Friday, 17 February 2017

GFM Malam Ini

Bulan sabit menggantung rendah di langit bogor yang biru donker. Bentuknnya mirip lengkungan senyum si doi yang manis dan menyenangkan hati. Hal kayak gini jarang terjadi, mungkin peluangnya satu banding lima. Karena waktu-waktu biasanya langit malam selalu mendung, atau hujan deras, atau hitam pekat. Tapi coba lihat, malam ini langit IPB bisa dibilang cukup mempesona.
Gua berjalan di deretan bangku-bangku panjang GFM, mencari spot kosong untuk sekadar wifi-an. Di antara tujuh bangku yang ada, hanya satu yang masih memungkinkan untuk gua tempati, berisi seorang mbak-mbak yang terlihat lagi sibuk mengerjakan tugasnya.
“Boleh gabung?” Pertanyaan standar yang selalu gua katakan untuk memulai internetan di sini.
Si Mbak cuma mengangguk dan tersenyum formalitas. Jawaban yang juga sangat standar.

Gua lantas duduk, buka laptop, dan mulai menjelajahi internet menggunakan IPB-wifi-mahasiswa. Gua cek email, melihat notifikasi dari Google Plus atau balasan-balasan komen dari medsos. Cek facebook, melihat info-info terbaru yang ada sambil berharap dosen skripsi dan PPKI enggak nge-chat gua untuk menagih janji. Cek reddit, melihat update terbaru Don’t Starve atau Attack on Titan. Dan beberapa saat berikutnya gua sudah tenggelam dalam buayan Twitch dan Youtube.
Seorang cowok menghampiri bangku gua. Agaknya dia pacar dari mbak-mbak yang lagi duduk di sini. Gua bisa menebak begitu karena cowok itu manggil si Mbak dengan sebutan ‘Say’. Bisa aja sih mungkin nama Mbak itu ‘Sayuti’ atau ‘Sayonara’, tapi sangat kuat dugaan gua kalau mereka itu sepasang kekasih. Pasangan kekasih yang sedang marahan.
“Kok sms aku gak dibales?” kata si cowok.
“Lho? Kamu sms? Maaf banget ya, Mas. Aku lagi sibuk banget nih, jadi gak denger sms kamu.”
“Udah beberapa hari ini kamu kerja terus. Ngerjain ini lah, ngerjain itu lah!”
“Tapi aku begini kan demi keluarga kita juga, Mas.”
“Alah! Gak usah banyak alasan! Kamu udah gak sayang sama aku karena aku pengangguran kan? Dasar istri durhaka!”
Ternyata yang gua dengar barusan adalah cuplikan drama Indosiar di Youtube yang gak sengaja ke-klik ketika gua lagi fokus mencoba menguping pembicaraan mereka. Gua kecilkan volume suara laptop, kali ini betul-betul mencoba mendengarkan obrolan pasangan itu. Namun saat gua belum sempat mendengar sepatah kata pun, si cewek tiba-tiba langsung beres-beres dan mereka berdua pergi entah ke mana. Sampai sekarang pun gua gak pernah tau siapa mereka dan apa yang sebenarnya bicarakan saat itu.
Maka gua melanjutkan kegiatan gua.
Angin dingin berembus pelan menggoyangkan rerumputan sekitar 0Fak 40 B1.1. Gua segera mengenakan satu-satunya jaket yang gua miliki saat ini, jaket ilkom. Malam kayaknya udah semakin larut, tapi koridor ini masih tetap ramai. Namun di antara semua yang ada di sini, gak ada satu pun yang gua kenal. Gak ada yang bisa gua ajak bicara, dan gak ada yang ingin bicara dengan gua. Gua sendirian di tengah-tengah keramaian.
Seorang cowok datang dan duduk di bangku yang sama dengan gua. Kalau gak salah dia adalah temennya dari seorang temen yang sering gua temui di sekitar sini. Tapi gua gak tau siapa namanya. Dia cuma duduk, colok charger, dan mainin HP.
Kemudian datanglah serombongan anak-anak dengan wajah familiar. Mereka adalah anak-anak GFM yang sering kelihatan di sekitar sini siang-siang: seorang cowok dengan tampang pasaran (bahkan ketika nulis ini pun gua udah gak inget gimana rupanya), cewek berkulit sangat putih dan tipis, cewek yang mukanya kayak anak-anak, cewek yang suaranya kayak anak-anak, dan cewek dengan wajah mirip Keira Knightley.
Mereka semua duduk di bangku ini. Saling bercengkrama satu sama lain dengan nada lantang. Membicarakan hal-hal seputar kuliah dan tugas-tugas standar mahasiswa. Mereka juga membahas praktikum yang mereka lakukan sorenya, praktikum aneh di mana mereka semua berkumpul di sekitaran 0Fak untuk melihat aspraknya membenamkan sebuah panci ke dalam tanah. Entahlah. Gak ada satupun pembicaraan mereka yang gua mengerti.
Mereka berganti-ganti topik secara konstan setiap sekitar lima belas menit sekali. Kebanyakan tentang GFM sendiri, di mana gua gak mengerti sama sekali. Pernah mereka membicarakan masalah film, salah satu film yang kebetulan amat gua sukai. Sebagian dari diri gua ingin bergabung dengan mereka, berdiskusi masalah endingnya yang menggantung, berdebat tentang karakter mana yang paling keren, dan hal-hal engggak penting lainnya. Ah, pasti sangat menyenangkan.
Tapi siapa gua? Mereka gak kenal dan gak butuh gua. Mendengarkan pembicaraan yang penuh semangat seperti itu aja udah membuat gua senang. Beberapa jam mereka seperti itu di sini. Tapi setelahnya, mereka semua pergi.
Dan gua kembali sendiri.
Satu persatu orang-orang di sepanjang koridor ini pergi. Hanya menyisakan beberapa bangku aja yang masih terisi. Seorang cewek terlihat di ujung koridor, sedang berjalan dengan cepat ke arah tangga faperta. Gua sering melihat dia di sini, melakukan aktivitas yang persis sama dengan yang lagi dia lakukan sekarang: berjalan sendirian dengan cepat dari ujung koridor ke ujung lain, tanpa menoleh, tanpa bicara dengan siapapun, dan tanpa tersenyum.
Ketika berpapasan dia cuma melirik sedetik, tanpa memperlambat kecepatan, dan masih tanpa senyum. Apakah dia anak GFM? Atau Fisika? Matematika? Atau dia malah bukan manusia sama sekali? Apakah orang-orang bahkan bisa ngeliat dia? Kadang-kadang ingin sekali gua menghentikan langkahnya. Memanggilnya barang sekali untuk mengatakan:
“Mbak, darahnya tembus!”
Tapi yang gua lakukan hanyalah diam, terus terpaku pada laptop di atas meja. Memandangi gambar dan warna-warna terang pada LCD yang terbentuk dari rangkaian angka 0 dan 1. Membiarkan si gadis tanpa senyum berlalu gitu aja, seperti semua peristiwa sehari-hari.
Hei, tapi setidaknya bulan sabit masih tersenyum untuk gua.
Angin dingin kembali berembus. Kali ini cukup kencang sampai membuat dahan pohon melambai-lambai bagai sedang mengucapkan salam perpisahan. Orang-orang mulai mencabut charger-nya, memasukkan laptop ke dalam tas mereka, dan pergi ke kosannya masing-masing. Suara langkah mereka menggema di sepanjang koridor, lalu semakin jauh, semakin senyap, dan akhirnya hilang di antara bunyi gesekan dedaunan.
Dan kini gua benar-benar sendirian.
Seeokor kucing naik ke atas meja. Bulunya berwarna hitam-putih, dan wajahnya menunjukkan raut kebosanan. Dia meregangkan badannya sebentar, lalu tertidur begitu aja di sana.
Tadi siang gua sempat melihat kucing ini lagi mengeong-ngeong minta makanan ke seseorang. Namun saat orang itu memberi apa yang dia minta, si kucing malah mengabaikannya dan terus mengeong. Mengelus-eluskan kepalanya di kaki orang tersebut.
Apa yang sebetulnya diinginkan kucing itu? Makanan-kah? Atau yang lain? Bagaimana kalau sebenarnya dia cuma ingin berteman dengan orang itu? Mengajaknya bermain, atau saling bertukar pikiran, menceritakan semua isi kepalanya. Apakah dia juga tidak mempunyai semua itu?
Apakah dia juga kesepian?
Gua membereskan barang-barang, memasukkan semuanya ke dalam tas, dan mulai melangkah pergi. Meninggalkan kucing itu tertidur di tempatnya. Kampus udah semakin sepi, hanya ada beberapa motor yang masih terparkir di depan tangga utama. Gua keluar lewat berlin, dan berjalan di sepanjang deret pertokoan babakan raya. Hampir semua toko udah tutup. Hanya beberapa warung yang terlihat masih beres-beres.
Satu lagi hari gua lewati, tanpa terjadi apapun. Sepertinya beskok juga bakalan seperti ini. Bagaimana dengan minggu depan? Atau bulan depan? Tiga bulan berikutnya? Satu tahun? Apakah bakalan sama dengan hari ini dan hari-hari sebelumnya? Sementara bayang-bayang skripsi terus mengikuti gua dari belakang.
Angin berembus lagi. Dingin dan lembap. Tikus-tikus berkeliaran mencari makan, dan para jangkrik menyanyikan lagu-lagu kesunyian. Dan ketika gua menengadah, bulan sabit udah hilang dari penglihatan.
Langit bogor kembali mendung seperti biasanya.

***

2 comments:

  1. Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama pake tangan sendiri

    ReplyDelete