Tuesday 27 October 2015

Jawaban yang Tertunda

gambar: forwallpaper.com


Phia, maafkan aku. Tak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku ingin mencelakaimu. Aku hanya ingin melihat wajahmu. Aku hanya ingin tahu bagaimana rupamu saat ini. Harus kuakui, aku sudah berubah. Dan kumaklumi, hal ini jelas akan membuatmu berubah pula. Tapi perasaanku kepadamu tetap sama. Masih tetap seperti dulu.
Ah, aku masih mengingat betul saat-saat itu. Di kantin depan kelas kita, hari ketika kita pertama kali bertatap muka. Kau memberikan bukumu padaku, dan memintaku untuk memberikannya kepada Pak Anjun, wali kelas kita yang juga merupakan ayah kandungku. Konyol bukan? Padahal ayahku jelas-jelas baru saja masuk ke kelas kita tadi pagi, kenapa tidak kau berikan sendiri saja padanya? Aku hanya tersenyum pada waktu itu. Dan aku juga sempat melihat pipimu yang berubah kemerahaan. Pada saat itu, aku tahu bahwa buku itu sebenarnya bukan untuk ayahku, melainkan untukku. Bukan begitu?
Aku mulai membuka-buka buku itu malam hari, ketika semua orang di rumah sedang tertidur. Kubuka tiap halamannya dengan sangat hati-hati. Selembar demi selembar. Aku takut bukumu akan terlipat. Aku sempat kaget ketika aku menemukan bahwa buku itu kosong. Namun ketika aku membuka halaman yang berada di tengah-tengah, bukannya lega, aku malah lebih kaget lagi. Kau menyatakan perasaanmu padaku. Kau mengatakan bahwa kau tulus mencintaiku, dan kau menginginkan agar aku menjadi kekasihmu.
Jujur saja, aku belum pernah ditembak sebelumnya. Apalagi oleh wanita yang benar-benar lembut dan pemalu sepertimu. Walaupun ketika aku membaca surat darimu, aku sangsi jika kau benar-benar pemalu seperti yang kubayangkan sebelumnya. Nyatanya kau begitu berani. Tidak sepertiku. Aku tidak membalas surat itu. Bukumu kukembalikan begitu saja di atas mejamu di kelas. Aku terlalu takut. Aku takut jika aku tidak bisa menjagamu seperti yang kau inginkan. Akhirnya, aku belum membalas suratmu hingga kini.
Phia, asal kau tahu. Aku benar-benar menyesal. Sangat menyesal. Dulu, ketika kita masih bersama, ketika kita masih bisa bertemu setiap hari, aku mengabaikanmu. Aku tidak mengindahkan permintaanmu. Sekarang, ketika kita sudah begitu jauh, aku jadi terpikir kembali kata-kata di dalam surat itu. Bahwa kau ingin aku selalu berada di sampingmu. Kau ingin aku selalu menjagamu. Sebuah momen memang terasa lebih berharga apabila sudah menjadi kenangan.
Aku begitu sedih melihatmu di atas sana, sendirian, menghadapi dunia yang begitu kejam. Maafkan aku Phia, maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kemudian aku berpikir, ini belum terlambat. Aku masih bisa memperbaiki semua ini. Aku harus keluar dari tempat yang sempit ini. Aku harus bangkit dan pergi menemuimu.
Phia, apakah kau masih mengingat setiap kata yang kau tulis untukku kala itu? Kau bertanya padaku di ujung surat, “Relakah kau berada terus di sampingku? Menemaniku kemana pun aku pergi?” Aku belum sempat menjawabnya. Ini semua karena bus sialan itu! Dia melindas tubuhku tepat ketika aku hendak menjawab pertanyaanmu. Sekali lagi, maafkan aku. Maaf kalau sekarang aku sudah berubah. Maaf kalau aku menemuimu dan aku tak seperti yang kau kenal sebelumnya. Maaf kalau aku menemuimu dengan rupa wajah yang berbeda. Maaf kalau aku menemuimu dengan tubuh berlumuran darah dan tulang-tulang patah. Maaf aku menakutimu hingga menyebabkan kau hampir terjatuh dari jendela karena berlari ketakutan. Aku kemari hanya untuk menjawab pertanyaanmu waktu itu. Dan jawabanku adalah …, “Ya”.

***

No comments:

Post a Comment