Sunday 27 December 2015

Penyihir Ozan

gambar: 123rf.com
Zaman dahulu kala – sebenarnya hanya kemarin, hiduplah seorang laki-laki yang bernama Darmaji. Darmaji tinggal sendirian di rumahnya yang terbuat dari rangkaian ranting pohon yang dia kumpulkan dari hutan. Ketika musim hujan, rumahnya akan kebasahan karena air bisa meresap melalui atap yang terbuat dari daun kelapa. Ketika musim panas, jika sedang kurang beruntung – dan itulah yang biasanya terjadi – rumahnya mengalami kebakaran sehingga dia pun harus membuat rumah yang baru. Hal ini terjadi hampir setiap tahun. Ketika rumah orang lain dipenuhi dengan perabot dan berangkas penyimpan uang, rumah Darmaji hanya dipenuhi oleh kotoran ayam tetangga.
“Hidup memang tidak adil!” keluh Darmaji. “Atau mungkin, Tuhan yang tidak adil?” pikirnya lagi. “Tapi hidup ini kan Tuhan yang mengatur. Aaakh!!! Pusing aku.”
Begitulah, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menyalahkan sang pengatur alam semesta. Darmaji tidak pernah benar-benar ingin bekerja, karena dia selalu percaya rejeki sudah ada yang mengatur. Hingga pada suatu hari, dia sudah tidak tahan lagi untuk menatap langit dan menunggu uang yang tidak jelas kapan jatuhnya.
“Aku akan pergi menemui seorang penyihir dan memintanya untuk membuatku kaya,” sentaknya dalam hati.
Didorong oleh tekadnya yang kuat untuk mendapatkan uang, Darmaji pun berangkat dari rumahnya yang kumuh dan masuk ke dalam hutan untuk menemui sang penyihir. Kabar burung mengatakan, penyihir ini, penyihir Ozan, sangat sakti dan juga bijaksana. Bahkan orang-orang pun banyak yang datang kepadanya hanya untuk meminta nasehat. Darmaji sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengannya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Darmaji mendengar suara auman yang sangat keras hingga burung-burung di sekitarnya pergi beterbangan. Suara itu sangat dekat darinya. Darmaji menghentikan langkah sejenak, kemudian kembali berjalan dengan perlahan dengan mata yang awas. Kemudian, dia melihat seekor harimau besar yang sedang terbaring di tanah sambil menangis sesunggukan. Harimau itu terlihat lemas. Walaupun ukurannya besar, tetapi dia sangat kurus. Ternyata auman tadi adalah auman kesedihan dari sang harimau.
“Selamat pagi, tuan harimau!” Darmaji memberi salam.
Harimau itu menoleh ke arah Darmaji, kemudian menjawab salamnya. “Ah, selamat pagi juga, Tuan!”
“Kalau boleh aku tahu, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau menangis?” tanya Darmaji.
“Begini, Tuan. Aku sudah minum air dari satu danau hingga kering. Aku juga sudah mencoba memakan semua tumbuhan yang ada di hutan ini, bahkan aku juga pernah memakan kayu. Tapi aku tidak pernah merasa kenyang. Perutku selalu kelaparan. Aku tidak tahu harus berbuat apa,” jelas si harimau panjang lebar.
Darmaji berpikir sambil mengusap-usap dagu. Melihat harimau yang itu yang kurus dan tak berdaya, Darmaji merasa kasihan dan sangat ingin membantunya.
“Aha! Begini saja. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah penyihir Ozan. Bagaimana kalau masalahmu ini juga aku tanyakan kepadanya? Mungkin dia bisa membantu.”
Sang harimau pun terkejut sampai-sampai bola matanya membesar. “Kau serius? Kau mau melakukannya untukku?”
“Tentu saja.”
“Oh, terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih. Tolong sampaikan masalahku padanya. Aku akan menunggumu di sini sampai kau kembali,” ucap harimau senang.
Darmaji pun melanjutkan perjalanannya. Cukup lama dia berjalan, tapi rumah penyihir masih jauh. Dia pun mempercepat langkahnya, dan lebih cepat lagi. Hingga tanpa sengaja, Darmaji tersandung pada sesuatu dan membuatnya tersungkur ke tanah.
“Aduh!” Bukan, bukan Darmaji yang mengaduh. Tapi seseorang yang lain. Darmaji yang kebingungan mengedarkan pandang ke sekeliling, tapi dia sama sekali tidak melihat siapa-siapa.
“Hei, di sini! Di bawah sini!” Suara itu tedengar lagi. Setelah menundukkan pandangannya, barulah dia menyadari bahwa suara itu berasal dari sebuah pohon kecil yang ada di dekatnya. Pohon yang telah menyebabkan dirinya tersandung tadi.
“Oh! Halo, pohon kecil. Maaf, aku tidak melihatmu. Aku sedang buru-buru, jadi tidak sempat memperhatikan keadaan di sekitarku,” ucap Darmaji sopan.
“Tidak apa-apa, Tuan. Mungkin ini kesalahanku juga, karena aku terlalu kecil. Kau hampir terluka gara-gara aku,” balas pohon kecil.
“Emm, kalau boleh tahu, jenis pohon apakah kau ini? Aku pernah melihat yang sepertimu sebelumnya, tapi ukurannya jauh lebih … besar,” tanya Darmaji agak ragu, takut melukai hati pohon kecil itu.
“Kau benar, tuan. Kau pasti pernah melihat yang sepertiku, karena sebenarnya aku adalah pohon beringin.”
“Pohon beringin?”
“Ya, aku juga tidak tahu kenapa. Sudah bertahun-tahun aku seperti ini. Ketika teman-temanku tumbuh besar, aku sama sekali tidak mengalami perkembangan. Semua makhluk di hutan ini selalu meledekku, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk merubahnya,” jawab pohon kecil. Suaranya agak bergetar karena menahan tangis.
“Hmm…” Darmaji pun kembali berpikir. “Begini saja. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah penyihir Ozan. Bagaimana kalau masalahmu ini juga aku tanyakan kepada dia? Kau mau? Mungkin dia bisa membantu.”
“Benarkah?” tanya pohon kecil bersemangat. “Kau baik sekali, tuan. Tentu saja aku mau. Tolong tanyakan kepadanya, bagaimana agar aku bisa tumbuh besar seperti teman-temanku.”
“Baiklah! Pasti akan kusampaikan padanya. Aku pergi dulu ya!” pamit Darmaji.
“Terima kasih banyak, Tuan! Hati-hati di jalan ya…!”
Setelahnya, Lelaki itu pun kembali melanjutkan perjalanan. Hari sudah siang, dan matahari sudah berada di puncaknya. Darmaji memutuskan untuk beristirahat sebentar. Dia duduk di atas sebuah batu besar, lalu mengambil persediaan air minumnya. Tanpa disadari, Darmaji merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di kakinya. Lelaki itu spontan mengangkat kakinya dan berjongkok di atas batu tersebut. Dia memperhatikan dengan seksama. Ternyata sesuatu yang bergereak-gerak tadi adalah seekor ular. Namun, setelah diperhatikan lagi, ada yang aneh dengan ular tersebut. Tidak seperti kebanyakan ular pada umumnya yang gemulai, ular itu bergerak dengan kaku. Seperti kesulitan untuk berjalan.
“Oh, ma-afkan a-ku, Tuan! A-a-ku ti-ti-dak bermak-sud untuk me-ngejutkan-mu, apa-la-la-gi menya-kit-timu,” ular itu berbicara dengan terbata-bata. Suara yang keluar pun tidak begitu jelas.
“Fyuuh…” Darmaji menghela, kemudian kembali duduk dengan normal. “Tidak apa-apa kok. Ngomong-ngomong, ada apa denganmu, ular? Kau kelihatan kurang sehat.”
“A-ku ti-tidak ta-hu. A-khir-akhir i-ni a-ku su-lit bi-cara. A-ku ju-juga ti-dak bi-sa ma-ka-kan de-ngan nya-man.” Ular itu berhenti sebentar untuk menarik napas, kemudian dia melanjutkan. “Bah-kan ber-ger-gerak pun aku su-lit.” Ular itu terlihat capek karena terlalu banyak bicara.
“Uh, kau pasti sangat tersiksa. Makhluk yang malang,” Darmaji iba.
“To-long aku, Tu-tuan!” pinta ular itu.
“Begini. Kebetulan aku sedang dalam perjalanan menuju rumah penyihir Ozan. Katanya, penyihir itu sangat sakti. Aku akan membicarakan masalahmu ini dengannya, supaya nantinya dia bisa menolongmu dan kau bisa sembuh lagi. Bagaimana?” jelas Darmaji.
“Wah… Te-terima ka-kas-sih, Tu-tuan. A-aku ber-hu-tang pada-mu.”
“Aah, tidak apa-apa. Aku juga senang kalau bisa membantu. Baiklah, istirahatku sudah selesai. Aku pergi dulu ya, ular.”
Darmaji tak pernah menyangka bahwa di perjalanan ini, dia akan bertemu dengan begitu banyak makhluk yang sedang kesulitan. Setelah berjalan agak lama, akhirnya dia pun tiba di rumah sang penyihir. Dan rupanya, rumah itu sangat jauh berbeda dengan apa yang dia pikiran. Awalnya Darmaji mengira bahwa rumah itu terbuat dari permen. Ternyata itu pondok biasa yang terbuat dari kayu hutan biasa. Darmaji kecewa bercampur lega. Kecewa karena tidak bisa mencicipi permen sebesar rumah yang akan habis dalam waktu bertahun-tahun, lega karena biasanya rumah permen dihuni oleh penyihir jahat. Dengan kata lain, penyihir di dalam pasti panyihir yang baik.
Darmaji sampai di depan pintu dan bersiap untuk mengetuk. Namun tiba-tiba dia mendengar suara orang dari dalam.
“Langsung masuk saja, tidak dikunci kok!”, katanya.
Darmaji awalnya agak kebingungan, tapi dia menuruti saja perintahnya. Dia pun langsung masuk ke dalam rumah kayu itu, dan dia melihat keajaiban itu tepat di depan matanya. Ternyata di dalam sangat luas. Ada taman, ada kolam, bahkan lapangan. Padahal dari luar hanya terlihat seperti gubug biasa. Lelaki itu tecengang tak habis pikir. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh sihir. Rumor itu benar.
“Silakan duduk! Aku sudah tahu kau akan datang,” kata seorang lelaki tua yang sedang duduk bersila di tengah salah satu ruangan. Janggutnya yang putih lebat menjuntai hingga ke perut. Dia memakai baju gamis kebesaran dan topi kerucut yang penuh dengan gambar bintang-bintang. Ya, dia adalah penyihir Ozan yang terkenal itu.
“Penyihir Ozan,” Darmaji tercenung sebentar, “suatu kehormatan bisa bertemu anda,” dia menghampiri sang penyihir untuk menyalaminya. Tapi sang penyihir menolak dan mepersilakan Darmaji untuk duduk.
“Sebenarnya aku sudah tahu maksud kedatanganmu,” lanjut penyihir Ozan, “tapi mungkin akan lebih nyaman kalau kau menceritakannya sendiri padaku.”
Darmaji pun segera menceritakan maksud kedatangannya. Bagaimana dia sangat miskin dan menginginkan uang. Selain itu, dia juga tidak lupa dengan pesan dari mereka yang dia temui di sepanjang perjalanan, yaitu pesan dari harimau, pohon beringin, dan ular. Penyihir pun menjawab dengan tenang.
“Masalah uang, kau sudah tidak perlu khawatir lagi. Karena sepulangnya dari sini, kau akan segera mendapatkan rejeki yang sangat melimpah. Untuk harimau, katakan padanya supaya memakan daging. Untuk pohon beringin, ada sesuatu di dalam tanah tempatnya tumbuh yang menghambat perkembangannya, kau bantulah untuk memindahkan dia ke tempat lain. Dan untuk ular, katakan padanya untuk segera muntah.”
Darmaji puas dengan jawaban sang penyihir, terlebih mengenai kabar bahwa dia akan segera mendapatkan rejeki yang melimpah ruah. Darmaji tidak sabar untuk segera pulang. Setelah berpamitan kepada penyihir Ozan, lelaki itu pun pulang dengan wajah yang sumringah.
Di perjalanan, dia kembali bertemu dengan sang ular yang kesulitan bicara. Sesuai dengan saran sang penyihir, ular itu berusaha untuk muntah. Akan tetapi, ular itu kesulitan muntah, akhirnya Darmaji membantunya dengan memasukkan tangannya ke dalam mulur sang ular, lalu dia memainkan uvulanya. Setelah bersusah payah, hewan itu pun berhasil muntah. Dan ternyata, muntahan dari ular tersebut adalah sebongkah emas!
Darmaji dan sang ular hampir tak percaya dengan yang dilihatnya. Dilihat dari manapun, itu memanglah emas! Tapi ular tersebut tidak terlalu mempedulikan, karena rasa bahagianya datang dari kesembuhannya.
“Cek, cek,” ular itu mengecek suaranya. “Hei! Aku sudah bisa bicara lagi! Hore!!!” dia berteriak kegirangan. “Terima kasih banyak, Tuan. Berkatmu, sekarang aku sudah bisa bicara dengan normal lagi. Aku juga sudah bisa bergerak dengan bebas.”
Darmaji ikut senang karena bisa membantu. Dia memberi ucapan selamat kepada sang ular. Tapi dia harus segera pergi.
“Aku sangat senang kau sudah kembali pulih. Tapi aku harus segera pulang ke rumah,” ucap Darmaji.
“Tunggu! Sebelum kau pergi, ambillah emas itu, sebagai rasa terima kasihku,” kata sang ular. Tapi jawaban Darmaji membuatnya tak habis pikir.
“Terima kasih, ular. Tapi aku tidak membuthkan emas itu. Penyihir bilang, aku akan segera medapatkan rejeki yang melimpah ruah. Jadi, lebih baik emas itu kau simpan saja untukmu, tapi jangan sampai tertelan lagi ya.”
Dan Darmaji pun pergi agak terburu-buru. Meninggalkan sang ular yang masih agak kebingungan, tapi tetap senang karena sudah sembuh. Kali ini Darmaji bertemu lagi dengan pohon beringin kecil. Sesuai saran dari penyihir, Darmaji mencabut pohon kecil itu dengan hati-hati, kemudian menanamnya lagi ke tempat yang tidak terlalu jauh dari sana. Tiba-tiba mata Darmaji menangkap sesuatu yang mencurigakan di tanah tempat pohon kecil itu tumbuh sebelumnya. Lelaki itu menggalinya dan terus menggalinya dengan batu pipih hingga benda mencurigakan itu terlihat sepenuhnya. Dan ternyata, benda itu adalah sebongkah emas yang sangat besar! Emas itu tingginya melibihi tinggi badan Darmaji sendiri. Dan sinar matahari yang memantul pada emas tersebut membuat matanya silau.
Itu adalah emas terbesar yang pernah dia lihat. Bahkan lebih besar dari emas yang pernah dia bayangkan. Tapi, apalah yang bisa dilakukan pohon beringin dengan emas. Pohon beringin itu tidak membutuhkannya. Dia sangat senang karena sebentar lagi dia akan tumbuh besar dan lebih besar lagi. Dia sudah sangat bahagia.
“Sekali lagi, terima kasih banyak, Tuan! Kau adalah pahlawanku. Sebagai imbalannya, ambillah emas itu untukmu!” kata pohon beringin.
“Terima kasih juga, pohon kecil. Tapi aku sama sekali tidak membutuhkan emas ini. Penyihir bilang, aku akan segera mendapatkan rejeki yang sangat melimpah ruah. Lebih baik aku segera pulang sekarang, waktu sudah semakin sore,” kata Darmaji.
Darmaji meninggalkan tempat itu dan segera melanjutkan perjalanan pulang, meninggalkan pohon beringin dan segunung emas yang tak ternilai harganya. Setelah berjalan cukup lama, dia pun bertemu dengan harimau kurus.
“Halo, tuan harimau!” sapa Darmaji.
“Halo, Tuan! Akhirnya kau datang juga. Bagaimana? Apa yang dikatakan oleh penyihir Ozan agar aku bisa kenyang?” tanya harimau tak sabar.
“Katanya kau harus makan daging,” jawab Darmaji singkat.
“Ya ampun. Pantas saja selama ini aku tidak pernah kenyang. Mungkin karena seharusnya aku tidak makan tumbuhan. Seperti yang dikatakan penyihir, aku harus makan daging. Tubuhku sudah sangat kurus sekarang, aku tidak boleh menuggu lebih lama lagi. Aku harus makan daging sekarang.”
“Silakan saja, tuan harimau!” Darmaji terdengar seperti mempersilakan sesuatu. Tetapi yang ada di dalam pikiran Darmaji dan harimau ternyata berbeda.
“Benarkah? Kau serius mau melakukannya untukku? Kau mengizinkaku, Tuan?” tanya harimau sedikit tak percaya.
“Ya. Tentu saja!” jawab Darmaji dengan senyum yang tulus.
“Oh, Tuan. Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Terima kasih banyak atas pengertianmu. Kau sangat baik sekali!” sang harimau lalu berusaha bangkit dan berjalan mendekati Darmaji. Mungkin hewan itu hanya ingin memeluknya.
==TAMAT==

3 comments: