gambar: forwallpaper.com |
Phia, maafkan aku. Tak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku ingin
mencelakaimu. Aku hanya ingin melihat wajahmu. Aku hanya ingin tahu bagaimana
rupamu saat ini. Harus kuakui, aku sudah berubah. Dan kumaklumi, hal ini jelas
akan membuatmu berubah pula. Tapi perasaanku kepadamu tetap sama. Masih tetap
seperti dulu.
Ah, aku masih mengingat betul saat-saat itu. Di kantin depan kelas kita,
hari ketika kita pertama kali bertatap muka. Kau memberikan bukumu padaku, dan
memintaku untuk memberikannya kepada Pak Anjun, wali kelas kita yang juga
merupakan ayah kandungku. Konyol bukan? Padahal ayahku jelas-jelas baru saja
masuk ke kelas kita tadi pagi, kenapa tidak kau berikan sendiri saja padanya? Aku
hanya tersenyum pada waktu itu. Dan aku juga sempat melihat pipimu yang berubah
kemerahaan. Pada saat itu, aku tahu bahwa buku itu sebenarnya bukan untuk
ayahku, melainkan untukku. Bukan begitu?
Aku mulai membuka-buka buku itu malam hari, ketika semua orang di rumah
sedang tertidur. Kubuka tiap halamannya dengan sangat hati-hati. Selembar demi
selembar. Aku takut bukumu akan terlipat. Aku sempat kaget ketika aku menemukan
bahwa buku itu kosong. Namun ketika aku membuka halaman yang berada di tengah-tengah,
bukannya lega, aku malah lebih kaget lagi. Kau menyatakan perasaanmu padaku.
Kau mengatakan bahwa kau tulus mencintaiku, dan kau menginginkan agar aku
menjadi kekasihmu.
Jujur saja, aku belum pernah ditembak sebelumnya. Apalagi oleh wanita
yang benar-benar lembut dan pemalu sepertimu. Walaupun ketika aku membaca surat
darimu, aku sangsi jika kau benar-benar pemalu seperti yang kubayangkan
sebelumnya. Nyatanya kau begitu berani. Tidak sepertiku. Aku tidak membalas
surat itu. Bukumu kukembalikan begitu saja di atas mejamu di kelas. Aku terlalu
takut. Aku takut jika aku tidak bisa menjagamu seperti yang kau inginkan.
Akhirnya, aku belum membalas suratmu hingga kini.
Phia, asal kau tahu. Aku benar-benar menyesal. Sangat menyesal. Dulu,
ketika kita masih bersama, ketika kita masih bisa bertemu setiap hari, aku
mengabaikanmu. Aku tidak mengindahkan permintaanmu. Sekarang, ketika kita sudah
begitu jauh, aku jadi terpikir kembali kata-kata di dalam surat itu. Bahwa kau
ingin aku selalu berada di sampingmu. Kau ingin aku selalu menjagamu. Sebuah
momen memang terasa lebih berharga apabila sudah menjadi kenangan.
Aku begitu sedih melihatmu di atas sana, sendirian, menghadapi dunia yang
begitu kejam. Maafkan aku Phia, maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi kemudian aku berpikir, ini belum terlambat. Aku masih bisa memperbaiki
semua ini. Aku harus keluar dari tempat yang sempit ini. Aku harus bangkit dan
pergi menemuimu.
Phia, apakah kau masih mengingat setiap kata yang kau tulis untukku kala
itu? Kau bertanya padaku di ujung surat, “Relakah
kau berada terus di sampingku? Menemaniku kemana pun aku pergi?” Aku belum
sempat menjawabnya. Ini semua karena bus sialan itu! Dia melindas tubuhku tepat
ketika aku hendak menjawab pertanyaanmu. Sekali lagi, maafkan aku. Maaf kalau
sekarang aku sudah berubah. Maaf kalau aku menemuimu dan aku tak seperti yang
kau kenal sebelumnya. Maaf kalau aku menemuimu dengan rupa wajah yang berbeda. Maaf
kalau aku menemuimu dengan tubuh berlumuran darah dan tulang-tulang patah. Maaf
aku menakutimu hingga menyebabkan kau hampir terjatuh dari jendela karena
berlari ketakutan. Aku kemari hanya untuk menjawab pertanyaanmu waktu itu. Dan
jawabanku adalah …, “Ya”.
***
No comments:
Post a Comment