Bulan sabit menggantung rendah di langit bogor yang biru donker. Bentuknnya mirip lengkungan senyum
si doi yang manis dan menyenangkan hati. Hal kayak gini jarang terjadi, mungkin
peluangnya satu banding lima. Karena waktu-waktu biasanya langit malam selalu
mendung, atau hujan deras, atau hitam pekat. Tapi coba lihat, malam ini langit
IPB bisa dibilang cukup mempesona.
Gua berjalan di deretan bangku-bangku panjang GFM, mencari spot kosong
untuk sekadar wifi-an. Di antara
tujuh bangku yang ada, hanya satu yang masih memungkinkan untuk gua tempati, berisi
seorang mbak-mbak yang terlihat lagi sibuk mengerjakan tugasnya.
“Boleh gabung?” Pertanyaan standar yang selalu gua katakan untuk memulai
internetan di sini.
Gua lantas duduk, buka laptop,
dan mulai menjelajahi internet menggunakan IPB-wifi-mahasiswa. Gua cek email,
melihat notifikasi dari Google Plus atau
balasan-balasan komen dari medsos. Cek
facebook, melihat info-info terbaru yang ada sambil berharap dosen skripsi dan
PPKI enggak nge-chat gua untuk menagih
janji. Cek reddit, melihat update terbaru Don’t Starve atau Attack on Titan. Dan beberapa saat
berikutnya gua sudah tenggelam dalam buayan Twitch dan Youtube.
Seorang cowok menghampiri bangku gua. Agaknya dia pacar dari mbak-mbak
yang lagi duduk di sini. Gua bisa menebak begitu karena cowok itu manggil si
Mbak dengan sebutan ‘Say’. Bisa aja sih mungkin nama Mbak itu ‘Sayuti’ atau
‘Sayonara’, tapi sangat kuat dugaan gua kalau mereka itu sepasang kekasih.
Pasangan kekasih yang sedang marahan.
“Kok sms aku gak dibales?” kata si cowok.
“Lho? Kamu sms? Maaf banget ya, Mas. Aku lagi sibuk banget nih, jadi gak
denger sms kamu.”
“Udah beberapa hari ini kamu kerja terus. Ngerjain ini lah, ngerjain itu
lah!”
“Tapi aku begini kan demi keluarga kita juga, Mas.”
“Alah! Gak usah banyak alasan! Kamu udah gak sayang sama aku karena aku
pengangguran kan? Dasar istri durhaka!”
Ternyata yang gua dengar barusan adalah cuplikan drama Indosiar di
Youtube yang gak sengaja ke-klik ketika gua lagi fokus mencoba menguping
pembicaraan mereka. Gua kecilkan volume suara laptop, kali ini betul-betul
mencoba mendengarkan obrolan pasangan itu. Namun saat gua belum sempat mendengar
sepatah kata pun, si cewek tiba-tiba langsung beres-beres dan mereka berdua
pergi entah ke mana. Sampai sekarang pun gua gak pernah tau siapa mereka dan
apa yang sebenarnya bicarakan saat itu.
Maka gua melanjutkan kegiatan gua.
Angin dingin berembus pelan menggoyangkan rerumputan sekitar 0Fak 40
B1.1. Gua segera mengenakan satu-satunya jaket yang gua miliki saat ini, jaket
ilkom. Malam kayaknya udah semakin larut, tapi koridor ini masih tetap ramai. Namun
di antara semua yang ada di sini, gak ada satu pun yang gua kenal. Gak ada yang
bisa gua ajak bicara, dan gak ada yang ingin bicara dengan gua. Gua sendirian
di tengah-tengah keramaian.
Seorang cowok datang dan duduk di bangku yang sama dengan gua. Kalau gak
salah dia adalah temennya dari seorang temen yang sering gua temui di sekitar
sini. Tapi gua gak tau siapa namanya. Dia cuma duduk, colok charger, dan mainin HP.
Kemudian datanglah serombongan anak-anak dengan wajah familiar. Mereka
adalah anak-anak GFM yang sering kelihatan di sekitar sini siang-siang: seorang
cowok dengan tampang pasaran (bahkan ketika nulis ini pun gua udah gak inget
gimana rupanya), cewek berkulit sangat putih dan tipis, cewek yang mukanya
kayak anak-anak, cewek yang suaranya kayak anak-anak, dan cewek dengan wajah
mirip Keira Knightley.
Mereka semua duduk di bangku ini. Saling bercengkrama satu sama lain
dengan nada lantang. Membicarakan hal-hal seputar kuliah dan tugas-tugas
standar mahasiswa. Mereka juga membahas praktikum yang mereka lakukan sorenya,
praktikum aneh di mana mereka semua berkumpul di sekitaran 0Fak untuk melihat
aspraknya membenamkan sebuah panci ke dalam tanah. Entahlah. Gak ada satupun
pembicaraan mereka yang gua mengerti.
Mereka berganti-ganti topik secara konstan setiap sekitar lima belas
menit sekali. Kebanyakan tentang GFM sendiri, di mana gua gak mengerti sama
sekali. Pernah mereka membicarakan masalah film, salah satu film yang kebetulan
amat gua sukai. Sebagian dari diri gua ingin bergabung dengan mereka,
berdiskusi masalah endingnya yang menggantung, berdebat tentang karakter mana
yang paling keren, dan hal-hal engggak penting lainnya. Ah, pasti sangat
menyenangkan.
Tapi siapa gua? Mereka gak kenal dan gak butuh gua. Mendengarkan
pembicaraan yang penuh semangat seperti itu aja udah membuat gua senang.
Beberapa jam mereka seperti itu di sini. Tapi setelahnya, mereka semua pergi.
Dan gua kembali sendiri.
Satu persatu orang-orang di sepanjang koridor ini pergi. Hanya
menyisakan beberapa bangku aja yang masih terisi. Seorang cewek terlihat di
ujung koridor, sedang berjalan dengan cepat ke arah tangga faperta. Gua sering
melihat dia di sini, melakukan aktivitas yang persis sama dengan yang lagi dia
lakukan sekarang: berjalan sendirian dengan cepat dari ujung koridor ke ujung
lain, tanpa menoleh, tanpa bicara dengan siapapun, dan tanpa tersenyum.
Ketika berpapasan dia cuma melirik sedetik, tanpa memperlambat
kecepatan, dan masih tanpa senyum. Apakah dia anak GFM? Atau Fisika?
Matematika? Atau dia malah bukan manusia sama sekali? Apakah orang-orang bahkan
bisa ngeliat dia? Kadang-kadang ingin sekali gua menghentikan langkahnya.
Memanggilnya barang sekali untuk mengatakan:
“Mbak, darahnya tembus!”
Tapi yang gua lakukan hanyalah diam, terus terpaku pada laptop di atas
meja. Memandangi gambar dan warna-warna terang pada LCD yang terbentuk dari
rangkaian angka 0 dan 1. Membiarkan si gadis tanpa senyum berlalu gitu aja,
seperti semua peristiwa sehari-hari.
Hei, tapi setidaknya bulan sabit masih tersenyum untuk gua.
Angin dingin kembali berembus. Kali ini cukup kencang sampai membuat
dahan pohon melambai-lambai bagai sedang mengucapkan salam perpisahan. Orang-orang
mulai mencabut charger-nya,
memasukkan laptop ke dalam tas mereka, dan pergi ke kosannya masing-masing.
Suara langkah mereka menggema di sepanjang koridor, lalu semakin jauh, semakin
senyap, dan akhirnya hilang di antara bunyi gesekan dedaunan.
Dan kini gua benar-benar sendirian.
Seeokor kucing naik ke atas meja. Bulunya berwarna hitam-putih, dan
wajahnya menunjukkan raut kebosanan. Dia meregangkan badannya sebentar, lalu
tertidur begitu aja di sana.
Tadi siang gua sempat melihat kucing ini lagi mengeong-ngeong minta makanan
ke seseorang. Namun saat orang itu memberi apa yang dia minta, si kucing malah
mengabaikannya dan terus mengeong. Mengelus-eluskan kepalanya di kaki orang
tersebut.
Apa yang sebetulnya diinginkan kucing itu? Makanan-kah? Atau yang lain? Bagaimana
kalau sebenarnya dia cuma ingin berteman dengan orang itu? Mengajaknya bermain,
atau saling bertukar pikiran, menceritakan semua isi kepalanya. Apakah dia juga
tidak mempunyai semua itu?
Apakah dia juga kesepian?
Gua membereskan barang-barang, memasukkan semuanya ke dalam tas, dan
mulai melangkah pergi. Meninggalkan kucing itu tertidur di tempatnya. Kampus
udah semakin sepi, hanya ada beberapa motor yang masih terparkir di depan
tangga utama. Gua keluar lewat berlin, dan berjalan di sepanjang deret
pertokoan babakan raya. Hampir semua toko udah tutup. Hanya beberapa warung yang
terlihat masih beres-beres.
Satu lagi hari gua lewati, tanpa terjadi apapun. Sepertinya beskok juga
bakalan seperti ini. Bagaimana dengan minggu depan? Atau bulan depan? Tiga
bulan berikutnya? Satu tahun? Apakah bakalan sama dengan hari ini dan hari-hari
sebelumnya? Sementara bayang-bayang skripsi terus mengikuti gua dari belakang.
Angin berembus lagi. Dingin dan lembap. Tikus-tikus berkeliaran mencari
makan, dan para jangkrik menyanyikan lagu-lagu kesunyian. Dan ketika gua
menengadah, bulan sabit udah hilang dari penglihatan.
Langit bogor kembali mendung seperti biasanya.
***
Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama pake tangan sendiri
ReplyDeleteSudah terlalu lama pake mulut sendiri.
Delete