Sunday 9 March 2014

Warnamu

gambar: redbubble.com


Tak ada yang istimewa pagi ini. Semuanya normal. Langit cerah biru jernih, burung-burung hilir mudik mencari makan, kucing kampung berjemur di bawah matahari. Suasana desa tak begitu ramai, hanya satu-dua kendaraan yang melintas pelan di jalan utama. Setiap orang sudah terjebak dalam pekerjaannya masing-masing. Di sawah, sekolah, dan kantor kelurahan.
Sebuah mobil pendek berwarna putih kusam terparkir di bawah pohon beringin. Asap rokok mengepul keluar lewat kaca depan yang terbuka. Seorang pria terlihat sedang duduk santai di jok depan. Setelannya formal. Kemeja abu kotak-kotak, celana bahan warna gelap, dan sepatu pantopel hitam yang mengilat. Jari tangan kanannya memainkan sepuntung rokok. Memutar-mutarnya kian kemari. “Masuk jangan ya? Masuk jangan ya?” pikirnya.
Pria itu diliputi kegamangan. Ia tidak bekerja hari ini, karena memang ia tidak memiliki pekerjaan. Seminggu yang lalu, kantor tempatnya bekerja gulung tikar. Tidak ada kantor lain yang mau menerimanya. Ijazah SMP-nya tidak laku di zaman sekarang. Ia mendorong pintu mobilnya untuk keluar, lalu menutupnya dengan keras. Dihisapnya rokok itu kuat-kuat, dibuangnya di tanah, lalu diinjaknya dengan kesal. Mulutnya bergumam kecil mengeluarkan sisa asap terakhir. “Terkutuklah aku!”
Dia berjalan ke sebuah rumah yang tersembunyi di balik pepohonan besar. Rumah kecil yang terbuat dari bilik bambu. Gentingnya penuh ditumbuhi lumut. Lantainya berlapis tanah, dan isinya juga tanah. Pekarangan depan rumah dipenuhi oleh sampah dedaunan yang berserakan, pertanda tidak pernah dibersihkan.
“Permisi!”
Tidak ada jawaban. Pria itu mengulanginya sampai empat kali. Barulah seseorang membukakan pintu. Seorang lelaki tua berpakaian panjang serba hitam.
“Ada perlu apa?” tanya si lelaki tua dengan suaranya yang serak.
“Saya ingin kaya.”
“Anak muda, aku sendiri sampai sekarang belum kaya-kaya. Jangan minta yang aneh-aneh!”
“Bagaimana kalau begini? Saya ingin punya istri seorang janda kaya, bagaimana?”
“Sepertinya itu bisa diusahakan. Kenapa tak pernah terpikirkan olehku ya? Ayo masuk!”
Rumah itu hanya memiliki sebuah ruangan di dalamnya. Suasananya gelap. Semua jendela ditutup rapat. Penerangan hanya berasal dari tiga buah lilin yang bisa padam kapan saja. Bau-bau aneh tercium dari setiap sudut. Kedua lelaki itu duduk di atas tikar berwarna merah yang terhampar di tengah ruangan.
“Oh, ya. Siapa namamu?” tanya si tua sambil duduk bersila.
“Carsedi, panggil saja Charles,” matanya memandang ke seisi rumah. “Emm, rumah ini hanya memiliki satu ruangan?”
“Ya. Aku melakukan semuanya di sini. Tidur, makan, bekerja, mandi, dan ... jangan tanya!”
“Pantas saja dari tadi saya mencium bau tidak sedap.”
“Jangan salah! Itu bau kemenyan, untuk menyamarkan bau yang lain.”
“Hmm, kata orang Ki Elang ini dukun yang sangat sakti.”
Ki Elang tekekeh, “Kalau memang aku sehebat itu, rumah ini tidak akan sepi pengunjung seperti sekarang.”
Charles tersenyum, “Saya suka dengan gaya Aki. Selama ini semua dukun yang saya temui cuma besar di mulut, padahal kemampuannya tidak ada.”
“Syukurlah kalau kau percaya padaku. Kepercayaan memang penting dalam sebuah pekerjaan. Tunggu sebentar!” Ki Elang pergi ke belakang, lalu segera kembali dengan membawa segelas air, “Ini, silakan diminum!”
Charles mengambilnya. Sesaat sebelum ia minum, ia mencium bau tak sedap dari dalam gelas yang cukup untuk membuatnya tidak jadi minum.
“Terima kasih. Saya lupa kalau hari ini sedang berpuasa,” ucapnya berbohong.
“Sayang sekali, padahal itu ramuan pemanggil jodoh,” ujar Ki Elang
Tanpa pikir panjang, Charles segera meminum ramuan itu sambil menahan napas dan berusaha agar tidak muntah. Ia meminumnya sampai habis. Ki Elang pun kembali terkekeh.
“Aku bercanda. Itu cuma air yang kuambil dari empang di belakang.”
Tanpa pikir panjang, Charles segera memuntahkannya kembali.
“Ya sudah. Cukup bercandanya. Sekarang ayo kita segera pergi menemui gadis yang kau bilang tadi!” sahut Ki Elang.
“Tunggu tunggu. Kita berdua akan menemuinya?” tanya Charles sambil melap mulutnya.
“Tentu saja! Kau pikir aku akan menyantetnya lewat foto? Berpikirlah lebih rasional!”
Mereka berdua segera naik mobil putih kusam milik Charles dan langsung berangkat menuju tempat di mana ‘target’ sedang berkerja.
“Jadi, apa rencana kita?” tanya Charles sambil terus menyupir dengan raut tidak sabar.
“Sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Apa kau pernah mendengar tentang pembacaan aura?”
“Ya, saya pernah dengar. Tentang warna-warna yang terpancar dari tubuh seseorang yang mewakili kepribadiannya bukan?”
“Tepat sekali. Setiap orang memiliki auranya masing-masing. Aura primer menggambarkan watak utama dari orang tersebut yang tidak bisa berubah, sementara warna-warna yang lainnya bisa berubah-ubah tergantung pada sifat, perilaku, dan keinginannya.”
“Oke, lalu?”
“Di amerika telah ditemukan alat yang bisa menangkap sinyal aura ini sehingga kita bisa membacanya dengan sangat mudah. Harganya sangat mahal, kau tidak akan sanggup membelinya walaupun kau menjual mobil ini bersama dirimu di dalamya. Nah, untungnya, aku memiliki mata yang sudah dilatih, sehingga aku bisa menangkap warna-warna itu tanpa menggunakan alat.”
“Apa? Aki bercanda?”
“Aku tidak pernah seserius ini sejak pernikahanku yang pertama.”
“Bagaimana dengan pernikahan Aki yang berikutnya?”
“Tidak penting. Nah, kita bisa menggunakan kemampuanku ini untuk mengetahui bagaimana watak, karakter, dan kesukaan wanita incaranmu itu untuk mendapatkan hatinya. Bagaimana menurutmu?”
“Waahh, sepertinya itu rencana yang sengat hebat!!” Charles berseri-seri.
Mobil Charles berhenti sebentar karena lampu merah. Dua detik kemudian, lampu berubah hijau dan mobil pun kembali berjalan. Pembicaraan berlanjut.
“Seperti apa kelihatannya aura itu, Ki?” tanya Charles.
“Tidak ada bedanya dengan warna-warna yang biasa kau lihat sehari-hari. Merah, kuning, biru, coklat, warna-warna itu bisa tertangkap oleh alat yang kubicarakan tadi. Bedanya denganku hanyalah, mataku bisa melihatnya tanpa alat karena sudah terlatih. Semua ini murni sains, ilmiah, tidak ada sihir sama sekali,” tutur Ki Elang.
“Emm... Ki, coba Aki baca auraku. Bagaiamana kepribadianku?”
“Coba kulihat sebentar!”
Wajah Ki Elang berubah serius. Matanya tajam, terus menatap Charles tanpa berkedip sedikitpun.
“Kau memiliki aura dasar cokelat. Itu tandanya kau serius ketika melakukan sebuah pekerjaan. Selain itu aku melihat warna kuning, itu tandanya kau pria yang bersukacita dan suka kebebasan. Kau juga kreatif dan memiliki ide-ide yang unik dan cerdik. Aku kurang begitu yakin yang dimaksud di sini cerdik ataukah licik.”
“Cukup cukup, Ki!” potong Charles dengan tiba-tiba. Aku sudah percaya dengan kemampuan Aki, semuanya cocok...,” wajahnya terlihat semakin gembira. “Ternyata Aki lebih hebat dari kelihatannya.”
“Tentu saja, dan kau lebih bodoh dari kelihatannya. Haha!!” Ki Elang tertawa terbahak dengan suaranya yang serak. “Aku cuma begurau, Jeremy.”
“Nama saya Charles.”
“Terserah.”
Mobil putih kusam itu pun melaju dengan sangat cepat. Seakan sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk segera menjalankan misi dari orang yang sedang mengendarainya. Hanya dalam beberapa menit mereka sampai di tempat tujuan.
“Ya, ampun! Aku lupa, HP-ku tertinggal di rumah sakit tadi pagi,” Ki Elang menepuk jidat. “Semua catatan tentang penjelasan dari setiap warna ada di sana.”
“Apa? Memangnya Aki tidak ingat arti dari masing-masing warna itu?”
“Terlalu banyak warna, aku tidak bisa mengingatnya satu persatu.”
“Lalu, sekarang bagaimana? Kita ke rumah sakit dulu saja.”
“Tidak, tidak usah. Aku bisa melakukan telepati untuk meminta dokter di sana membawanya ke sini.”
“Telepati? Memangnya itu bisa dilakukan?”
“Pastinya. Tubuh kita bisa menghasilkan listrik bukan? Kita bisa mengumpulkan listrik di otak kita, saat itulah kita bisa menyampaikan sinyal di pikiran kita kepada seseorang lewat magnet yang ada di dalam perut bumi ini sebagai penghantarnya, dan orang itu akan melakukan yang kita inginkan.”
“Woow! Kelihatannya sangat menarik.”
“Tapi kita tidak bisa melakukannya terus-menurus. Efeknya akan hilang dalam beberapa menit karena daya listriknya sudah semakin melemah.”
“Aki tahu, sebenarnya Aki bisa menghasilkan banyak uang dengan cara ini.”
“Kalau melakukan ini terlalu lama, kepalaku akan pusing. Selain itu, aku tidak mau melakukannya untuk kejahatan.”
“Luar biasa! Sepertinya Aki lebih cocok menjadi seorang ilmuwan ketimbang dukun.”
“Aku tidak bisa menjadi ilmuwan. Lagipula, jadi ilmuwan tidak menyenangkan. Ilmuwan boleh salah, tapi tidak boleh berbohong,” Ki Elang lafi-lagi terkekeh.
“Apapun itu, yang penting Aki senang. Selagi Aki memanggil dokter itu kemari, saya akan mengatur pertemuan dengan target kita. Dia seorang General Manager. Cukup sulit bertemu dengannya. Dia akan keluar dalam beberapa menit. Selagi dia keluar, segera baca auranya ya Ki.”
“Siap!!”
Charles masuk ke dalam kantor tempat ‘targetnya’ bekerja untuk mengatur pertemuan dengannya. Sementara Ki Elang baru saja menyelesaikan telepatinya. Sekarang dia sedang menunggu kedatangan seorang dokter yang akan mengembalikan HP-nya. Beberapa menit kemudian, Charles dan ‘targetnya’ keluar dari kantor untuk mengobrol sebentar, tidak sampai 2 menit. Pada saat itu Ki Elang pun melakukan pekerjaannya membaca aura pada jarak yang cukup jauh. Setelah wanita itu masuk, Charles kembali menghampiri Ki Elang.
“Bagaimana Ki? Sudah dapat?”
“Beres! Hei, Nak. Wanita itu benar-benar cantik dan montok ya!”
“Namanya Angelina. Ya, selain cantik dia juga kaya, dan juga janda,” Charles tersenyum.
Tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam menghampiri mereka. Seseorang berpakaian dokter keluar dari mobil itu. Wajahnya kelihatan datar, seperti dihipnotis. Dokter itu memberikan HP kepada Ki Elang, lalu pergi begitu saja.
“Tunggu, aku kenal dengan pria itu. Dia temanku, Dokter Sukiman,” teriak Charles.
“Benarkah? Sepertinya itu tidak penting,” sergahKi Elang sambil memainkan HPnya. Dia sibuk mencari catatan tentang warna yang terpancar dari tubuh Angelina. “Ketemu! Aura dari Angelina adalah ungu. Itu menjelaskan kalau dia ternyata seorang janda.”
“Kan sudah kubilang dari awal!” sahut Charles.
“Selain itu, aku melihat warna hijau. Dia orang yang sangat menjaga kesehatannya dan sangat pilih-pilih makanan. Dia seorang vegetarian.”
“Ya ampun! Pantas saja dia selalu menolak saat kuajak pergi makan ke KFC dan Pizza Hut. Setelah itu kupikir dia cinta makanan Indonesia, lalu kuajak dia ke warung sate. Eh, dia malah menolak juga. Ternyata dia herbivora.”
“Tunggu dulu, masih ada! Dia orangnya tenang, bersahabat, cinta kebersihan, dan mencintai lingkungan alam. Beri dia hadiah sepeda, aku yakin dia akan langsung jatuh hati padamu.”
“Wah, Ki Elang memang hebat. Terima kasih banyak ya, Ki. Urusanku sudah selesai. Ini, aku kasih setengah dari pesangon gajiku, jumlahnya 25 juta,” Charles memberikan 5 buah kantung pelastik yang berisikan uang dari bagasi mobilnya.”
“Luar biasa!” Ki Elang tersenyum merekah. “Setelah ini aku akan ke luar negeri.”
Mereka berdua bersalaman. Keduanya memiliki wajah yang sangat bahagia. Keduanya sama-sama puas. Charles mendapatkan yang dia mau, Ki Elang mendapatkan lebih dari yang dia mau.
“Semoga lain kali kita bertemu lagi ya, Ki...,” teriak Charles.
“Ah, aku tidak berharap itu terjadi,” Ki Elang tertawa. “Baiklah, semoga beruntung, Nak. Aku pergi dulu.”
“Baiklah, Ki. Hati-hati!"
Ki Elang pergi naik taksi menuju bandara untuk berlibur ke luar negeri. Sementara Charles mulai melakukan misinya. Ia pergi untuk membeli sepeda merk terbaru. Keesokan harinya, dia kembali mendatangi kantor tempat Angelina bekerja sebagai General Manager dengan membawa kejutannya. Charles juga berhasil mengatur pertemuan dengannya. Angelina dibawa keluar dengan mata tertutup. Setelah tiba di tempat kejutan, Charles membuka penutup matanya dan berteriak.
“Surprise!!”
Angelina terkejut setengah mati dan hampir tidak percaya dengan apa yang terlihat di depan matanya. Seseorang akhirnya memberikan hadiah itu. Angelina pun mengutarakan ketidakpercayaan itu.
“Apaan-apaan ini? Kau mengambil 10 menitku yang berharga hanya untuk ini?!!”
Charles bungkam. Tak mengerti. “Epp, Angel, Angelina. Kupikir ....”
“Ya ampuunn!!! Kalau kau ingin mengambil hatiku, setidaknya kau berikan aku mobil! Tunggu, jangan beri aku mobil! Garasiku sudah tidak muat lagi. Beri saja aku pesawat terbang atau pulau pribadi.”
“Aku … Aku tidak mengerti. Kupikir … Kupikir …” Charles gelagapan.
“Kau pikir apa? Jangan berlagak berpikir!” Angelina beranjak pergi.
“Tunggu! Angelina, tunggu dulu! Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Ada apa lagi?”
“Aku ingin mengajakmu makan siang.”
“Benarkah? Kau akan mengajakku makan di mana? Restoran Itali? Prancis? Tapi, aku sedang ingin makan steak hari ini.”
“Aku, aku bermaksud mengajak kamu ke rumah makan vegetarian.”
Angelina naik pitam. Wajahnya menjadi merah padam. Ia melangkah cepat menghampiri Charles, diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi, dan ….
PLAAAKKKKK!!!!!!
Terdengar suara tamparan yang begitu keras. Charles tidak sempat melihatnya. Dia hanya merasakan rasa nyeri dan panas yang luar biasa di pipinya. Ketika dia membuka mata, dia melihat Angelina sedang mentapnya dengan mata yang melotot dan berkata:
“Kau pikir aku kambing?! Hah? Jangan pernah temui aku lagi, Martin!”
Angelina pergi meninggalkannya seorang diri. Charles sudah tidak sanggup lagi menahan teriakan yang akan keluar dari mulutnya.
“Namaku Charleeeess!!!!!”
***
“Halo, Dokter Sukiman?” telpon Charles kepada temannya.
“Halo, Charles. Apa kabar?”
“Sangat buruk.”
“Oh, maafkan saya sudah bertanya.”
“Lupakan saja. Sebetulnya, ada yang ingin saya tanyakan. Apakah anda kenal dengan Ki Elang? Dukun tua yang rumahnya tidak terawat itu?”
“Ooh, saya kenal dia. Dua hari yang lalu dia juga datang ke rumah sakit. Memangnya kenapa Charles?”
“Saya cuma ingin bertanya. Sebenarnya, dia itu siapa sih, Dok? Dia dukun, tapi terkadang gayanya seperti seorang ilmuwan.”
“Begini cerintanya. Sebenarnya, dulunya dia memang ilmuwan. Namun ketika remaja, ia mengidap suatu kelainan yang membuatnya tidak bisa tetap menjadi seperti itu. Akhirnya ia beralih profesi menjadi dukun.”
“Memang kenapa dia …,” Charles tidak meneruskan kalimatnya, “… ah, itu tidak penting! Emm ... Begini, dokter. Dia mengatakan kepada saya kalau dia bisa membaca warna-warna yang terpancar dari tubuh manusia.”
“Ya, dia memang sudah ahli dalam bidang itu.”
“Betulkah? Lantas kenapa dia salah?”
“Sebentar, sebentar! Ada apa sebenarnya? Saya kurang begitu mengerti.”
“Saya baru saja meminta dia untuk membaca aura seseorang, dan ternyata analisis dia salah. Saya jadi merasa tertipu olehnya. Kesal sekali!”
“Ah, iya! Hampir saja lupa. Ada satu hal lagi tentang Ki Elang yang sangat penting.”
“Apa itu, Dok?
“Saya sudah bilang kalau dia mengidap sebuah kelainan bukan? Mungkin itulah yang menyebabkan dia salah membaca warnanya.”
“Memangnya, apa yang salah dengan dukun itu?”
“Dia menderita buta warna parsial.”
“Hah? Maksudnya?”
“Dia tidak bisa membedakan antara warna merah dengan dengan hijau.”
  
                                                                   ===TAMAT===

No comments:

Post a Comment