Tidak ada tempat yang lebih
menyeramkan di negeri ini selain Kampung Pembunuh. Ketika seorang pria diminta membunuh
dengan bayaran sebungkus rokok adalah hal yang lumrah, ketika para pemuda
pengangguran bermain kartu dan yang kalah harus membawa jantung seseorang dari
kampung tetangga adalah hal yang wajar, ketika anak-anak kecil bermain bola
dengan sebuah kepala yang masih basah adalah pemandangan biasa. Namun
setidaknya, Kampung Pembunuh memiliki peraturan yang sangat dipatuhi oleh para
warganya, tidak boleh membunuh orang yang berasal dari kampung sendiri. Mereka pun
hidup dengan damai di dalam kebodohan mereka.
Suatu hari, diadakan
sebuah pemilihan kepala desa di sana. Sistemnya mirip dengan perlombaan. Siapa
yang berhasil membunuh paling banyak, dialah pemenangnya. Peraturannya adalah,
tubuh korban harus tetap utuh, tidak boleh ada bagian yang terpisah, juga tidak
diperkenankan membunuh menggunakan senjata api. Setelah membunuh, si calon
harus menuliskan nomor urutnya di jidat korbannya.
Sampai pada waktu yang
ditentukan, penghitungan pun dimulai. Seluruh warga dikumpulkan di lapangan.
Kedua calon berdiri di depan dengan tumpukan mayat di samping mereka. Panitia
telah siap dengan segala alat hitungnya dan mulai mengecek nomor yang berada di
kening mayat-mayat itu.
“Satu!”
“Sah!”
“Dua!”
“Sah!”
“Dua!”
“Kaki buntung, tidak
sah!”
Dan seterusnya hingga
ternyata total dari calon 1 ada 98 orang dan calon 2 ada 99 orang. Tepuk tangan
dari pendukung nomor 2 pun riuh menyambut berita bahagia tersebut. Mereka tidak
menyangka jagoannya menang dengan selisih tipis. Namun tiba-tiba, calon 1
mengangkat tangan.
“Interupsi! Saya bisa
buktikan bahwa ibu ini sedang mengandung. Dengan membunuhnya, sebenarnya saya
sudah membunuh dua orang. Bukan begitu?” tuturnya sembari tangannya menyentuh
korban yang dimaksud.
Panitia pun mengecek
kebenarannya, dan ternyata hasilnya positif. Sang ibu sedang mengandung.
“Poin untuk satu,
sah!”
Kali ini giliran
pendukung calon 1 yang ramai bertepuk tangan. Sekarang keadaannya seimbang. 99
- 99. Namun mengingat calon 2 adalah orang yang gila kekuasaan, dia pun
mengajukan interupsi.
“Saya akan membunuh
satu orang lagi untuk menggenapi angka saya. Boleh kan?” tanyanya.
“Boleh, tapi kau tidak
boleh keluar kampung ini karena batas waktunya sudah habis. Tidak mungkin
bukan? Bagaimana kau melakukannya?” balas seorang panitia.
Si calon 2 terdiam
sejenak. Dia mengambil spidol, lalu menuliskan angka 2 di keningnya sendiri.
Setelah itu dia mengeluarkan sebilah pisau yang kemudian ditancapkan ke
jantungnya sendiri. Dengan ini, sudah ditentukan. Pemenangnya adalah calon
nomor 2. Mayoritas warga kampung ini memang bodoh. Mereka pun bertepuk tangan
atas kemenangan jagoan mereka. Salah seorang panitia yang paling pintar pun
berkomentar sambil tertawa.
“Dasar bodoh! Dengan
begitu, dia tidak bisa menjadi kepala desa.”
“Kenapa tidak?” tanya
seseorang di sebelahnya.
“Dia baru saja membunuh
warga kampung sendiri, bodoh! Itu tidak dibenarkan!”
==TAMAT==
No comments:
Post a Comment