![]() |
gambar: pandasurya.wordpress.com |
Mona sudah tiada. Ya, Mona sudah lama meninggal dunia. Entah kenapa separuh dari pikiranku sudah merasa semuanya akan berakhir seperti ini. Aku seperti orang yang terus saja berharap agar hujan tidak turun, padahal langit sudah begitu mendung. Entahlah…, Sisa dari ingatan-ingatan itu masih ada, tercerai berai. Ada sesuatu di dalam diriku yang tidak mau aku mengingatnya.
Selama
di perjalanan pulang, seharusnya aku tidak terlalu banyak bertanya kepada Ale.
Aku memang berduka. Aku memang menangis. Seharusnya aku membiarkan semuanya
tetap seperti ini untuk sementara waktu. Tapi aku tak bisa. Aku tak sanggup
menahan diri dari teka-teki yang terus berputar-putar di kepalaku. Kehilangan
Mona memang sangat menyedihkan, tapi ketidaktahuanku tentang kematian Mona
lebih menyakitkan.
“Ale,
bagaimana Mona meninggal?”
“Mona
adalah korban tabrak lari, Tom. Begitu yang kudengar.”
“Tabrak
lari? Bagaimana dengan pelakunya? Sudah ketemu?”
“Pelakunya
sudah ditangkap. Sekarang dia sedang dikurung di dalam penjara.”
“Siapa
yang melakukannya? Maksudku, apa ada hubungannya dengan Mona?”
“Sepertinya
tidak. Kejadian ini murni kecelakaan.”
Tidak.
Bukan seperti itu. Bukan itu yang kuingat. Ada yang tidak beres. Ini tidak
benar. Aku merasa bahwa aku ada di sana ketika semua itu terjadi. Mona meminta
tolong padaku. Selain itu, waktu meninggal Mona adalah dua bulan yang lalu,
sama ketika aku mengalami koma. Ya Allah, apa mungkin kalau ini bukanlah
kecelakaan? Bagaimana kalau ini adalah sebuah tindakan yang disengaja, dan
pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana?
Jika
begitu, pastilah yang melakukannya adalah seseorang yang menaruh dendam kepada
Mona, atau malah kepada kita berdua. Tapi, siapa? Apa yang terjadi pada waktu
itu? Aaarrgghh …, sialan! Kenapa aku bisa lupa! Dan kenapa pula aku jadi
koma?! Semuanya makin bertambah buruk saja. Aku harus segera mengetahuinya.
Aku
baru sampai di rumah malam hari. Setibanya di sana, aku melihat ada sebuah
motor gede terparkir di halaman. Aku pernah melihat motor ini sebelumnya. Aku
pun mengintip ke ruang tamu. Benar saja, pria itu datang lagi. Pak Slamet. Aku
pun berniat untuk tidak segera masuk, aku menguping pembicaraan ibu dan Pak
Slamet dari luar jendela.
“Tapi
Pak, dia baru saja sembuh. Bagaimana kalau kita menunggu beberapa hari lagi,”
ibu memohon. Wajahnya kelihatan agak cemas.
“Menunggu
sampai kapan lagi Bu? Saya harus segera menyelesaikan masalah ini. Ibu tidak
ingin mendapat masalah kan?” bentak Pak Slamet.
Mendengar
Pak Slamet berkata seperti itu kepada ibu, aku tidak bisa tinggal diam. Aku pun
masuk, lalu meminta Pak Slamet untuk segera pergi dari rumah.
“Maksud
Bapak apa bicara seperti itu kepada Ibu? Saya minta Bapak keluar sekarang juga!
Cepat!” perintahku dengan nada keras.
“Tomi?
Sejak kapan kamu pulang?” tanya ibu khawatir. Pak Slamet hanya menatap terkejut
padaku. Mungkin dia masih belum percaya kalau anak ingusan sepertiku berani
mengusirnya seperti itu.
“Sepertinya
kamu sudah baikan, Tomi. Sangat kelihatan dari cara kamu mengusir saya,” ucapnya.
Aku masih tetap menatapnya dengan telunjukku mengarah ke pintu keluar. Pak
Slamet pun akhirnya pergi setelah pamit kepada ibu. Wajah ibu masih kelihatan
cemas.
“Bu,
Pak Slamet ini siapa sih? Apa maunya dia?” tanyaku. Ibu langsung membuang muka
lalu masuk ke dalam kamar. Isyarat bahwa aku tidak boleh bertanya lebih jauh.
Aku pun hanya membiarkannya. Aku tidak mau ikut campur ke dalam urusan yang
tidak aku mengerti. Pertama Mona, sekarang Pak Slamet, lalu setelah ini apa?
Aku tidak mau menambah masalah lagi. Lebih baik sekarang aku tidur,
mempersiapkan segalanya untuk pergi ke Sumedang besok pagi, untuk bertemu
dengan ibunya Mona.
***
Pagi
ini, semuanya berjalan normal. Raut wajah ibu tenang seperti biasanya,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi malam. Setelah sarapan, aku mencium
tangan ibu lalu pamit untuk pergi ke sekolah.
“Tomi
berangkat Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,“
jawab Ibu sambil tersenyum. Maafkan aku Bu. Maaf kalau aku mengkhianati
kepercayaanmu terhadapku. Hari ini aku tidak akan pergi ke sekolah. Ada sesuatu
yang harus segera kuselesaikan.
Kebun
di belakang sekolah, di sinilah aku berada sekarang. Datarannya naik menyerupai
sebuah bukit kecil. Suasananya teduh dipenuhi oleh berbagai macam pohon buah.
Sisinya berbatasan langsung dengan jalan raya. Di sini aku biasa menghabiskan
waktu bersama Mona, walau hanya untuk melihat-lihat pemandangan di bawah,
menonton suasana ramai orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang, atau
sekedar menikmati semilir angin yang berhembus segar. Aku masih bisa merasakan
saat-saat yang sangat berharga itu. Seakan-akan Mona masih berada di sini,
seakan-akan aku masih bisa melihatnya ketika aku menengok ke belakang. Mona
berada di sana dengan napas yang terengah-engah.
“Hahh
... Hahh … Hahhh … Tom!
Hahh ... Hahh ... Maaf Tom, aku telat lagi.” ucap Mona dengan
nafas terengah.
Aku
tidak menjawabnya. Aku hanya memjamkan mataku, mencoba menikmati hembusan angin
yang menerpa permukaan tubuhku. Lalu punggungku merasakan sesuatu. Ya, itu
Mona, sedang memelukku dari belakang.
“Tomi
…,” panggil Mona dengan lembut. Aku masih tidak menjawab, aku sedang menunggu
kata-kata yang akan ia keluarkan selanjutnya.
“Di
saat-saat seperti ini, aku selalu merasa takut.”
Aku
tertegun sejenak, lalu bertaya kepadanya.
“Apa
yang kamu takutkan Mona?”
“Aku
takut untuk melepaskan pelukan ini. Aku takut jika aku melepaskannya, mungkin
ini adalah terakhir kalinya aku bisa memelukmu.”
Pelukan
Mona semakin erat. Aku menggenggam telapak tangannya yang melingkar di perutku.
Menikmati momen yang sedang berlangsung saat ini. Kami jarang sekali memiliki
waktu berdua. Ibunya Mona, Ibu Rima, dari awal memang tidak pernah menyetujui
hubungan kami. Entah apa masalahnya. Semuanya sudah kulakukan untuk membuatnya
percaya. Mulai dari berhenti merokok, mengubah gaya bicaraku, mengubah gaya
berpakaianku, mengubah sikapku, aku seperti bukanlah diriku yang sebenarnya.
Aku tidak tahu lagi harus bagaimana untuk mengambil hati ibunya Mona itu. Aku
sudah lelah menjadi orang lain.
“Tomi,
kita tidak akan berpisah kan? Kita akan tetap bersama kan?” tanya Mona sambil
tetap memelukku. Suaranya pelan dan lemah.
“Tentu
Mona. Tentu saja.”
“Kita
akan tumbuh bersama kan? Dewasa bersama, tua bersama?”
“Aku
berjanji padamu, tidak ada yang bisa memisahkan kita.”
“Apapun?
Aku
membalikkan badan. Mengecup keningnya yang lembut, lalu berkata dengan yakin
“Apapun.”
Tiba-tiba
aku tersadar. Semua lamunan itu lenyap, bagai setumpuk debu yang tertiup angin.
Menghilang entah ke mana. Semuanya berlalu begitu cepat. Tiba-tiba, kepalaku
merasakan sakit yang luar biasa.
“Aaaaaahhh!!”
Tubuhku
terjatuh. Beruntung lututku masih sanggup menahannya. Aku menaruh kedua
tanganku di kepalaku yang berdenyut-denyut. Ngilu sekali. Aku tidak bisa
mendengar apa-apa. Yang kudengar hanyalah bunyi ngiiiiinnnggggg… yang
sangat panjang. Seperti suara klakson yang bergitu keras. Semuanya terlihat
berputar-putar. Aku melihat seseorang sedang berlari dari kejauhan. Seorang
wanita, dia sedang berlari ke arahku. Aku memperkuat otot penglihatanku dan
mencoba mengenalinya. Mona? Apakah itu Mona? Aku berusaha sekuat tenaga untuk
bangun dan menghampirinya.
“Mona!
Mona!!” panggilku. Wanita itu semakin mendekat. Aku semakin bisa melihatnya
dengan jelas. Wanita itu menyentuh wajahku. Dia kelihatan sedang mengatakan
sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Aku masih terus menatap wajahnya.
Tidak salah lagi, dia adalah Mona. Dia memanglah Mona. Aku membalas menyentuh
wajahnya dengan kedua tanganku. Namun seketika, wajah itu berubah. Aku
melihatnya sekali lagi.
“Sasha?”
Perlahan-lahan
aku mulai bisa mendengar suaranya. Awalnya sayup-sayup, tapi lama kelamaan
semakin jelas. Bersamaan dengan rasa sakit di kepalaku yang mulai menghilang.
“Tomi,
apa yang terjadi?”
Suara
Sasha, aku sangat mengenalinya. Seharusnya aku sudah tahu itu.
“Apa
yang terjadi Tom? Kenapa kamu di sini?”
Aku
pun menangis, lagi. Aku memang lemah. Aku belum sanggup menerima semuanya. Aku
benar-benar bodoh. Sebagai lelaki, aku telah gagal melindungi Mona. Ketika
sesuatu yang sangat penting terjadi pada Mona, aku malah tertidur. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanyalah menyesali semuanya.
“Mona
….” air mataku menetes lagi.
“Tomi
apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu tidak sekolah?” tanya Sasha. Aku
tidak merespon apa-apa. Aku hanya melakukan satu-satunya hal yang bisa
kulakukan. Menangis.
“Mona
…!!!” aku berteriak. Air mataku mengalir kian derasnya.
“Tomi,
bangun Tom! Sadarlah, Mona sudah pergi! Apapun yang kamu lakukan, tidak akan
membuat dia hidup lagi!!”
“Aku
tahu, Sha. Aku hanya ingin meluruskan semuanya. Aku tidak sanggup kalau terus
begini, ini sangat menyiksaku.”
“Aku
tidak mengerti padamu. Sebenarnya apa sih istimewanya si Mona itu,
sampai-sampai kamu menanggapinya seperti ini?”
Aku
terkejut mendengar apa yang barusan diucapkan Sasha. Apa mungkin aku salah
dengar?
“Apa
kamu bilang?” tanyaku meyakinkan.
“Semenjak
ada Mona, kamu tidak pernah lagi menganggap aku dan Ale, sahabatmu sendiri. sahabatmu
dari kecil hingga sekarang. Orang yang selalu peduli padamu. Orang yang sudah
lelah mendengar ocehan dan rengekanmu tentang perempuan itu, perempuan yang
sudah membuatmu seperti bukan dirimu lagi itu! Orang mati yang terus saja kau
pentingkan urusannya lebih dari siapapun!”
Plaaakkkk!!!
Sasha
sudah keterlaluan. Aku tidak tahan lagi menahan amarahku padanya. Tanganku
bergerak begitu saja, menamparnya tepat di pipi kirinya. Sasha masih terdiam
sambil memegangi pipinya yang memar. Suara tangisan mulai terdengar darinya.
Kemudian matanya yang merah berlinang itu menatapku dalam. Sebelum pergi, dia
berkata kepadaku dengan suara yang parau.
“Kau
tahu Tom? Ketika aku tahu bahwa Mona sudah mati, tidak ada perasaan sedih padaku
sedikitpun!”
Bersambung ....
No comments:
Post a Comment