Sunday, 9 March 2014

Warnamu

gambar: redbubble.com


Tak ada yang istimewa pagi ini. Semuanya normal. Langit cerah biru jernih, burung-burung hilir mudik mencari makan, kucing kampung berjemur di bawah matahari. Suasana desa tak begitu ramai, hanya satu-dua kendaraan yang melintas pelan di jalan utama. Setiap orang sudah terjebak dalam pekerjaannya masing-masing. Di sawah, sekolah, dan kantor kelurahan.
Sebuah mobil pendek berwarna putih kusam terparkir di bawah pohon beringin. Asap rokok mengepul keluar lewat kaca depan yang terbuka. Seorang pria terlihat sedang duduk santai di jok depan. Setelannya formal. Kemeja abu kotak-kotak, celana bahan warna gelap, dan sepatu pantopel hitam yang mengilat. Jari tangan kanannya memainkan sepuntung rokok. Memutar-mutarnya kian kemari. “Masuk jangan ya? Masuk jangan ya?” pikirnya.

Wahai Hasan


gambar: miriadna.com

Assalamu’alaikum ...
Wahai, Hasan! Awal ketika aku terdampar di tempat ini, aku begitu cemas. Risau. Takut. Karena ketika aku terbangun, kau tidak ada di sini bersamaku. Aku kebingungan. Tersesat. Pontang-panting tak tentu arah di pesisir pantai ini. Butiran garam menempel di telingaku, mulutku penuh dengan pasir, dan yang aku ingat di perjalanan hanyalah air dan badai. Matahari terbit dari ufuk timur. Itu tandaya, hariku yang baru sedang dimulai. Apa yang harus aku lakukan, Hasan?
***
Di sebuah ruangan kecil dengan dinding berwarna hijau muda, seorang pria berperawakan tinggi kurus, berbaju muslim, bersorban, dan berpeci berdiri di hadapan kedua anak didiknya. Dia tidak bisa lagi berdiri dengan tegak karena tulang belakangnya sudah membungkuk. Tangannya yang keriput bergerak-gerak menuliskan sesuatu di atas papan tulis hitamnya menggunakan kapur berwarna putih. Kedua muridnya hanya memperhatikan.

Kupu-Kupu di Ruang Tengah


gambar: wallpaperzoo.com

Saat itu aku baru berumur 10 tahun, dan aku masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Hari kamis pukul sebelas malam, dan aku masih belum tidur. Tidak seperti biasanya. Aku sedang duduk di atas sofa panjang di ruang tengah. Membolak-balik lembaran-lembaran besar dari buku Ilmu Pengetahuan Alam. Dengan penerangan seadanya dari lampu pijar berwarna kuning. Mataku sudah lelah, dan bibirku sudah kering, membaca kata demi kata yang terangkai sederhana pada buku itu. Namun rasa haus akan nilai yang besar sangat kuat. Besok adalah saatnya aku menghadapi ujian caturwulan mata pelajaran IPA. Aku sudah terbiasa mendapat nilai memuaskan, bahkan tanpa belajar sekalipun. Namun ibuku selalu memaksaku untuk belajar keras.
Kletek!
Telingaku tertarik oleh suara yang berasal dari meja kayu di depanku. Mataku berbaik hati untuk menunjukkannya.

Yang Terlupakan #6 [End]


gambar: best-facebook-covers.com

“Mona!! Kenapa kau lari Mona?!! Mona, tunggu aku!!”
Aku terjatuh di persimpangan. Tiba-tiba sebuah mobil datang dengan cepat dari arah sana. Telingaku mendengar suara ban yang mengerem berpadu dengan suara klakson yang sangat kencang dan panjang.
Ttccciiiiiiinnnnnn!!!!!
Aku bergeming. Tidak bergerak sama sekali. Sesuatu bergerak di kepalaku. Seperti sebuah laci telah sekian lama tertutup rapat, sekarang laci itu terbuka. Jiwaku serasa melayang, melesat jauh ke masa itu, dua bulan yang lalu, ketika semuanya terjadi…

Yang Terlupakan #5


gambar: hqwide.com

Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Sasha. Kukira dia sahabat baikku. Ternyata aku terlalu naif. Apa benar Sasha dan Ale memang sudah lelah dengan sikapku? Ah, kalau memang mereka sahabatku, pastinya mereka tidak akan melakukan itu. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untukku dan selalu men-support ­apapun yang kulakukan. Benarkah kalau Sasha sangat membenci Mona? Atau mungkin, Sasha ada hubungannya dengan kematian Mona? Tidak, tidak mungkin. Separah apapun tidak sukanya Sasha terhadap Mona, dia tidak mungkin melakukan hal yang sebegitu kejinya. Tidak mungkin.
Nuutt … Nuuutt …
Handphoneku bergetar. Kurogoh saku celanaku untuk mengambilnya. Ada telpon dari Ale. Sasha pasti sudah cerita kepada Ale. Lebih baik tidak kuangkat. Lagipula aku harus pergi ke sumedang sekarang juga. Tidak ada waktu untuk berkelahi.

Yang Terlupakan #4


gambar: pandasurya.wordpress.com

Mona sudah tiada. Ya, Mona sudah lama meninggal dunia. Entah kenapa separuh dari pikiranku sudah merasa semuanya akan berakhir seperti ini. Aku seperti orang yang terus saja berharap agar hujan tidak turun, padahal langit sudah begitu mendung. Entahlah…, Sisa dari ingatan-ingatan itu masih ada, tercerai berai. Ada sesuatu di dalam diriku yang tidak mau aku mengingatnya.
Selama di perjalanan pulang, seharusnya aku tidak terlalu banyak bertanya kepada Ale. Aku memang berduka. Aku memang menangis. Seharusnya aku membiarkan semuanya tetap seperti ini untuk sementara waktu. Tapi aku tak bisa. Aku tak sanggup menahan diri dari teka-teki yang terus berputar-putar di kepalaku. Kehilangan Mona memang sangat menyedihkan, tapi ketidaktahuanku tentang kematian Mona lebih menyakitkan.

Yang Terlupakan #3


gambar: stocksy.com

Keesokan harinya,
Aku tak mengerti. Tak mengerti dengan apa yang kupikirkan. Tak mengerti dengan apa yang ingin kupikirkan. Aku bahkan tidak bisa memikirkan apa pun. Kepala ini, sulit sekali untuk mengingatnya. Apa yang telah terjadi sebelum aku tertidur pulas dalam waktu yang sangat lama. Apa yang telah terjadi sehingga aku bisa terpejam selama itu. Apa yang terjadi pada Mona? Apa yang terjadi pada kami? Kenapa dia mengeluarkan kata-kata itu padaku?
Pak Didin menjelaskan sesuatu di depan kelas. Aku bisa melihat bibirnya bergerak-gerak. Namun aku tak dapat mendengar perkataannya. Mungkin aku memang tidak ingin.
“Pak, saya izin ke belakang,” ujar Sasha dengan suaranya yang cempreng. Setelah dipersilakan, gadis itu segera berlari ke luar kelas.
Drap drap drap drap ….
Suara langkah kaki Sasha, suara ini, aku pernah mendengarnya. Suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, ini mengingatkanku pada suatu hal. Sebuah sensor di dalam kepalaku mengenalinya. Aku memejamkan mataku. Berusaha mengingat-ingat kejadian itu. Berusaha menemukan rekaman yang tersimpan dalam laci-laci di pikiranku.

Yang Terlupakan #2


gambar: ext.homedepot.com

Sepulang sekolah, aku segera mendatangi rumahnya, rumah Mona. Namun sesampainya aku di sana, aku merasa … berbeda. Rumah itu cat nya sudah berubah. Sangat lain dari sewaktu aku terakhir kali datang kemari. Pohon mangga di depan rumahnya pun sudah ditebang. Kini, tidak ada lagi ayunan di halaman depan yang biasa kami pakai menghabiskan waktu berdua, seolah tidak ada lagi hari esok. Aku semakin merasa aneh.
Permisi!!!” Aku mengetuk pintu kayu bercat putih itu. Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka. Di balik daun pintu, aku melihat seorang wanita cantik. Sayangnya, dia bukan Mona. Aku tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya.
“Ada apa ya, Mas?” tanya wanita itu dengan logat jawa yang kental.

Yang Terlupakan #1


gambar: aginginplacewithgrace.com

“Toloooong ... Tolooong … Siapa saja!!! Tolong aku!!!!”
“Aku datang Mona … Aku datang! Tunggu aku!!!”
***
Kusibakkan perlahan kelopak mataku yang berat, remang-remang kulihat langit-langit kamar yang berwarna ­cream. Sayup-sayup nyanyian burung di depan rumah terdengar memberi sambutan di pagi ini. Selimut hangat yang menutupi sebagian tubuhku kulepaskan. Kemudian kutarik tanganku ke atas dan kakiku ke bawah untuk meregangkan otot-ototku yang sempat mengendur ketika aku tertidur. “Hoaahhmmm …!!” Nyenyak sekali tidurku kali ini.
Kukucek lagi mataku untuk lebih mempertajam fokusnya. Tiba-tiba kurasakan sekelebat cahaya menusuk mataku dari arah jendela. Di sana aku melihat

IPB, Where are You?

gambar: bronzemagonline.com

MALAM semakin larut, hujan pun semakin deras melumat tempat itu. Di dalam sebuah ruangan, seorang anak lelaki terduduk di dalam selimut. Tubuhnya menggigil karena kehujanan. Seorang pria berkumis dan berseragam putih mendekatinya dan memberikannya secangkir teh hangat. Tanpa disuruh, anak itu langsung meminumnya.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya sang pria berseragam.
“Alhamdulillah Pak, sudah baikan. Terima kasih banyak ya Pak!” jawab anak itu dengan mulut yang bergetar.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya pria itu lagi.
“Aku tidak ingat. Memangnya, apa yang terjadi padaku?”
“Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini malam-malam?”
“Aku tidak ingat. Memangnya apa yang aku lakukan?”
“Ini tidak ingat, itu tidak ingat. Lalu apa yang kamu ingat?”
“Aku hanya ingat, aku lulus seleksi SNMPTN Undangan di IPB.”

***
Siang itu, matahari semakin gila memanggang kota Kuningan yang menggeliat kepanasan. Di tengah jilatan lidah api matahari itu, seorang anak lelaki berlari terburu-buru di atas jalanan aspal dekat terminal. Dia adalah Sigit. Dia berlari mengejar bus berwarna hijau yang sedang terparkir jauh di depannya. Pedagang kaki lima yang ramai menjajakan aksesoris dengan harga murah ia hiraukan. Asap dan debu jalanan yang menyerang wajahnya tanpa ampun tidak ia pedulikan. Untungnya dia masih bisa melihat melalui kacamata tak berlensa seharga dua kali makan nasi rendangnya itu.
Sigit masih berlari dan terus berlari, sambil sesekali membetulkan celanajeans panjang berwara biru donkernya yang sering merosot. Punggungnya terbungkuk karena keberatan membawa tas ranselnya yang penuh berisi pakaian dan alat-alat mandinya. Tangan kanannya membawa kantung plastik putih besar berisi buku matematika untuk ia nikmati di perjalanan nanti. Bus bertuliskan ‘KUNINGAN-BOGOR’ itu semakin jelas terlihat di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya dia pun berhasil menaiki bus tersebut. Dia tidak memiliki gambaran seperti apa kota yang akan didatanginya nanti. Bahkan ini adalah pertama kalinya ia naik bus. Namun, itu tidak mengurangi semangatnya untuk mencapai impiannya yang selalu terpatri di lempengan hatinya.
“Sebentar lagi, aku akan bersekolah di Perguruan Tinggi.”

Saturday, 8 March 2014

Dua Menit, Tiga Menit


gambar: A General Theory of Love book cover

Bila rasa sudah bersemayam, tak tahu lagi bagaimana mengusirnya. Karena saat pertama melekatnya pun, itu bukanlah perkara yang mampu berhasil dalam sekali percobaan. Paku saja harus dipalu berkali-kali agar menancap dengan kuat di tembok, kayu, bahkan triplek sekalipun. Sekali pandang, rasanya tawar. Dua kali pandang, rasanya asin. Berkali-kali pandang, rasanya manis. Sering kali dipandang, rasanya gurrriihh bukan main (lho)! Retakan di langit-langit, tak pernah kumelihatnya …
***
          Ini adalah hari terindah yang pernah ada. Langit begitu cerah, tapi suhu sama sekali tidak gerah. Bu Imas—guru Bahasa Indonesia—batal masuk kelas karena hidungnya berdarah. Aku berjalan setengah melompat-lompat seperti anak kecil, dengan senyumku yang merekah. Kalau sekarang aku bercermin, pastilah kedua pipiku semu merah.

Si Pendeteksi Kebohongan


gambar: npr.org

//Sumitro//

Aku mempercepat langkahku. Kupercepat, hingga genangan air di jalan tanah berlubang ini terciprat mengotori celana panjangku. Pak Lurah yang berjalan di depanku sepertinya sedang terburu-buru. Dia tidak peduli dengan aktivitas yang sedang kulakukan. Dia tidak peduli dengan mie instan yang sedang kusantap. Dia tidak peduli dengan siaran radio “Dongeng Mang Jaya” yang sedang kunikmati di HP baruku. Dia tidak peduli dengan celana panjang yang sangat aku cintai ini. Dia hanya peduli dengan masalahnya, dan dia membawaku ke dalam masalah itu. Seperti biasanya.

Postingan #1


[PERHATIAN] Tulisan ini sebenernya udah ada di pege About. Tapi karena Ihsan baik hati dan rajin menyabun, jadi diposting lagi. Kekekeke...

Blog ini berisi tentang apapun yang ingin Ihsan tulis. Biasanya sih cerita fiksi. Ihsan berharap sekali ga ada yang ngebajak blog ini dikarenakan ga bakal ada gunanya. Ngapain juga ngebajak blog orang yang gak terkenal?

Kenapa namanya Si Rambutan Merah? Jadi begini ceritanya.