika dilihat dari
ekspresi Sasha dan Ale ketika aku masuk kelas, sepertinya benar yang dikatakan
ibu tiga hari yang lalu. Kalaupun begitu, aku masih belum mengerti. Apa yang
membuatku bisa tertidur selama itu? Aku tidak bisa mengingat apapun. Sementara
ibu tetap tidak mau memberitahukannya padaku.
“Tomi!! Aku senang sekali kamu sudah
masuk sekolah lagi!” tutur Sasha padaku. Sepertinya kelakuan anak ini tidak
berubah semenjak terakhir aku melihatnya. Apakah benar aku telah tertidur dua
bulan lamanya?
“Tom, kamu yakin sudah mau sekolah
lagi? Kamu kan baru saja sembuh.” timpal Ale, sahabat karibku. Kata ibu, lelaki
hitam tinggi ini selalu datang menjengukku hampir setiap hari. Termasuk
kemarin, dia terkejut ketika ternyata aku sudah sembuh.
“Tenang saja, Le. Aku sudah kuat lagi
kok. Hanya mungkin kali ini aku tidak akan ikut mata pelajaran angkat beban.”
“Memangnya ada mata pelajaran seperti
itu ya? Hahaha ...!!” Ale tertawa.
“Wah, Tom! Rambut kamu sudah gondrong banget!
Aku sampai pangling melihatnya.” ujar Sasha. Spontan aku membelai-belai
rambutku. Benar juga. Rambutku sudah sangat lebat. Aku harus segera bercukur
sebelum dicukur paksa oleh pembina OSIS.
Aku memandang ke seisi kelas. Dinding
yang dulu pudar dan penuh coretan kini telah berganti menjadi warna hijau muda
yang cerah. Selain itu, jendela kelas pun sekarang memakai gorden. Sepertinya
karena Ale selalu mengintip ke luar saat pelajaran berlangsung. Yang luar biasa
adalah, papan tulis pun telah bertransformasi dari yang dulu memakai kapur,
kini memakai spidol. Aku benar-benar takjub. Dalam dua bulan yang cukup singkat
ini, telah terjadi begitu banyak perubahan. Seakan-akan aku sedang hidup di
dunia yang berbeda.
Lalu aku alihkan pandanganku ke bangku
itu. Sebuah bangku di depan kelas. Bangku itu kosong. Dia tidak ada di sana.
Aku pun menoleh ke luar jendela. Menunggu kedatangannya. Kunikmati detik demi
detik dalam penantian ini. Orang yang sangat berharga dalam hidupku. Alasan
terbesar mengapa aku masuk sekolah hari ini. Untuk melihat wajah mungilnya,
lengkungan senyumnya yang manis, lesung
di pipinya ketika ia tertawa, susunan gigi-gigi serinya yang rapi, kerutan di
dahinya ketika aku memberikan lelucon garing kepadanya, aku ingin melihatnya
sekali lagi. Padahal, serasa baru kemarin aku bertemu dengannya. Namun untuk
beberapa alasan, aku merasa sangat merindukannya, seolah-olah telah terpisah
selama bertahun-tahun lamanya.
Menit demi menit berlalu, jam demi jam
berganti. Aku menantinya dengan perasaan harap-harap cemas. Sampai Pak guru
masuk dan keluar lagi, dia tak kunjung datang. Ah, mungkin dia terlambat. Aku
tetap menunggunya dengan sabar. Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh
Pak Anjun di depan kelas. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah dia. Beberapa
waktu kemudian, jam pelajaran berganti. Seorang guru baru masuk, dan sampai
guru itu keluar lagi, orang yang kunanti masih belum datang.
Selama istirahat pertama berlangsung,
aku hanya duduk terdiam di luar kelas. Semakin aku merenung, semakin aku yakin,
dia tidak akan datang. Aku belum mendapat kabar tentangnya. Bahkan sampai waktu
pulang sekolah, tidak ada tanda-tanda darinya.
Aku segera mengambil tas selendang
coklatku untuk pergi. Aku akan pergi ke rumahnya sekarang juga. Di jalan aku
berpapasan dengan Joni yang juga satu sekolah denganku.
“Hai Tom!” sapa Joni.
“Eh, Jon. Kamu tahu Mona ke mana hari
ini?”
“Siapa?” tanya Joni. Dia kelihatan
tidak yakin dengan apa yang barusan kutanyakan.
“Mona. Monalisa.”
“Yang mana?” tanyanya lagi.
“Mona, yang satu sekolah dengan kita.
Teman dekatku.”
“Mona? Kamu yakin?” Joni bertanya untuk
yang ke sekian kalinya. Kakinya mulai bergerak, sepertinya dia sedang
terburu-buru.
“Maksudmu? Yakin bagaimana?”
“Setahuku, tidak ada yang bernama
Monalisa di sekolah kita,” jawab Joni sambil beranjak pergi menjauh.
Meninggalkanku seorang diri, yang hanya diam karena semakin diliputi rasa tidak
mengerti.
Bersambung
….
No comments:
Post a Comment