Sunday, 13 July 2014

Kampung Pembunuh




Tidak ada tempat yang lebih menyeramkan di negeri ini selain Kampung Pembunuh. Ketika seorang pria diminta membunuh dengan bayaran sebungkus rokok adalah hal yang lumrah, ketika para pemuda pengangguran bermain kartu dan yang kalah harus membawa jantung seseorang dari kampung tetangga adalah hal yang wajar, ketika anak-anak kecil bermain bola dengan sebuah kepala yang masih basah adalah pemandangan biasa. Namun setidaknya, Kampung Pembunuh memiliki peraturan yang sangat dipatuhi oleh para warganya, tidak boleh membunuh orang yang berasal dari kampung sendiri. Mereka pun hidup dengan damai di dalam kebodohan mereka.
Suatu hari, diadakan sebuah pemilihan kepala desa di sana. Sistemnya mirip dengan perlombaan. Siapa yang berhasil membunuh paling banyak, dialah pemenangnya. Peraturannya adalah, tubuh korban harus tetap utuh, tidak boleh ada bagian yang terpisah, juga tidak diperkenankan membunuh menggunakan senjata api. Setelah membunuh, si calon harus menuliskan nomor urutnya di jidat korbannya.
Sampai pada waktu yang ditentukan, penghitungan pun dimulai. Seluruh warga dikumpulkan di lapangan. Kedua calon berdiri di depan dengan tumpukan mayat di samping mereka. Panitia telah siap dengan segala alat hitungnya dan mulai mengecek nomor yang berada di kening mayat-mayat itu.
“Satu!”
“Sah!”
“Dua!”
“Sah!”
“Dua!”
“Kaki buntung, tidak sah!”
Dan seterusnya hingga ternyata total dari calon 1 ada 98 orang dan calon 2 ada 99 orang. Tepuk tangan dari pendukung nomor 2 pun riuh menyambut berita bahagia tersebut. Mereka tidak menyangka jagoannya menang dengan selisih tipis. Namun tiba-tiba, calon 1 mengangkat tangan.
“Interupsi! Saya bisa buktikan bahwa ibu ini sedang mengandung. Dengan membunuhnya, sebenarnya saya sudah membunuh dua orang. Bukan begitu?” tuturnya sembari tangannya menyentuh korban yang dimaksud.
Panitia pun mengecek kebenarannya, dan ternyata hasilnya positif. Sang ibu sedang mengandung.
“Poin untuk satu, sah!”
Kali ini giliran pendukung calon 1 yang ramai bertepuk tangan. Sekarang keadaannya seimbang. 99 - 99. Namun mengingat calon 2 adalah orang yang gila kekuasaan, dia pun mengajukan interupsi.
“Saya akan membunuh satu orang lagi untuk menggenapi angka saya. Boleh kan?” tanyanya.
“Boleh, tapi kau tidak boleh keluar kampung ini karena batas waktunya sudah habis. Tidak mungkin bukan? Bagaimana kau melakukannya?” balas seorang panitia.
Si calon 2 terdiam sejenak. Dia mengambil spidol, lalu menuliskan angka 2 di keningnya sendiri. Setelah itu dia mengeluarkan sebilah pisau yang kemudian ditancapkan ke jantungnya sendiri. Dengan ini, sudah ditentukan. Pemenangnya adalah calon nomor 2. Mayoritas warga kampung ini memang bodoh. Mereka pun bertepuk tangan atas kemenangan jagoan mereka. Salah seorang panitia yang paling pintar pun berkomentar sambil tertawa.
“Dasar bodoh! Dengan begitu, dia tidak bisa menjadi kepala desa.”
“Kenapa tidak?” tanya seseorang di sebelahnya.
“Dia baru saja membunuh warga kampung sendiri, bodoh! Itu tidak dibenarkan!”
==TAMAT==

No comments:

Post a Comment